tirto.id - Smart Pakem yang diluncurkan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta diprotes ramai-ramai. Aplikasi itu dianggap hanya membuka celah terjadinya persekusi terhadap kelompok minoritas. Demikian kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara.
Beka mengatakan apa yang ia khawatirkan mungkin terjadi karena di sana ada informasi--atau lebih tepatnya vonis--yang begitu terbuka soal sesat atau tidaknya suatu kelompok atau aliran. Di sisi lain, yang kerap terjadi memang kelompok mayoritas bertindak sesukanya, tanpa melewati prosedur hukum.
"Nanti malah akan ada persekusi karena suatu aliran dikecam sesat," kata Beka kepada reporter Tirto, Selasa (27/11/2018). "Bisa saja nanti satu orang melaporkan Parmalim karena tak sesuai dengan [ajaran] Kristen," lanjutnya.
Pada akhirnya, kata Beka, konflik horizontal akan mudah meluas, dan ini jelas beda dengan tujuan adanya negara itu sendiri, yaitu melindungi kelompok minoritas dari pelanggaran Hak Asasi Manusia.
"Nanti akan jelas ini main mayoritas minoritas. Lalu siapa yang melindungi minoritas? Apa sudah ada mekanisme perlindungan pada teman-teman aliran kepercayaan?" tanyanya, retoris.
Smart Pakem yang bisa diakses melalui website dan smartphone Androidmenyajikan enam informasi utama: keagamaan, kepercayaan, Undang-Undang, Ormas, laporan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Bagian Undang-Undang dan laporan terpantau masih kosong sampai Selasa (27/11/2018) pukul 16.34. Sementara isi tiga menu lain kurang lebih sama, yakni informasi status keaktifan, pimpinan, alamat, dan surat keterangan organisasi.
Smart Pakem diluncurkan untuk menjaga ketentraman dan ketertiban umum. Tertulis pada laman resminya, aplikasi ini dibuat untuk mengawasi kepercayaan yang dianggap "dapat membahayakan masyarakat dan negara... dan mencegah penyalahgunaan dan atau penodaan agama."
Beka menganggap landasan pemikiran Kejati DKI Jakarta keliru sejak awal. Misalnya soal sesat atau tidaknya suatu aliran yang mengacu pada fatwa MUI. Penilaian suatu kepercayaan dianggap sesat atau tidak sifatnya sangat subjektif dan tak melibatkan kelompok yang dihakimi itu sendiri.
"Sepanjang mereka jalani dan yakini kan itu benar menurut mereka. Orang lain kan enggak bisa menilai itu benar atau salah," tegas Beka.
Beka berharap aplikasi ini dihapus saja, ketimbang nanti "jadinya Kejati lebih sibuk mengurusi agama daripada persoalan hukum."
Melindungi Mayoritas & Mendiskriminasi Minoritas
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati juga memprotes Kejati DKI. Menurutnya Smart Pakem tak punya landasan hukum yang adil.
"Apa yang disebut sesat? Apa yang dikatakan sesat itu tidak ada ukurannya," jelas kuasa hukum anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) itu--yang juga dianggap sesat oleh MUI--kepada reporter Tirto.
Fatwa MUI, menurut Asfinawati, tidak bisa jadi rujukan untuk menilai aliran kepercayaan. MUI itu perwakilan Islam, sementara tak bisa aliran kepercayaan divonis oleh satu agama saja. Jika ada yang mau melarang aliran kepercayaan, penentuannya harus lewat proses pengadilan.
Protes juga datang dari internal pemerintah. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh mengaitkan ini dengan dibolehkannya mencantumkan aliran kepercayaan di Kartu Tanda Penduduk.
"Kami tidak menyebutkan nama aliran kepercayaannya. Di KTP hanya menuliskan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa," tegas Zudan kepada reporter Tirto. "Kalau kepercayaan kepada Tuhan YME enggak ada yang sesat," tambahnya.
Pun dengan Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sri Hartini. Katanya, menilai ajaran sesat atau tidak bukan perkara gampang. Syaratnya harus melalui penelitian mendalam disertai pembuktian kuat.
"Tergantung ajarannya seperti apa? Dikaji, dipelajari, apakah ajarannya merupakan sempalan dari agama? Belum terdaftar di Kemdikbud tidak berarti aliran sesat," kata Sri kepada reporter Tirto.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Sodik Mudjahid menganggap Smart Pakem adalah kesalahan orde baru yang terulang di era reformasi. Menurutnya aplikasi ini adalah bukti kemunduran dalam kebebasan menganut kepercayaan masing-masing.
"Ketika kita sudah maju begini tidak usah terlalu diatur-atur begitu. Yang penting adalah dibina, diberi pendewasaan. Jangan malah ketika tidak membina, justru kemudian malah mengatur dan membatasi," kata politikus Gerindra itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Menambah Kecemasan
Anggota Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Suprih Suhartono bercerita kepada reporter Tirto bahwa beberapa bulan lalu dia sempat didatangi oleh petugas Kejati DKI Jakarta untuk menjelaskan aplikasi ini. Awalnya dia menyambut baik karena menganggap aplikasi bisa dipakai untuk membuat masyarakat paham dengan apa yang mereka yakini.
Namun kenyataannya, kata Suprih, Smart Pakem malah cenderung membatasi penganut aliran kepercayaan dengan mencantumkan vonis MUI.
"Usulan kami bukan pengawasan tapi pembinaan. Jadi ada organisasi [aliran kepercayaan] yang masih belum sesuai perundang-undangan disosialisasi pemahaman menjadi benar. Itu yang kami usulkan," jelasnya.
Pada akhirnya Smart Pakem justru menambah kecemasan para penghayat. Beberapa di antara mereka ada yang belum terdaftar di Kemdikbud sehingga masyarakat awam akan mudah mengklaim mereka sesat.
"Negara harus melindungi kepercayaan yang sudah berorganisasi dan belum. Perorangan pun harus dilindungi," tegasnya.
Apabila konsep Smart Pakem tak diubah, Suprih merasa aplikasi lebih baik segera dihapus. Penghayat merasa mereka lebih bisa hidup lebih tentram tapi aplikasi tersebut.
"Ini rawan persekusi," kata Suprih. "Kalau itu menimbulkan ketidaktenteraman dan ketidakdamaian, sebaiknya Kejati memperhatikan itu, Smart Pakem tidak perlu dijalankan," pungkasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana