Menuju konten utama

Soal Protes Demokrat, ICJR: Politikus Jangan Jadi Jaksa Agung

Menurut Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, wajar jika ada yang menuding Jaksa Agung sebagai alat politik Nasdem.

Soal Protes Demokrat, ICJR: Politikus Jangan Jadi Jaksa Agung
Jaksa Agung M Prasetyo didampingi Wakil Jaksa Agung Arminsyah dan Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin) Bambang Waluyo memberikan keterangan pers, di Kejagung, Jakarta, Selasa (9/1/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Politikus Demokrat geram perihal kepindahan Wali Kota Manado cum Ketua DPD Demokrat Sulawesi Utara, GS Vicky Lumentut (GSVL) ke Partai Nasdem. Sekjen DPP Demokrat Hinca Panjaitan menyebut keputusan itu berkaitan dengan kasus hukum Vicky yang sedang diusut Kejaksaan Agung.

Dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tirto, Vicky sebelum masuk Nasdem memang sempat dua kali mendapatkan panggilan dari Kejaksaan Agung atas perkara dugaan tindak pidana korupsi bantuan penanganan banjir di Manado tahun 2014.

Panggilan pertama dilakukan pada 24 Agustus 2018 dan kedua dilakukan pada 24 September 2018, serta diagendakan akan diperiksa kembali pada 2 Oktober 2018 sebagai saksi sebagaimana Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jampidsus No: Print-249/F.2/Fd.1/08/2018 tanggal 14 Agustus 2018.

“Dengan penjelasan di atas, maka patut diduga bahwa pindahnya yang bersangkutan ke Nasdem adalah terkait dengan permasalahan hukum yang sedang dihadapinya,” demikian Hinca dalam rilisnya.

Wasekjen Demokrat, Andi Arief bahkan secara terang-terangan menuding Kejaksaan Agung menjadi alat politik partai besutan Surya Paloh itu. “Kejaksaan jadi alat politik Nasdem, lebih baik #2018gantipresiden dan pemilu dipercepat,” cuit Andi Arief di akun resminya @AndiArief_ pada 27 September 2018 pukul 7.02 PM.

Ia pun mempertanyakan apakah Presiden Jokowi mengetahui hal itu atau tidak. “Jokowi ini tahu, apa pura-pura enggak tahu atau malah terlibat dalam urusan abuse of power jaksa agung yang menjadi Ketua DPD Nasdem provinsi kejaksaan?" tulis Andi Arief di akun Twitter pribadinya.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menganggap wajar soal tudingan politikus Demokrat yang menyebut Jaksa Agung H.M Prasetyo sebagai alat politik Nasdem. Apalagi bila proses pengusutan hukum tidak dilakukan secara transparan.

“Masalahnya kan posisi Jaksa Agung dibarter dengan kepentingan politik Pak Jokowi. Masalahnya jadi rumit dan orang lebih mudah menuduh Jaksa Agung sebagai alat politik karena background-nya dia [memang] politisi,” kata Adnan kepada Tirto lewat sambungan telepon.

HM Prasetyo memang tercatat sebagai kader Nasdem. Ia juga terpilih menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Nasdem periode 2014-2019, sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung. Adnan menegaskan bahwa sejak awal penunjukan Prasetyo sebagai Jaksa Agung, ICW sudah menolak dengan tegas.

Akan tetapi, kata Adnan, karena Prasetyo sudah telanjur jadi Jaksa Agung, yang bisa dilakukan adalah transparansi. Menurut Adnan, Presiden Jokowi harus berperan aktif mendorong lembaga hukum, terutama Kejaksaan, agar lebih transparan dalam menangani kasus.

“Dengan cara-cara seperti itu, publik jadi lebih aware apakah jaksa, KPK, polisi itu memang on the track atau tidak," kata Adnan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menilai jabatan Jaksa Agung memang tidak boleh diisi oleh orang dengan latar belakang politikus. Anggara menilai bila penunjukan Jaksa Agung tidak boleh hanya semata-mata menjadi hak prerogatif Presiden.

“Kita kan punya komisi kejaksaan, kan itu bisa melakukan semacam fit n proper test terhadap jaksa-jaksa karier yang punya peluang jadi Jaksa Agung agar Presiden punya bahan yang lebih baik untuk menunjuk siapa yang jadi Jaksa Agung,” kata Anggara kepada Tirto, Sabtu (29/9/2018).

Selain itu, Anggara menilai perlu ada sebuah lembaga yang mengawasi kinerja dari aparat penegak hukum. Hal ini penting, kata dia, karena proses hukum yang berjalan bisa saja menjadi alat atau dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.

“Jadi bukan tersangkanya yang meminta agar penetapannya dinyatakan tidak sah [praperadilan], tapi ada pejabat yang punya kewenangan yang minta pengadilan untuk memeriksa apakah buktinya cukup dan sebagainya, sehingga orang itu bisa jadi tersangka atau enggak,” kata Anggara.

Respons Nasdem

Sekretaris Jenderal Nasdem Johnny G Plate menyebut, partainya tak akan mencampuri urusan hukum yang sedang menimpa Vicky. Ia yakin Kejagung akan tetap mengusut kasus Vicky dalam kasus dugaan korupsi bantuan penanganan banjir di Manado tahun 2014.

"Kalau kasus-kasus itu, masalah hukum kami serahkan pada perangkat hukum. Kami meyakini bahwa Kejaksaan Agung, kebetulan Jaksa Agung sudah mengatakannya, Kejagung akan berjalan di atas rel-rel hukum. Itu mendapat dukungan kuat dari Nasdem bahwa memang harusnya demikian," kata Johnny di kawasan Menteng, Jakarta, Jumat (28/9/2018).

Vicky sebelum pindah ke Nasdem adalah kader Demokrat dan menjabat Ketua DPD Demokrat Sulawesi Utara. Kepindahan Vicky ke Nasdem diduga oleh Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan usai yang bersangkutan sempat dua kali mendapatkan panggilan dari Kejagung karena kasusnya.

Johnny pun menganggap biasa perpindahan Vicky dari Demokrat ke Nasdem. Menurut dia, perpindahan kader antarparpol merupakan hal yang wajar terjadi. “Perpindahan politikus dari parpol satu ke parpol lain itu berlangsung natural dan sudah lama. Tidak hanya di Indonesia terjadi,” kata Johnny.

Baca juga artikel terkait RANGKAP JABATAN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz