tirto.id - Indonesia Solid Waste Association (InSWA) menyatakan bahwa sampah plastik di Indonesia mencapai 5,4 juta ton per tahun. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta melaporkan bahwa tumpukan sampah di wilayah DKI Jakarta saja sudah mencapai lebih dari 6.000 ton per hari dan 13 persen dari jumlah tersebut berupa sampah plastik.
Kebanyakan orang memilih plastik karena alasan praktis, instan, dan mudah didapat. Hal ini membuat plastik semakin populer dari masa ke masa. Bahkan, pasar plastik tumbuh 4-5 persen per tahun dengan produksi lebih dari 200 juta ton di seluruh dunia.
Padahal, sebagian besar plastik dibuat dari minyak bumi dan gas alam, yang membutuhkan sedikitnya 500 tahun untuk diurai kembali secara alami. Efek kerusakan lingkungan menjadi satu kekhawatiran bersama yang sudah selayaknya mulai dicari solusinya.
Pemerintah sendiri pernah menargetkan sampah plastik berkurang hingga 1,9 juta ton pada 2019 melalui pelaksanaan kantong berbayar. Namun penerapan kebijakan kantong plastik berbayar, yang merupakan kebijakan untuk menunjang kampanye “Indonesia Bersih Sampah 2020,” akhirnya diberhentikan mulai 1 Oktober 2016 dengan alasan adanya pro-kontra atas program ini.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kebijakan kantong plastik berbayar tersebut merupakan program rasional untuk menjaga dan mengurangi tingkat kerusakan lingkungan yang lebih parah. Terbukti ada pengurangan pemakaian kantong plastik hingga 82,90 persen. Data ini berasal dari sebuah survei terhadap 160 ritel anggota dan non-Aprindo, hingga 535 konsumen di berbagai kota.
"Pemantauan di 27 kota hasilnya cukup memuaskan," kata Direktur Pengelolaan Sampah Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (Ditjen PSLB3) KLHK Sudirman, seperti dikutip Antara.
Namun, ada juga kalangan masyarakat yang tak bisa lepas dari penggunaan kantong plastik. Kartika (38), seorang ibu rumah tangga, adalah salah satunya. Ia mengatakan, ada atau tak ada kebijakan kantong plastik berbayar, ia tetap butuh membeli kantong plastik.
“Saya tetap butuh kantong plastik sebagai alat untuk membuang sampah rumah tangga sebelum akhirnya diangkut oleh truk sampah, setiap harinya,” kata Kartika kepada Tirto.
Sementara itu, data Asosiasi Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mencatat kebutuhan plastik nasional selama 2016 mencapai 5,2 juta ton. Kebutuhan kantong plastik yang masih tinggi ini sebenarnya dapat dijadikan peluang tumbuhnya pasar baru kemasan plastik alternatif.
Plastik alternatif yang telah ada di Indonesia adalah produksi plastik dari bahan nabati, atau yang dikenal dengan bioplastik. Bioplastik merupakan bahan pengganti plastik yang terbuat dari bahan-bahan biotik seperti jagung, singkong, atau mikrobiota, dan bukan polystyrene seperti pada kantong plastik kebanyakan.
Kesempatan membuka pasar baru tersebut juga diambil oleh Kevin Kumala, CEO Avani Eco, satu perusahaan start-up berbasis sains. Avani Eco menyediakan produk bioplastik yang terbuat dari pati singkong dan bukan polystyrene seperti pada kantong plastik kebanyakan. Produk yang sudah dipasarkan di antaranya adalah sedotan bioplastik, gelas minum bioplastik, wadah makanan bioplastik, sampai dengan kantong berlabel 'I am not plastic.'
Bioplastiksendiri bukanlah hal baru. Sejak 1990, Eropa mengembangkan produk ini dengan bahan baku jagung dan serat bunga matahari. Masalahnya, menurut Kevin, produk di Eropa tersebut produksinya mahal, sebab bahan bakunya pun relatif mahal. Akhirnya, ia mendapat solusi atas persoalan itu dan memakai bahan baku singkong dengan pertimbangan biaya yang lebih ekonomis dibanding jagung. Selain memenuhi syarat sebagai bahan, singkong yang digunakannya telah lulus toxicity test dan aman jika produk hasilnya dikonsumsi hewan laut.
Menariknya lagi, bioplastik produksi Avani tersebut mampu larut dalam air panas. Di dalam air dingin ia akan menjadi lunak dan kemudian berubah menjadi karbondioksida, air, dan biomassa secara alami.
Sayangnya, kapasitas produksi komoditas bioplastik biodegradabel tersebut hanya menyumbang di bawah 1 persen permintaan plastik nasional. Hal ini disebabkan karena faktor produksi pembuatan bioplastik yang rata-rata lebih tinggi 1,5-3 kali dari ongkos produksi plastik konvensional, yang kemudian berimbas pada tingginya harga jual bioplastik di pasaran.
Haris Munandar, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian (Kemperin) mengungkapkan bahwa bioplastik masih cukup sulit menggantikan plastik konvensional yang ada saat ini. Sebab, bahan baku bioplastik sendiri adalah bahan pangan. Bahkan untuk kebutuhan pangan saja, masyarakat Indonesia masih melakukan impor. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), impor singkong alias ubi kayu periode Januari-Agustus 2015 mencapai 4.193,59 ton atau setara Rp14,2 miliar. Adapun produksi singkong secara nasional diperkirakan mencapai 28 juta ton per tahun.
Terlepas dari persoalan pasokan bahan baku, European Bioplastic menyatakan bahwa tren pertumbuhan industri bioplastik di pasar global terus membaik. Dari data yang dikumpulkan European Bioplastic bekerjasama dengan lembaga penelitian IfBB, Institute for Bioplastics and Biocomposites (University of Applied Sciences and Arts Hannover, Jerman) dan nova-Institute (Hürth, Jerman) menunjukkan kapasitas produksi bioplastik global diperkirakan akan meningkat dari sekitar 1,7 Juta ton pada 2014 menjadi sekitar 7,8 juta ton pada 2019.
Kapasitas produksi plastik biodegradabel seperti PLA, PHA, dan campuran pati, juga akan terus meningkat, hampir dua kali lipat dari 0,7 juta ton pada 2014 menjadi lebih dari 1,2 juta ton pada 2019 di Asia dan Amerika Serikat. Dengan melihat perkembangan ini, Asia akan memperluas perannya sebagai pusat produksi utama. Pada 2019, kemungkinan lebih dari 80 persen bioplastik akan diproduksi di Asia.
Untuk jangka panjang, pengembangan kemasan bioplastik berbahan singkong maupun tanaman lainnya punya potensi dikembangkan demi terciptanya lingkungan yang lebih sehat. Agar tercapainya, bioplastik sebaiknya diarahkan agar tidak hanya semata memenuhi permintaan kantong belanja sektor penjualan ritel, tetapi juga untuk pengemasan secara keseluruhan.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani