tirto.id -
Kemunduran tersebut terlihat, setidaknya, dari Direktur Pendidikan Perempuan yang sempat ada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud pada tahun 2007-2012.
"Waktu itu semangatnya memang masih untuk kesetaraan gender," ungkap Yusnaningsi.
Namun, saat ini tak ada lagi Direktur Pendidikan Perempuan, serta malah digantikan dengan Pendidikan Keluarga. “Pendidikan perempuan dihilangkan, dan malah mendapatkan distorsi yang sangat besar,” ujar Yusnaningsi.
Yusnaningsi pun mengkritik sejumlah permasalahan yang kini terdapat dalam Pendidikan Keluarga di bawah Kemendikbud. Jika dibuka laman yang mereka buat, yakni Sahabat Keluarga, terdapat pola pengasuhan berdasarkan agama.
“Ini kan layanan publik, punya pemerintah, punya negara, tapi kok isinya hanya Islam. Pertanyaannya, pola pendidikan agama lain bagaimana? Website ini memperlihatkan bahwa keberagaman terhadap agama itu tidak ada,” ujar Yusnaningsi.
“Nah, di dalam isinya, secara konten, itu melanggengkan pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Jadi laki-laki perlu menjadi imam dan mencari nafkah, sedangkan perempuan ditekankan posisinya untuk mengasuh anak,” lanjutnya.
Saat reporter Tirto membuka laman tersebut pun, pembahasan didominasi mengenai bagaimana cara orangtua, atau laman tersebut kerap kali menyebutnya dengan ayah-bunda untuk mengurus anak. Artikel terakhirnya mengajarkan bagaimana orangtua untuk membuat anak terhindar dari LGBT. Kemudian, ada pula langkah-langkah menjadi orangtua yang efektif.
“Jadi sebetulnya, pendidikan keluarga ini fungsinya apa? Kalau ia mau digiring ke pendidikan agama, serahkan saja ke Kementerian Agama. Karena itu bagaimana nilai-nilai agama masuk ke keluarga, kan itu lingkupnya sudah jauh dari tanggung jawab direktorat ini,” pungkasnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Hendra Friana