tirto.id - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyambut baik kritik yang dialamatkan kepada lembaga itu lewat film Dirty Vote, besutan Dandhy Dwi Laksono. Lembaga pengawas pemilu ini mewanti-wanti kritik yang disampaikan menimbulkan konflik baru.
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja mengatakan, pihaknya khawatir film tersebut berdampak pada proses pemungutan suara yang dilaksanakan pada 14 Februari 2024 mendatang.
"Hal-hal yang bisa menimbulkan konflik dan lain-lain, lebih baik dihindarkan karena sekarang menjelang masa pemungutan suara. Jangan sampai masa pemungutan suara ini terganggu gara-gara hal tersebut [film Dirty Vote[," kata Bagja kepada wartawan, Minggu (11/2/2024).
Namun, Bagja mempersilakan semua pihak mengkritik lembaganya. Ia mengklaim, Bawaslu sejauh ini telah menjalankan tugas dan fungsi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Pada titik ini Bawaslu sudah melakukan tugas fungsinya dengan baik, tapi tergantung perspektif masyarakat, silahkan. Kami tidak bisa men-drive perspektif masyarakat," ucap Bagja.
Menurut Bagja, kebebasan berpendapat dan berekspresi diatur oleh Undang-undang. Oleh karena itu, ia tak mempersoalkan kritik masyarakat kepada lembaganya.
"Hak kebebasan berekspresi, berpendapat, apa yang diungkapkan oleh teman-teman adalah hak yang dilindungi konstitusional. Demikian juga hak dan tugas Bawaslu dijamin diatur oleh Undang-undang juga," tutur Bagja.
Film dokumenter kecurangan pemilu itu tanyang, Minggu kemarin. Film ini merupakan hasil upaya koalisi masyarakat sipil menguak desain kecurangan pemilu.
Dirty Vote merupakan dokumenter eksplanatori yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara yaitu Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar.
Penjelasan ketiga ahli hukum di film ini berpijak atas sejumlah fakta dan data. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.
Refleksi di Masa Tenang Pemilu
Dandhy menuturkan, Dirty Vote akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu. Diharapkan tiga hari yang krusial menuju hari pemilihan, film ini akan mengedukasi publik serta banyak ruang dan forum diskusi yang digelar.
"Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” ungkap Dhandy.
Berbeda dengan film-film dokumenter di bawah bendera WatchDoc dan Ekspedisi Indonesia Baru sebelumnya, Dirty Vote lahir dari kolaborasi lintas CSO.
Ketua Umum SIEJ sekaligus produser, Joni Aswira mengatakan, dokumenter ini sesungguhnya memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil. Biaya produksinya dihimpun melalui crowd funding, sumbangan individu dan lembaga.
“Biayanya patungan. Selain itu Dirty Vote juga digarap dalam waktu yang pendek sekali sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis. Bahkan lebih singkat dari penggarapan End Game KPK (2021),” kata Joni.
Sementara itu, Bivitri Susanti, menilai, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat. Kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.
“Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan,” kata Bivitri.
Bivitri menuturkan, pesan yang sama disampaikan oleh Feri Amsari memiliki esensi pemilu disebutnya sebagai rasa cinta Tanah Air. Menurutnya, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Anggun P Situmorang