tirto.id - Kesalahan menampilkan bendera merah putih yang dilakukan panitia Sea Games Kuala Lumpur 2017 sontak membikin ramai. Seperti biasa, persoalan macam ini mudah memantik kemarahan. Media-media sosial ramai dipenuhi adu gasak orang-orang Indonesia dan Malaysia.
Pergocohan dua negara ini bukan hal baru. Bermula dari kampanye Bung Karno soal “ganyang Malaysia” pada periode 1963-1966, karena Malaysia dianggap boneka imperialis, api dalam sekam permusuhan rupanya masih mengendap dalam. Padahal, pernah pada suatu masa Indonesia begitu akrab dengan negara jirannya itu.
Konfrontasi antara Indonesia vs Malaysia baru saja usai seiring jatuhnya kekuasaan Sukarno dan naiknya Soeharto ke puncak kekuasaan. Melalui operator-operator politik seperti Ali Moertopo dan Adam Malik, Soeharto melobi para petinggi negeri jiran untuk membuka pintu perdamaian. Usaha mereka berhasil mengakhiri konfrontasi. Hanya dalam tempo tiga tahun, hubungan Malaysia-Indonesia dengan cepat menjadi akrab.
“Setelah Soeharto memegang kekuasaan dan konfrontasi dengan Malaysia berakhir, hubungan antara kedua negara dipulihkan kembali,” tegas Leo Suryadinata dalam Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto (1998). Ketika ASEAN terbentuk pada 1967, hubungan itu makin membaik dan bahkan ikut membuka jalan bagi kerja sama lebih erat di antara kedua negara (baca: 50 Tahun ASEAN).
Faktor-faktor yang menentukan hubungan antara Indonesia dengan Malaysia memang rumit. Tetapi, menurut Leo Suryadinata, ada satu hal yang selalu diperhitungkan jika membicarakan isu tersebut: Indonesia memiliki kecenderungan bertindak sebagai saudara tua dan menginginkan diperlakukan seperti itu.
Diakui atau tidak, untuk beberapa lama, Malaysia seakan mengamini perasaan Indonesia yang selalu merasa sebagai "saudara tua" itu.
Orde Baru Membangun Kemesraan
Indonesia dan Malaysia sama-sama berkepentingan menciptakan kawasan ASEAN yang damai dan stabil dalam bidang politik. Ini sebenarnya untuk menopang stabilitas ekonomi di masing-masing negara anggotanya. Sebagai negara terbesar, Indonesia diharapkan mampu memimpin ASEAN dalam menciptakan stabilitas.
Soeharto paham betul aspirasi ini. Pada zaman Orde Baru, terutama dekade 1980-an, Soeharto mengalihkan fokus politik luar negeri yang sebelumnya pasif menjadi lebih aktif. Ia mulai memperhatikan masalah luar negeri setelah merasa berhasil mengelola masalah dalam negeri. ASEAN adalah laboratorium pertama Soeharto untuk menjalankan garis kebijakan politik luar negeri sekaligus organisasi pertama yang mengakuinya sebagai pemimpin regional.
Seperti diungkapkan Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan-Yew mengakui kepemimpinan Soeharto. Pengakuan itu tercermin dari ucapan Lee saat mengatakan bahwa KTT ASEAN di Manila pada 1986 “[...] berlangsung hanya setelah Presiden Soeharto memutuskan untuk datang” (hlm. 369).
Soeharto sangat percaya diri, salah satunya karena berhasil menggenjot pertumbuhan ekonomi. Indonesia dianggao mampu memimpin negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Malaysia-lah, sebagai “saudara muda”, yang dianggap paling baik untuk diajak bermitra.
Dalam beberapa hal, terlihat upaya Malaysia meniru “saudara tua”-nya itu, terutama menyangkut konsolidasi politik dalam negeri. Malaysia, misalnya, terinspirasi kemenangan mutlak Golkar pada Pemilu 1971 (Pemilu pertama Orde Baru). Mereka membutuhkan kendaraan politik serupa untuk menciptakan stabilitas.
“Setelah terjadi konsolidasi Golkar dan kemenangannya dalam Pemilu 1971, Ghazali Shafie [Menteri Dalam Negeri Malaysia] mengusulkan gagasan Barisan Nasional yang akan mengoordinasi berbagai partai politik, terutama yang didasarkan pada ras,” tegas Jusuf Wanandi (Menyibak Tabir Orde Baru, hlm. 170).
Pada periode inilah sebenarnya titik balik kemesraan Indonesia-Malaysia terjadi, sekaligus awal mula hubungan baik kedua negara di tahun-tahun berikutnya. Keduanya saling bahu-membahu bila masing-masing butuh pertolongan. Indonesia, yang saat itu lebih maju dalam infrastruktur pendidikan, tidak segan-segan mengirim banyak tenaga pendidik ke Malaysia untuk membantu Sang Jiran mengentaskan kebodohan.
“Banyak guru dan dosen Indonesia dikirim ke Malaysia untuk mengajar di sekolah-sekolah Melayu dan di Universiti Kebangsaan Malaysia yang baru didirikan,” tulis Leo Suryadinata (hlm. 88).
Mahasiswa-mahasiswa Malaysia juga banyak sekali yang mendaftar kuliah di berbagai perguruan tinggi di Indonesia pada 1970-an sampai 1980-an. Dalam bidang bahasa, Indonesia dan Malaysia bahkan menyepakati sistem ejaan bersama pada 1972.
Pada masa berikutnya, hubungan Indonesia-Malaysia menjadi makin erat karena dua pemimpin negara tersebut berhasil membangun relasi pribadi yang akrab.
Hubungan Personal Soeharto dan Mahathir
Keakraban dua negara juga disimbolkan dari relasi pribadi yang sangat dekat antara dua pemimpin negara. Ketika Tun Mahathir bin Mohamad (lebih dikenal dengan Mahathir Mohamad) menjabat Perdana Menteri Malaysia pada 1981, terbentuk rasa saling pengertian mendalam antara keduanya.
Dalam kenang-kenangan dari konco-konco terdekat soal penguasa Indonesia terlama itu, Pak Harto: The Untold Stories, Mahathir mengenang sosok Soeharto dengan penuh hormat. Katanya: “Saya menilai Pak Harto sangat beradab dan mempunyai sifat-sifat yang baik. Orang Melayu menganut paham yang menghormati tamu” (hlm. 35).
Mahathir juga mengenang Soeharto sebagai sosok yang tidak ribet dalam menyelesaikan suatu persoalan pelik, terutama menyangkut hubungan Indonesia-Malaysia. Barangkali lantaran didorong konvensi ASEAN soal stabilitas politik kawasan dan kedekatan pribadi dua diktator Asia Tenggara itu.
“Setiap kali berjumpa Pak Harto, saya selalu merasa kami berbicara dari hati ke hati, berbincang sebagai sahabat. Masalah antara Indonesia dan Malaysia selalu ada tetapi masalah itu kecil-kecilan… Pak Harto menganggap Malaysia sebagai bangsa serumpun, begitu pula saya menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa serumpun,” tuturnya (hlm. 37).
Ia juga tak segan mengungkapkan rasa utang budi kepada “senior”-nya itu. “Dengan setiap negara, Malaysia memiliki masalah. Malaysia memiliki masalah dengan Thailand, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, dan Indonesia, tetapi yang paling mudah diselesaikan adalah dengan Indonesia. Jadi saya merasa berutang budi terhadap Indonesia dan Pak Harto” (hlm. 37).
Ini seperti kesepahaman rasa antara dua penguasa Asia Tenggara yang lahir dari ikatan keserumpunan dan tradisi feodalisme selama berabad-abad. Laa yafham al-diktatur illa diktatur, tidak ada yang memahami diktator kecuali diktator, kira-kira demikian ringkasnya.
Jurang yang Ditambal dengan Sentimen Serumpun
Tapi di antara diktator Jawa dan autokrat Melayu, persoalan hubungan kekuasaan tak melulu soal rasa dan tidak semuanya bisa diselesaikan lewat sentimen bangsa serumpun. Ada berbagai kepentingan dalam negeri yang bermain dan jurang kultural yang kadang-kadang menghalanginya.
Pada 1991, Mahathir mendorong dibentuknya East Asian Economic Groupping (EAEG) sebagai zona ekonomi kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Usulan ini awalnya dinyatakan di depan Perdana Menteri Cina, Li Peng, pada Desember 1990. Semula Mahathir hanya memberikan saran, tapi kemudian menyeriusi gagasan ini.
Ketika melakukan kunjungan ke Indonesia untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 1991 di Bali, Mahathir mampir ke Jakarta terlebih dahulu untuk menawarkan gagasan tersebut kepada Suharto. Dengan gaya Jawa yang penuh perhitungan, Soeharto menjawab: “Itu ide baik, dan kami akan mempelajarinya lebih lanjut bersama pejabat-pejabat senior terkait.”
Soeharto tidak pernah mengakhiri kalimatnya dengan “…sebelum kami mengambil keputusan” atau menjawab dengan jelas “iya” atau “tidak”. Kata Jusuf Wanandi, “Ini memang gaya bicara Soeharto yang tidak pernah membuat komitmen dengan gagasan-gagasan baru secara langsung” (hlm. 370).
Mahathir rupanya belum sepenuhnya paham gaya politik Jawa macam itu. Di hadapan wartawan ia menyatakan kalau Soeharto setuju dengan gagasan EAEG. Menteri Perdagangan Indonesia, Arifin Siregar, yang berdiri di samping Mahathir, bergumam dalam hati: “Ah, mati lu, dia sama sekali gak ngerti Soeharto.”
Soeharto rupanya tidak setuju dengan gagasan Mahathir karena kepentingan ekonomi Indonesia yang terbesar tetap dalam APEC. Akhirnya diambil keputusan kompromis agar Mahathir tidak kehilangan muka: membentuk kaukus ekonomi yang tidak mengikat dengan nama East Asia Economic Caucus (EAEC).
Ini bisa dijadikan contoh bagaimana penyelesaian “secara adat” lebih dikedepankan dalam hubungan Indonesia-Malaysia. Terlihat faktor-faktor emosional sebagai bangsa satu ras dan serumpun lebih menonjol dalam mempertahankan hubungan baik Indonesia-Malaysia.
Tapi dua puluh tahun setelah itu, faktor-faktor ini seperti menguap. Persaingan tidak terhindarkan, juga tak lagi dapat dikelola dengan perasaan ke-serumpun-an.
Jusuf Wanandi mengutarakan hal itu dengan jelas: “Faktor-faktor emosi memang tidak dapat bertahan lama sebagai satu-satunya dasar hubungan antarbangsa… Sekarang zaman sudah banyak berubah: ternyata kita [Indonesia dan Malaysia] sangat berbeda dalam berbagai hal.”
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS