Menuju konten utama

Maju Mundur Plastik Berbayar

Para pengelola toko ritel modern akhirnya menghentikan program kantong plastik berbayar secara nasional. Program yang berawal dari uji coba sejak 21 Februari 2016 lalu ini bisa dibilang mengalami kemandekan. Persoalan payung hukum menjadi akar masalah yang belum terselesaikan oleh pemerintah.

Maju Mundur Plastik Berbayar
Konsumen membawa barang yang telah dibeli menggunakan kantong plastik di salah satu mini market di pasar baru, jakarta, minggu (21/2). Antara foto/wahyu putro.

tirto.id - “Tadi aku belanja kok plastiknya udah nggak bayar lagi ya?” tanya Dewi, seorang ibu rumah tangga di Depok, Jawa Barat.

Pertanyaan Dewi ini mungkin banyak menghinggapi para konsumen yang usai berbelanja di toko ritel modern beberapa hari terakhir. Biasanya mereka akan ditanya saat berbelanja untuk membeli kantong plastik seharga Rp200, atau yang harganya tergantung daerah. Kejadian ini mengingatkan konsumen saat Juni atau tiga bulan lalu, ketika uji coba plastik berbayar di ritel modern berakhir 31 Mei 2016 yang berlaku di 22 kota di Indonesia.

Pertanyaan Dewi akhirnya terjawab. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) ternyata telah menghentikan program kantong plastik berbayar tahap kedua yang telah diberlakukan toko ritel modern di seluruh Indonesia semenjak 1 Juli 2016.

"Langkah penghentian program kantong plastik berbayar ini diambil karena adanya pro-kontra di berbagai daerah," kata Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey seperti dilansir Antara.

Penghentian program ini berlaku efektif sejak 1 Oktober 2016 hingga diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang berkekuatan hukum tetap. Selama ini, uji coba terbatas dan pemberlakuan serempak program plastik berbayar hanya mengandalkan Surat Edaran Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar

Surat edaran ini sempat diperpanjang dengan surat edaran kedua Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK No. SE/8/PSLB3/PS/PLB.0/5/2016.

Sikap peritel yang menghentikan program yang awalnya sebagai upaya pemerintah dalam menunjang kampanye “Indonesia Bersih Sampah 2020” sangatlah wajar. Ibarat sebuah bom, sumbu dari aturan ini hanya dibuat pendek. Sehingga setiap masa surat edaran berakhir, akan ada kekosongan payung hukum.

Ini terjadi saat Juni lalu ketika surat edaran kedua telat diterima peritel. Akhirnya kantong plastik berbayar berhenti sementara selama sebulan dan berlanjut lagi mulai 1 Juli 2016. Di sisi lain, kalangan peritel modern yang memegang “bola panas” program ini menerima kritikan dari masyarakat. Ancaman tuntutan secara hukum juga siap menanti mereka karena dianggap memungut biaya tanpa berdasarkan peraturan hukum yang kuat.

"Pada prinsipnya, Aprindo tetap mendukung program pemerintah. Namun kami berharap Permen (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup) terkait Penerapan Kantong Plastik Tidak Gratis dapat segera diterbitkan, agar pelaksanaannya dapat berjalan lebih optimal dan sesuai dengan tujuan bersama," kata Roy.

Kebijakan positif memang direspons dengan upaya uji materil terhadap surat edaran tersebut oleh sejumlah advokat. Mereka menggugat Surat Edaran Dirjen KLHK ke MA. Seperti diwartakan kompas.com, gugatan telah dilayangkan lewat Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/4/2016). Mereka adalah Mohammad Aqil, Ronny Asril, Harry Syahputra, Wibisono Oedoyo, Endang Suparta, Abdul Lukman Hakim, Muhammad Irfan Elhadi, Suwirman Sikumbang, dan Roni Saputra.

"Surat Edaran bertentangan dengan Pasal 612 KUH Perdata. Oleh sebab itu, kami gugat ke MA," ujar Mohammad Aqil.

Dalam pasal 612 KUH Perdata, negara menjamin kewajiban sang penjual untuk menyerahkan kebendaan secara nyata dan utuh kepada tiap pembeli. Kantong plastik itu pun dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari kewajiban penjual. Selain itu, surat edaran kantong plastik berbayar juga dianggap bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Hal ini karena barang yang mencemari lingkungan seharusnya tidak boleh diperjualbelikan seperti kantong plastik.

Selama ini aturan kantong plastik berbayar justru menjadi beban bagi peritel, termasuk soal audit penggunaan dana plastik berbayar yang justru memakan biaya tersendiri. Rata-rata peritel, baik modern maupun tradisional, sudah memasukkan biaya kantong plastik dalam item harga produk yang mereka jual.

Setelah ada aturan plastik berbayar, mereka harus memisahkan harga barang dan kantong plastik karena komponen plastik tak lagi “gratis”. Hal ini memicu pertanyaan soal dana yang selama ini dipungut dari konsumen terkait penerapan kantong plastik berbayar. Walaupun dalam surat edaran, ada ketentuan komitmen CSR bagi peritel.

“Akhirnya mendingan gratis lagi, mending jual kantong plastik sama barang,” kata Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta beberapa waktu lalu.

Selain itu, peritel mengingatkan bahwa kebijakan kantong plastik ini bertujuan menjaga lingkungan. Maka semestinya yang ditekankan adalah larangan penggunaan kantong plastiknya. Hal ini akan lebih jelas mekanismenya bagi peritel maupun konsumen.

Aturan pengendalian sampah kantong plastik ini juga seharusnya tak hanya berlaku bagi ritel modern. Namun kenyataannya pemerintah sulit menerapkannya bila aturan ini diterapkan juga di luar ritel modern. Tak mengherankan jika pemerintah dulu hanya mengeluarkan surat edaran terkait kebijakan ini. Peraturan Menteri (Permen) dari KLHK yang ditunggu-tunggu sejak Februari lalu hingga kini belum jelas kapan terbitnya.

Namun, terlepas dari persoalan yang membuat peritel gundah, kenyataannya kebijakan ini efektif mengurangi penggunaan kantong plastik di masyarakat. Selama beberapa bulan uji coba, telah terjadi pengurangan konsumsi kantong plastik.

Kontroversial Tapi Efektif

Diet kantong plastik ini memang ada yang merespons dengan kritikan, tapi juga tak sedikit mendapat apresiasi termasuk dari YLKI. YLKI menilai kebijakan kantong plastik berbayar itu rasional untuk menjaga dan mengurangi tingkat kerusakan lingkungan yang lebih parah. Ini mengingat konsumsi bungkus plastik di Indonesia tergolong tinggi, yaitu 9,8 miliar bungkus plastik per tahun, atau nomor dua di dunia setelah Cina.

YLKI sejak awal berharap kebijakan ini dapat membawa perubahan perilaku konsumen saat berbelanja di ritel modern, misalnya membawa bungkus/wadah atau tas sendiri saat berbelanja, serta tidak meminta kantong plastik secara berlebihan.

"Di negara-negara Eropa hal semacam ini hal yang biasa dan bisa menekan konsumsi plastik hingga 70 persen," Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam pernyataan tertulisnya seperti dikutip dari Antara.

Apa yang menjadi harapan YLKI akhirnya terbukti. Pemerintah sempat merilis hasil evaluasi kebijakan ini. Pemerintah mengklaim terjadi pengurangan pemakaian kantong plastik hingga 82,90 persen. Data ini berasal dari sebuah survei terhadap 160 ritel anggota dan non-Aprindo, hingga 535 konsumen di berbagai kota.

"Pemantauan di 27 kota hasilnya cukup memuaskan," kata Direktur Pengelolaan Sampah Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (Ditjen PSLB3) KLHK Sudirman dikutip dariAntara.

KLHK mencatat semenjak aturan ini berlaku 21 Februari hingga April 2016, penggunaan kantong plastik di Kota Bandung berkurang hingga 48,96 persen, di Jakarta Utara berkurang 61,40 persen, diPalembang 60,46 persen, di Pekanbaru 40 persen, dan di Tangerang Selatan berkurang signifikan hingga 82,90 persen.

Selain itu, sebanyak 136 ritel menerapkan harga Rp200 per kantong plastik sesuai dengan aturan. Ada enam kota yang menetapkan harga berbeda yaitu Balikpapan Rp1.500, Banda Aceh Rp500, Denpasar Rp200-Rp500, Kendari Rp500, Surabaya Rp200-Rp1.500, dan tertinggi Ambon Rp2.500-Rp5.000.

Dari sisi konsumen, setelah aturan ini berlaku, sebanyak 91 persen konsumen memahami maksud dan tujuan penerapan kantong plastik berbayar tapi hanya sembilan persen yang menjawab setuju untuk mengikuti program pemerintah. Selanjutnya 80 persen responden menganggap harga kantong plastik masih terlalu murah sehingga banyak konsumen masih mau membelinya. Sementara itu, 20 persen menganggap harga yang diterapkan mahal karena merasa kantong plastik adalah hak konsumen dan selama ini gratis.

Dari survei ini, jelas terlihat pro dan kontra masih terjadi di masyarakat. Tapi besarnya risiko lingkungan akibat banyaknya sampah plastik memang harus direspons oleh pemerintah. Lagi-lagi, persoalan payung hukum yang kuat harus menjadi kunci sempurnanya program yang sudah setengah jalan ini.

Program diet kantong plastik seharusnya tak seperti layang-layang yang bisa ditarik ulur tanpa kejelasan, yang akhirnya membuat program pencegahan sampah berujung mandek.

Baca juga artikel terkait PLASTIK atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Maulida Sri Handayani