Menuju konten utama

Bom Sri Lanka: Teroris Tajir & Mengapa Terorisme Kian Sulit Dibasmi

Akar terorisme kerap dikaitkan dengan minimnya pendidikan, ketidakadilan, dan kemiskinan. Kenyataannya tidak sesederhana itu.

Bom Sri Lanka: Teroris Tajir & Mengapa Terorisme Kian Sulit Dibasmi
Polisi berjaga di depan rumah keluarga tersangka pemboman setelah serangkaian serangan bom di sejumlah gereja dan hotel mewah di Colombo, Sri Lanka, Kamis (25/4/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter/djo/nz

tirto.id - Teror bom di Kolombo, Sri Lanka, pada hari raya Paskah umat Kristiani, Minggu (21/4/2019), tak hanya menghenyak publik dalam negeri, tapi juga dunia. Latar belakang para pelaku yang berpendidikan tinggi dan dari keluarga kaya semakin menegaskan bahwa faktor penyebab radikalisasi sangat beragam. Potensi tindak terorisme seolah-olah makin sulit diberantas.

Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe dalam wawancara khususnya di CNN mengatakan bahwa ia cukup “terkejut” melihat para pelaku teror tersebut berasal dari keluarga yang mapan dan bahkan salah satunya sempat mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri.

“Mereka sendiri secara finansial cukup mandiri dan keluarga mereka cukup mapan,” sebut Wickremesinghe, seperti dilansir BBC.

Dua dari pelaku bom memang merupakan anak laki-laki dari seorang pedagang rempah-rempah kaya di Kolombo. Di tempat tinggal si pelaku teror, terdapat mobil BMW yang terparkir di luar rumah dengan tiga lantai tersebut.

Rumah mereka terletak di lingkungan yang tidak diduga polisi dan tentara sekalipun, Dematagoda. Jason Burke dari Guardian melaporkan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu lingkungan yang paling kaya di Kolombo.

“Mereka tampak seperti orang baik,” sebut salah seorang tetangga yang rumahnya berseberangan dengan rumah para pelaku teror itu.

Selain mereka, ada pula salah seorang pelaku yang sempat mengenyam pendidikan di Kingston University, London pada 2006-2007. Namun ia tidak merampungkan studi dan kemudian melanjutkan pendidikan di Australia.

Wickremesinghe mengatakan ada kemungkinan sang pelaku yang terakhir disebut mengalami proses radikalisasi ketika berada di luar negeri. Penyidik di Inggris saat ini tengah mencari rekanan atau tanda-tanda aktivitas ekstremisme yang ia lakukan selama di negeri Ratu Elizabeth.

Bukan Hal Baru

Pelaku teror dengan pendidikan tinggi dan latar belakang ekonomi yang kuat seperti yang ditemukan di Sri Lanka sesungguhnya bukanlah hal baru. Menurut penelusuran Tirto, Pasangan suami-istri dan keempat anak mereka yang menjadi pelaku rentetan bom bunuh diri sejumlah gereja di Surabaya pada Mei 2018, misalnya, memiliki latar belakang ekonomi yang berkecukupan.

Lebih lanjut, pelaku bom Bali, Azahari Husin asal Malaysia, juga memiliki tidak hanya latar belakang ekonomi yang mapan namun juga gelar pendidikan yang sangat baik. Ia meraih gelar Ph.D di University of Reading, Inggris dan pernah mengajar di Universiti Teknologi Malaysia.

Di luar negeri, hal yang serupa juga terjadi. Sejumlah pelaku teror bom sebuah toko roti di Dhaka, Bangladesh pada 2016 yang memakan korban meninggal dunia 20 orang, seperti dilansir Dawn, berasal dari sekolah elite, universitas ternama, dan anak dari tokoh partai politik yang berkuasa di Bangladesh.

Masih dari Guardian, pemimpin Al-Qaida, Ayman al-Zawahiri, sementara itu, merupakan dokter anak yang terkualifikasi. Osama bin Laden yang dipercaya menjadi otak serangan teror 9/11 juga adalah anak dari taipan perusahaan konstruksi. Dua pertiga dari pelaku teror 9/11 juga memiliki gelar pendidikan tinggi.

Semakin Beragamnya Faktor

Fenomena pelaku teror di Sri Lanka dengan latar belakang kaya dan terpelajar kemudian semakin menegaskan tren bahwa para pelaku teror saat ini memang datang dari latar belakang beragam. Pada saat yang bersamaan, fakta ini juga semakin mengenyahkan stereotip bahwa kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan ketidakadilan merupakan sebab utama dari radikalisme dan tindak teror.

Dawn mengutip AFP, dalam kasus teror bom di Bangladesh, misalnya, Menteri Dalam Negeri Asaduzzaman Khan mengatakan bahwa alasan mendasar para pelaku yang terlibat tindakan teror bukan karena “Hal itu telah menjadi sebuah mode (tren).”

Sementara itu, untuk kasus bom di Surabaya, Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Noorhaidi Hasan melihat bahwa krisis identitas yang tercipta dari rasa frustasi atas sistem politik yang berseberangan dengan idealisme para pelaku menjadi sebab utama mengapa tindakan teror itu terjadi.

“Mereka berupaya agar sistem itu berganti, tapi tidak kunjung berganti. Sehingga melalui perjuangan yang ia yakini sebagai jihad, ia mencoba membangun identitasnya yang tercerabut,” sebutnya.

Faktor ekonomi, di sisi lain, dapat pula menjadi faktor pendorong radikalisme. Pengamat Keamanan untuk BBC, Frank Gardner, mengatakan bahwa kemiskinan dan minimnya kesempatan kerja memang telah banyak mendorong orang untuk mengambil jalan terorisme.

Tim Krieger dan Daniel Meierrieks dalam “What Causes Terorrism?” menuliskan hal serupa. Mereka menemukan bahwa kondisi ekonomi dapat menjadi faktor penyebab teror, kendati menegaskan bahwa hal tersebut dalam banyak kasus bukanlah faktor tunggal.

Sebaliknya, studi dari Claude Berrebi berjudul “Evidence about the Link Between Education, Poverty and Terrorism among Palestinians” (2007) menemukan ada korelasi positif antara tingginya pendidikan dan tingginya standar hidup dengan tingkat partisipasi orang ke dalam Hamas dan Palestinian Islamic Jihad (PIJ) serta dengan kemungkinan menjadi pelaku bom bunuh diri. Pernikahan, sementara itu, secara signifikan dapat mengurangi partisipasi orang terhadap tindakan teror.

Infografik Teroris Pintar dan Kaya

undefined

Alan B. Krueger dan Jitka Maleckova juga menegaskan hal serupa dalam studi mereka yang berjudul "Education, Poverty and Terrorism: Is There a Causal Connection?" (2003). Mereka menemukan bahwa hanya terdapat sedikit korelasi langsung antara tingkat kemiskinan dan pendidikan dengan tingkat partisipasi dalam terorisme.

“Di sisi permintaan, organisasi teroris mungkin lebih suka individu yang berpendidikan dan berkomitmen. Selain itu, orang-orang yang berpendidikan baik, kelas menengah atau kelas atas lebih cocok untuk melakukan aksi terorisme internasional daripada orang-orang miskin yang buta huruf karena para teroris harus masuk ke lingkungan asing untuk dapat sukses melakukan aksi mereka,” tulis keduanya.

Sementara itu pengamat terorisme dari Certified Counter Terrorism Practitioner (CCTP) Rakyan Adibrata mengatakan, selain faktor ekonomi, faktor pendorong orang melakukan aksi teror lainnya termasuk indoktrinasi agama, sentimen agama, intoleransi, degradasi moral, “inferiority complex,” hingga permainan stereotip.

Hingga saat ini belum ada upaya yang benar-benar efektif untuk mencegah terorisme, terlebih membasminya. Dengan makin beragamnya faktor pendorong yang ada dan makin kompleksnya latar belakang para pelaku, tampaknya muskil untuk mengharapkan penurunan aksi teror dalam beberapa tahun ke depan.

Baca juga artikel terkait TEROR BOM SRI LANKA atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ivan Aulia Ahsan