tirto.id - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan pihaknya ingin mengetahui rincian penyidikan 8 dari 10 korban tewas akibat rusuh Mei 2019.
"10 warga sipil jadi korban kerusuhan. Kami tentu ingin tahu, apakah kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap 8 orang yang tewas lainnya," ujar Usman di gedung Bareskrim Mabes Polri, Senin (8/7/2019).
Pada Jumat (5/7/2019), Polri merilis perkembangan hasil penyidikan perkara rusuh Mei, salah satunya ialah perihal kematian Harun Al Rasyid dan Abdul Aziz. Namun delapan orang lainnya belum diketahui.
Penyidikan Harun Al Rasyid oleh Polres Metro Jakarta Barat menemukan ada seorang bertangan kidal yang diduga menembaknya dari jarak 11 meter. Ia ditembak dari sisi kanan ruko dekat fly over Slipi dan ditemukan proyektil 9 milimiter di tubuhnya.
Berdasarkan keterangan saksi yang melihat peristiwa, Harun ditembak menggunakan pistol hitam, arah tembakan mengarah ke rusuk dan lurus mendatar. Pelaku merupakan orang tidak dikenal. Sementara itu, Abdul Aziz ditemukan 100 meter dari Asrama Brimob Petamburan yakni di depan Rumah Sakit Pelni.
Diduga penembakan oleh orang tidak dikenal, berjarak 30 meter dari belakangnya. Dia terkena di punggung kiri dan proyektil tersisa di dada kiri. Di tubuh Abdul Aziz ditemukan proyektil 5,56 milimiter.
Usman melanjutkan pihaknya juga akan menggali tentang dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian.
"Polri sudah mengidentifikasi 10 orang anggota Brimob yang ketika itu di bawah kendali operasi Polda Metro Jaya berasal dari Nusa Tenggara Timur. Dalam investigasi kami, ada tiga lokasi penyiksaan atau perlakuan buruk terhadap warga sipil," ucap dia.
Sedangkan berdasarkan penelusuran pihak Amnesty, ada lima kasus penyiksaan. Tidak hanya di Kampung Bali, Jakarta Pusat. Perbuatan itu bermula karena lesatan panah beracun yang mengenai tubuh Komandan Kompi yang dibalut rompi pelindung.
Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan hal itu spontan. "Melihat penyerangan, secara spontan anggota mencari siapa yang melakukan tindakan itu. Pelakunya Andri Bibir dan Markus,” ujar Dedi, Jumat (5/7/2019).
10 anggota Brimob yang diproses secara internal oleh kepolisian, mereka diduga sebagai pelaku penganiayaan. Kini, Dedi melanjutkan, anggota itu menjalani sidang disiplin.
“Nanti akan dijatuhi hukuman disiplin berupa penahanan di ruang khusus selama 21 hari. Setelah anggota itu kembali ke polda setempat,” sambung Dedi. Sanksi administrasi lainnya juga sudah disiapkan oleh satuan setempat.
Kerahkan Tiga Tim
Selain itu, Amnesty International Indonesia mengerahkan tiga tim untuk mendalami kasus kerusuhan Mei 2019. Hari ini tiga tim menggali keterangan dari pihak Komnas HAM, Ombudsman Republik Indonesia dan Polri.
"Bertemu Komnas HAM untuk membicarakan hasil penyelidikan mereka berkaitan dengan standar HAM yang dilakukan oleh pihak kepolisian di dalam penyelidikan dan penyidikan kasus kerusuhan," ucap Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, di kantor Bareskrim Mabes Polri, Senin (8/7/2019).
Selanjutnya tim kedua menemui jajaran Bareskrim untuk mengetahui rincian kematian 10 korban dan dugaan tindak kekerasan anggota polisi terhadap warga sipil dalam kericuhan tersebut.
Sedangkan tim ketiga menemui pihak Ombudsman dan berencana untuk menyerahkan beberapa berkas sesuai dengan permintaan lembaga pengawas itu. "Tiga pertemuan ini kami harapkan bisa mendorong kejelasan seperti masyarakat, kepolisian juga terkait oleh hukum," sambung Usman.
Ia berharap pihak Ombudsman bisa memeriksa kesesuaian hukum antara penugasan, penempatan personel kepolisian di lapangan termasuk juga akuntabilitas penggunaan senjata api atau menggunakan kekuatan kepolisian saat kericuhan.
"Hari ini kami berharap seluruh institusi bisa ikut mendorong kejelasan bagi semua pihak. Semoga tidak ada politisasi di dalam kasus semacam ini, itulah yang dibutuhkan oleh keluarga korban tewas," ucap Usman.
Ia menilai meski 10 anggota Brimob yang menganiaya warga diberikan sanksi internal berupa putusan kedisiplinan, mereka juga punya hak untuk membela diri atau hak menjelaskan ihwal peristiwa.
"Kami ingin menimbang itu semua sebaik dan seproporsional mungkin, sehingga masalah ini bisa selesai dengan baik," sambung Usman.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri