Menuju konten utama

Soal Penyelundupan Plastik, Warga Alih Profesi Jadi Penjual Sampah

Prigi menjelaskan, akibat melimpahnya sampah plastik yang masuk ke Indonesia, banyak masyarakat yang alih profesi menjadi pengepul atau penjual sampah plastik.

Soal Penyelundupan Plastik, Warga Alih Profesi Jadi Penjual Sampah
Petugas menunjukkan contoh sampah plastik yang diduga mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) saat melakukan pemeriksaan lanjutan di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (19/6/2019). ANTARA FOTO/Andaru/Mnk/pras.

tirto.id - Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) meminta pemerintah segera menindak tegas kasus penyelundupan sampah plastik dari sejumlah negara ke Indonesia melalui impor sampah kertas.

Pasalnya, menurut temuan AZWI, 5 sampai 30 persen dari total volume impor sampah kertas diisi oleh sampah plastik ilegal. Padahal, plastik itu tidak dapat didaur ulang sehingga tidak terpakai.

Anggota AZWI dari Ecoton, Prigi Arisandi menjelaskan, akibat dari melimpahnya sampah plastik yang masuk ke Indonesia, banyak masyarakat yang alih profesi menjadi pengepul atau penjual sampah plastik di sekitar area pabrik importir.

Menurut dia, kasus seperti itu banyak mereka temukan di Gresik, Jawa Timur. Di mana masyarakat lebih tertarik mengurusi sampah plastik kering berupa botol, sachet, bungkus makanan, hingga kemasan produk rumah tangga lainnya, ketimbang menanam padi.

“Ini easy money buat mereka. Pagi dijemur siang bisa dijual. Dari pada nunggu 3 bulan buat padi, mendingan jadi petani plastik,” ucap Prigi dalam konferensi pers di Selasa (25/6) di Sekretariat Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Prigi juga memastikan, sampah plastik tersebut tidak dipakai oleh importir. Namun, di sisi lain, para importir itu enggan melakukan re-impor. Sebaliknya, importir justru menjualnya kepada masyarakat dengan harga rendah, bahkan memfasilitasi mereka yang mau membantu agar sampah plastik itu dapat dikeluarkan dari areal pabrik.

Selain itu, ia mengatakan, para pejabat daerah sekitar juga dibayar untuk mengeluarkan sampah plastik yang tidak bisa diolah atau dijual kepada masyarakat.

Alhasil, kata dia, masyarakat memanfaatkannya untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Bahkan, ada juga yang bertindak sebagai broker untuk menjual sampah plastik itu ke luar perusahaan.

“Mereka dapat Rp150-200 ribu per hari. Itu bisa dua hari sekali. Makanya masyarakat meninggalkan pekerjaan mereka dari petani jadi pengepul dan jual sampah,” ucap Prigi.

Sementara itu, anggota AZWI dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Margaretha Quina mengatakan, apa yang dilakukan masyarakat menjadi indikasi adanya pelanggaran bagi perusahaan importir. Dalam Permendag No. 31 Tahun 2016, terdapat ketentuan bahwa sampah yang diimpor tidak boleh berpindah tangan tetapi harus diolah sendiri.

Pemilik perusahaan, kata Quina, berkewajiban mengolah sampah yang masuk golongan limbah B3 itu. Harapannya, perusahaan yang mendapatkan persetujuan impor (PI) dapat menaikkan kualitas kode barang importasi atau Harmonized System (HS) Code sampah yang mereka olah.

“Itu enggak boleh berpindah tangan ke pihak ketiga dan dibeli masyarakat. Jadi ini pelanggaran. Perusahaan daur ulang kertas di Jawa Timur ada yang sudah memperdagangkan limbah B3,” ucap Quina dalam konferensi pers.

Baca juga artikel terkait SAMPAH PLASTIK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Alexander Haryanto