tirto.id - Perwakilan dari Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal Perempuan), Yusnaningsi Kasim, menyampaikan tiga masalah pendidikan yang perlu menjadi perhatian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.
Pertama, soal ketimpangan akses antara kaum perempuan dan laki-laki.
Ulfah, sapaan Ysnaningsi, menjelaskan angka rata-rata perempuan dalam mengakses pendidikan adalah 7,5 tahun, sementara laki-laki adalah 8,4 tahun. Ketimpangan tingkat buta aksara pun masih dirasakan antara laki-laki dan perempuan.
“Pak Nadiem perlu diberikan wajah pendidikan kami, karena masalah ketimpangan dalam pendidikan masih besar. Saya melihat situasi akses perempuan terhadap pendidikan masih timpang dibanding laki-laki,” jelasnya kepada reporter Tirto pada Minggu (15/12/2019).
Ulfah juga menyampaikan kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap pendidikan non formal. Padahal, jelas Ulfah, pendidikan non formal justru dibutuhkan bagi mereka yang terpaksa putus sekolah.
“Ketimpangan perhatian mereka terhadap jenis pendidikan. Pendidikan non formal belum mendapatkan cukup perhatian dari pemerintah, padahal cukup penting kepada perempuan yang putus sekolah. Mereka seharusnya bisa diwadahi di sana,” jelasnya.
Menurut Ulfa, kinerja pemerintah mewadahi pendidikan bagi perempuan juga mengalami kemunduran.
Pada tahun 2007-2012, mislanya, terdapat Direktur Pendidikan Perempuan di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat di Kemendikbud. Namun, sayangnya, saat ini tak ada lagi Direktur Pendidikan Perempuan dan digantikan dengan Pendidikan Keluarga.
“Sekarang, ada website-nya yang penting untuk dilihat, pendidikan keluarga. Di situ, ada pengasuhan religi, dan yang disediakan hanya pola pengasuhan Islam. Ke mana agama-agama lain-lain?” tanyanya.
Saat reporter Tirto membuka laman tersebut pun, pembahasan didominasi mengenai bagaimana cara agar “anak-anak terbebas dari LGBT”, dan sebagainya. “Lalu di dalamnya juga masih ada unsur-unsur ketidakadilan gender, terkait pendidikan laki-laki dan perempuan di sana,” ungkap Ulfah.
“Jadi, saya melihat ini justru ada kemunduran,” tegasnya.
Di sisi lain, salah satu langkah atau kebijakan dari Nadiem yang diapresiasi oleh Ulfa adalah penghapusan ujian nasional (UN).
Pasalnya, UN telah menyeragamkan kompetensi anak, padahal anak memiliki kapasitas yang berbeda satu sama lain.
“Karena didasari pada banyak perbedaan seperti perkembangan kognisi-motoriknya, sistem belajar yang berbeda di setiap wilayah dan sebagainya. Itu semua mempengaruhi perkembangan kompetensi anak yang pada UN kemudian diseragamkan,” jelas Ulfa.
Kemudian, dengan dijadikannya UN sebagai satu-satunya gerbang kelulusan, akhirnya memicu sejumlah bentuk kecurangan dalam pelaksanaannya. Hal tersebut justru merusak nilai dalam pendidikan.
“Kita sudah bisa lihat dalam banyak kasus betapa UN berdampak secara psikologis pada anak-anak sebelum UN dan yang tidak lulus UN,” ujar Ulfa.
“Jadi, langkah Pak Menteri kita yang baru menurut saya patut diapresiasi karena sebetulnya wacana ini telah lama. Namun, butuh keberanian untuk mengeksekusinya,” pungkasnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Hendra Friana