tirto.id - Tanggal 6 April 2009 dini hari, gempa mengguncang ibukota provinsi L'Aquila, Italia bagian tengah. Gempa besar berkekuatan 6,3 Skala Richter (SR) tersebut terjadi sekitar pukul 3 pagi. Dihimpun dari BBC dan Guardian, warga setempat mengaku telah merasakan gempa sejak pukul 11 malam hari sebelumnya.
"Semuanya mengerikan tetapi paling tidak kami hidup. Ketika gempa terjadi sekitar pukul 3.15-3.30 pagi, kami sedang berada di rumah. Mengerikan, kami tidak tahu harus berbuat apa. Gempa berlangsung sekitar 20 detik dan semuanya berantakan; semua barang-barang kami berjatuhan ke lantai. Kami tinggal di lantai tiga, sehingga sulit untuk turun karena tidak ada lampu," ujar Graziella Fantasia, seorang guru Bahasa Inggris di L'Aquila, kepada Guardian.
Gempa L'Aquila bersumber dari aktivitas sesar normal Paganica yang menjalar di wilayah pegunungan Apennine bagian tengah. Laporan penelitian bertajuk "The 2009 L'Aquila (central Italy) MW6.3 Earthquake: Main Shock and Aftershocks" (2009) yang ditulis Claudio Chiarabba dkk mencatat pegunungan Apennine bagian tengah sebagai salah satu satu daerah dengan bahaya seismik tertinggi di Italia. Pada 1915, gempa berkekuatan 6,7 SR yang menerjang daerah Avezzano, sekitar 30 km barat daya Abruzzo, menewaskan 30 ribu orang. Avezzano masih termasuk dalam wilayah administratif Abruzzo.
Akibat gempa L'Aquila, sekurang-kurangnya 308 orang tewas, 1.500 orang luka ringan, dan 202 orang luka berat. Sekitar 60 ribu bangunan rusak, termasuk rumah sakit setempat, San Salvatore. Setelah gempa, 67.500 orang kehilangan tempat tinggal. Sepertiganya mengungsi di hotel daerah pantai Abruzzo, sepertiga lainnya menghuni 171 tenda pengungsian.
Berdebat Soal Prediksi Gempa
Warga L'Aquila sudah dilanda gempa-gempa kecil selama sepekan sebelum 6 April 2009. Dalam The Signal and the Noise: The Art and Science of Prediction (2012), Nate Silver mencatat sebanyak enam gempa berkekuatan lebih dari 3 SR dirasakan warga L'Aquila selama sepekan.
Kekhawatiran akan terjadinya gempa besar bakal juga telah mengemuka sepanjang pekan, setelah Gioacchino Giampaolo Guiliani mengamati emisi gas Radon meningkat di wilayah Abruzzo. Teknisi laboratorium fisika yang terletak di Gran Sasso itu gemar mengamati emisi gas Radon dan mengaitkannya dengan aktivitas gempa. Dia ingin memperkirakan kapan gempa terjadi berdasarkan data emisi Radon.
Berdasarkan data yang dimilikinya, Guiliani yakin gempa besar akan melanda L'Aquila dan Sulmona, sebuah kota yang juga terletak di Abruzzo. Pada 27 Maret 2009, dia menyampaikan kepada Wali Kota L'Aquila bahwa kota tersebut akan dilanda gempa. Keesokan harinya, gempa kecil berkekuatan 2,3 SR menggetarkan L'Aquila.
Pada 29 Maret 2009, ia mengabari Wali Kota Sulmona bahwa wilayahnya akan dilanda gempa. Wali Kota Sulmona merespons ucapan Guiliani dengan memerintahkan jajarannya untuk membuat pengumuman ancaman gempa. Mereka berkeliling kota menggunakan mobil yang dilengkapi pelantang suara. Namun, 24 jam setelahnya, yang muncul hanya sebuah gempa kecil berkekuatan 3,8 SR.
Guiliani lantas dilaporkan ke otoritas setempat atas tuduhan pocurato allarme, alias menyebabkan kepanikan warga. Departemen Perlindungan Sipil Nasional (DPS) Italia berencana memulai proses hukum dan bakal menuntut ganti rugi kepada Guiliani. Sedangkan Institut Astrofisika Nasional, tempat Guiliani bekerja, menganggap ucapan Guiliani tidak sesuai konteks tugas dan tidak akan memberi sangsi kepadanya.
