tirto.id - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan kalau Myanmar sedang kekurangan bantuan dan menghadapi "tiga krisis", yakni kudeta, keruntuhan ekonomi dan pandemi yang terus meningkat sehingga benar-benar membutuhkan bantuan darurat.
Kepada Financial Times, Andrew Kirkwood, koordinator tetap PBB di Myanmar mengatakan, pada 6 Oktober lalu, bantuan internasional itu sudah mengumpulkan kurang dari setengah dari permohonan kemanusiaan darurat senilai 385 juta dolar AS untuk Myanmar.
“Ratusan ribu orang telah mengungsi tahun ini, dan jutaan lainnya jatuh miskin karena kehilangan pekerjaan karena konflik dan karena Covid-19,” kata Kirkwood.
“Harga bahan pokok sedang naik, memaksa orang untuk pergi tanpa makanan dan obat-obatan yang tidak mampu lagi mereka beli,” lanjut dia.
Sejak junta militer melakukan kudeta awal Februari lalu, PBB memperkirakan, sebanyak 215.000 orang telah mengungsi dari rumah mereka, terlebih atas konflik etnis yang telah berlangsung sejak lama dan korban ekonomi dari pandemi.
“Saya pikir ini adalah krisis di atas krisis dengan krisis ketiga di atasnya,” kata Kirkwood. “Saya telah berada di negara ini selama 17 tahun, dan saya belum pernah melihat situasi seburuk sekarang ini.”
Thant Myint-U, penulis The Hidden History of Burma mengatakan, kerusuhan pasca-kudeta dan keruntuhan ekonomi telah menyebabkan harga makanan dan bahan bakar meningkat signifikan di kota-kota besar seperti Yangon dan Mandalay.
“Myanmar benar dilihat sebagai krisis hak asasi manusia yang mengerikan, tetapi juga bencana kemanusiaan tingkat pertama yang sedang terjadi,” kata Thant Myint-U. “Tidak ada skenario di mana jutaan orang kelaparan dan kemudian ada demokrasi sedikit lebih jauh.”
Kirkwood mengatakan, PBB telah melipatgandakan jumlah orang yang ditargetkan untuk bantuan darurat di Myanmar tahun ini. Angkanya, dari 1 juta menjadi 3 juta di negara berpenduduk 56 juta orang.
Di pedesaan, kelompok pemberontak telah meningkatkan serangan gerilya dalam beberapa pekan terakhir terhadap pasukan dan polisi rezim militer Min Aung Hlaing, yang membalas dengan memenjarakan atau membunuh pejuang dan warga sipil dan di beberapa daerah membakar rumah.
Depresiasi Mata Uang, Harga Barang Meningkat
Depresiasi kyat, mata uang Myanmar, terjadi dengan sangat cepat sehingga menyebabkan kenaikan harga yang signifikan. Selama beberapa minggu terakhir, harga makanan pokok, obat-obatan dan bahan bakar telah meningkat.
Eleven Myanmar melaporkan, nilai satu dolar AS dalam kyat di pasar valuta asing lokal meningkat dari Ks1.331 pada Januari 2021 menjadi Ks1.750 pada September 2021. Depresiasi mata uang sudah memburuk dalam beberapa hari terakhir, mencapai rekor tertinggi sekitar Ks2.700 pada tanggal 28 September.
Sedangkan di pasar lokal, beberapa bahkan berdagang dengan hampir Ks3.000 per dolar. Akan tetapi, nilainya turun menjadi sekitar Ks2.400 per dolar pada tanggal 30 September karena indeks dolar AS mencapai 94 poin.
Pasar valuta asing yang tidak stabil, harga emas menjadi fluktuatif dan harga bahan bakar yang tinggi sangat berpengaruh terhadap pasar barang konsumsi lokal dan konsumen masyarakat. Akibatnya, banyak bisnis lokal berhenti beroperasi.
“Bisnis telah ditutup satu demi satu. Toko-toko kecil telah tutup satu demi satu. Kedengarannya seolah-olah kami berada di lumpur. Semakin kita bergerak, semakin kita terjebak dalam lumpur,” kata seorang pengusaha lokal.
Editor: Iswara N Raditya