Dua hari kemudian, Commissione sui Grandi Rischi (CGR), lembaga yang menangani bencana di Italia, mengadakan pertemuan di L'Aquila. Belasan birokrat yang mencakup anggota DPS, perwakilan universitas, pemerintah lokal, dan pemerintah regional hadir dalam pertemuan itu. Kesimpulan utama pertemuan ini disampaikan Franco Barberi, seorang ahli vulkanologi di Universitas Roma III sekaligus mantan Wakil Sekretaris DPS.
"Profesor Barberi menyimpulkan tidak ada alasan untuk mengatakan serangkaian guncangan gempa kecil dapat dianggap sebagai pendahulu dari suatu gempa yang lebih besar. Mengacu pada apa yang terjadi di L'Aquila, Profesor Barberi menjelaskan bahwa pengukuran gas radon untuk memprediksi gempa bumi telah lama dipelajari, namun tak menghasilkan solusi yang berguna," catat David E. Alexander, peneliti yang berkantor di Pusat Kajian Risiko dan Perlindungan Sipil (CESPRO), University of Florence dalam "The L’Aquila Earthquake of 6 April 2009 and Italian Government Policy on Disaster Response" (2010).
Dalam konferensi pers yang digelar setelah pertemuan itu, Wakil Kepala Teknis DPS Bernardo De Bernardinis menyampaikan, "Komunitas peneliti memberi tahu kita bahwa tidak ada bahaya, karena ada pelepasan energi yang sedang berlangsung."
Masyarakat yang diminta tenang oleh CGR diterjang gempa pada 6 April 2009.
Polemik Setelah Diterjang Gempa
Naturemelaporkan banyak warga mengatakan jaminan yang disampaikan CGR membuatnya tidak mengambil tindakan pencegahan seperti meninggalkan rumah untuk sementara. Akhirnya, pada Juni 2010, Jaksa Penuntut Umum L’Aquila menyelidiki enam orang yang hadir di pertemuan CGR 31 Maret 2009. Pihak kejaksaan menyebutkan mereka telah melakukan pembunuhan berencana karena membuat pernyataan publik yang keliru. Setelah penyelidikan dan sidang putusan sela, akhirnya mereka dibawa ke meja hijau.
Nama-nama yang menjadi pesakitan antara lain Franco Barberi; Bernardo De Bernardinis; Enzo Boschi, presiden Institut Geofisika dan Vulkanologi Nasional (INGV), lembaga utama yang bertanggung jawab atas pemantauan kegempaan Italia; Giulio Selvaggi, direktur Pusat Gempa Nasional INGV; Claudio Eva, profesor fisika bumi di Universitas Genoa; Mauro Dolce, kepala kantor risiko kegempaan di DPS; dan Gian Michele Calvi, direktur Pusat Pelatihan dan Penelitian Eropa untuk Rekayasa Gempa Bumi.
Tanggapan penyintas gempa L’Aquila terhadap CGR tergambar dari ucapan Vincenzo Vittorini, ketua asosiasi penyintas bernama 309 Martiri. Dokter di L'Aquila yang kehilangan anak dan istrinya dalam gempa itu berharap persidangan akan mengarah pada penyelidikan menyeluruh tentang apa yang salah dari pengumuman tersebut.
"Kita semua tahu bahwa gempa bumi tidak dapat diprediksi dan evakuasi bukanlah suatu pilihan. Yang kami inginkan adalah informasi yang lebih jelas tentang risiko untuk membuat pilihan," ujarnya, seperti dilansir Nature.
Menurut Vittorini, CGR punya informasi berharga yang tidak disampaikan kepada warga, misalnya bangunan mana yang paling mungkin runtuh jika terjadi gempa bumi yang kuat. Vittorini mengatakan yang dituduh bukan satu-satunya yang mesti disalahkan. Menurutnya, investigasi lebih lanjut boleh jadi menyeret pejabat yang punya tanggung jawab lebih besar seperti politisi di tingkat lokal dan nasional.
Sementara itu, para peneliti, utamanya yang berkecimpung di kajian kebencanaan menunjukkan solidaritasnya untuk CGR. Staf di INGV menandatangani surat solidaritas untuk Boschi dan Selvaggi. Seismolog di seluruh dunia juga melakukan aksi unjuk rasa untuk membela para ilmuwan, sementara hampir 4.000 peneliti dari 100 negara menandatangani surat kepada Presiden Italia Giorgio Napolitano supaya membuat keputusan yang memperhatikan "kesiapan gempa bumi dan mitigasi risiko ketimbang menuntut para ilmuwan yang dituduh telah gagal melakukan sesuatu yang belum dapat mereka lakukan, yakni memprediksi gempa."
Ketujuh orang tersebut ditetapkan bersalah pada sidang di Oktober 2012. Hakim Marco Billi menyimpulkan bahwa nasihat CGR telah membuat 309 korban tewas dalam gempa L’Aquila meremehkan ancaman serangkaian gempa yang sedang berlangsung. Para terdakwa dihukum masing-masing enam tahun penjara. Terdakwa juga harus membayar ganti rugi sebesar 7,8 juta euro dengan 2 juta euro harus dibayar segera.
Setelah banding diajukan, enam orang dibebaskan dari semua tuduhan pada 10 November 2014. Satu yang tidak dibebaskan tapi hukumannya diperingan menjadi 2 tahun penjara ialah Bernardinis.
Ketidakpastian Ilmiah dan Mitigasi Bencana
Lawrence Torcello, Asisten Profesor bidang Filsafat di Institut Teknologi Rochester, menyatakan bahwa pejabat publik di L'Aquila mendapat tekanan untuk memberikan jaminan. Bagi Torcello, kasus CGR adalah contoh dikorbankannya sains demi meredakan ketakutan warga. Caranya dengan mengecilkan risiko yang sebetulnya besar dan menekankan ketidakpastian ilmiah.
"Ada pelajaran nyata yang dapat diperoleh dari L'Aquila: komunikasi sains yang jelas memiliki konsekuensi nyata bagi keselamatan publik. Pejabat bertanggungjawab untuk mengkomunikasikan risiko kepada publik tanpa mengorbankan ilmu pengetahuan demi pesan yang bisa diterima secara politis," tulis Torcello di kanal The Conversation.
Mengingkari sains demi politik bagi Torcello bukan hal baru. Sebelumnya, ada banyak politikus yang gigih menyangkal bukti tentang pemanasan global. Para politikus ini rupanya menerima uang dari industri bahan bakar fosil. "Mereka juga menekankan ketidakpastian ilmiah dengan tidak memberikan peringatan yang bertanggung jawab," ujar Torcello.
Informasi tentang potensi terjadinya bencana di suatu tempat bukan untuk diperdebatkan dan dipertentangkan, tulis Abdul Muhari, Chariman Sentinel Asia Tsunami Working Group tentang gempa L'Aquila. Dalam opininya, "Ancaman Tsunami" yang dimuat Kompas edisi 10 April 2018, ia menyatakan bahwa informasi bencana penting untuk ditindaklanjuti dengan upaya mitigasi sesegera mungkin.
"Karena bencana tidak akan menunggu, kita yang harus segera bersiap untuk meminimalisasi dampaknya," ujar Abdul.
Opini tersebut ditulis untuk menanggapi kontroversi pemaparan perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko di seminar BMKG, April 2018. Widjo memprediksi potensi tsunami setinggi 57,1 meter menerjang Pandeglang, Banten. Pendapat tersebut berpijak pada riset berbasis pemodelan. Menurut Widjo, media memberitakannya secara tidak tepat sehingga masyarakat panik. Kegegeran itu membuat pihak Kepolisian Daerah Banten berencana memanggilnya. Meskipun Widjo tidak jadi dipanggil dan hanya ditelpon Kapolda Banten saja, berita rencana pemanggilan Widjo terlanjur membuat publik gempar.
Setelah Pandeglang diterjang tsunami pada Sabtu (22/12/2018), Widjo menyesalkan kontroversi yang bergulir mengenai pemaparannya, yang akhirnya sekadar diperdebatkan dan dipertentangkan.
"Susun rencana kontijensi atau rencana lain, itu kan positif. Kalau itu dilakukan, yang terjadi mungkin bakal berbeda. Dampak tsunami yang sekarang bisa agak diminimalisir. Kita lebih suka pro-kontra dan ribut-ributnya sehingga hasil itu juga tidak ada mitigasi yang lebih baik lagi," kata Widjo kepada Tirto, Jumat (27/12/2018) pekan lalu.
Editor: Windu Jusuf