tirto.id -
Kepala UPT Museum Bahari Husnizon Nizar mengatakan api pertama kali ada di sisi utara bangunan Gedung C. Para petugas museum dan petugas kebersihan sudah berupaya memadamkan api. "Tapi karena asap semakin tebal kita tidak sanggup memadamkan,” kata dia.
Ia juga menduga menduga kebakaran terjadi karena korsleting sebab korsleting sudah beberapa kali terjadi. “Kami pernah mengalami beberapa kali, terutama lampu yang korslet. Makanya untuk anggaran tahun ini, kami anggarkan untuk penggantian instalasi listrik di Museum Bahari,” kata Nizar.
Mengapa korsleting sudah beberapa kali terjadi namun baru sekarang rencana penggantian instalasi listrik diajukan anggarannya? Tidakkah ini memperlihatkan pengelolaan yang buruk jika bukan sembrono?
"Kalau dilihat di museum ini memang masih di bawah standar ideal itu," kata Anggota Tim Penilai Standarisasi Museum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Asep Kambali.
Buruknya Sistem Keamanan Museum
Asep mengatakan yang berharga dari Museum Bahari bukan hanya koleksi-koleksi yang tersimpan di dalamnya, melainkan juga bangunan museum yang merupakan peninggalan VOC. Apalagi ada Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2015 yang mengatur tentang standarisasi museum.
Meski tak menjelaskan secara eksplisit apa sistem mitigasi dan keamanan yang diwajibkan, menurut dia, ada standar operasional pengamanan yang harus dibuat pengelola museum dalam PP tersebut.
"Dijelaskan dalam PP itu selain SDM ada infrastruktur yang salah satunya adalah pengamanan dan keamanan sistem gedung itu sendiri," kata pendiri Komunitas Historia Indonesia ini.
Asep mencontohkan tidak adanya sprinkler water yang berfungsi memadamkan api secara otomatis dengan alat detektor asap dan panas di dalam museum. "Itu tidak ada, tadi saya tanyakan katanya baru mau direncanakan tahun ini," ujarnya
Selain splinker water alat lainnya seperti CCTV, hydrant, tabung apar (alat pemadam kebakaran) juga wajib disiagakan di setiap bangunan. Namun yang tak kalah penting, lanjut Asep, adalah SDM pengawas museum juga perlu hadir dan disesuaikan dengan kebutuhan museum. Dia menyatakan, tidak pantas jika pengawasan museum hanya berjumlah dua orang. Hal tersebut tidak memenuhi standar operasional pelaksanaan yang ditetapkan oleh International Consult of Museum (Icom).
"Harusnya satu ruangan satu penjaga," kata dia.
"Kenapa? Karena saya pernah melihat museum-museum di luar negeri yang keamanannya penjagaan ketat banget. Kalau di sini, kita harusnya sesuaikan dengan kebutuhan, paling enggak untuk memantau perilaku pengunjung."
Pernyataan Asep diakui Nizar. Menurutnya masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki dari sistem mitigasi dan keamanan Museum Bahari. Ia misalnya menyebut alat pemadam api hanya ada 15 buah yang ada di beberapa sisi bangunan. Namun situasi ini menurutnya tak bisa dilepaskan dari anggaran pengelolaan museum yang minim dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Termasuk dana perbaikan instalasi listrik museum yang diduga menjadi penyebab terjadinya kebakaran.
Kurangnya Perhatian terhadap Museum di Indonesia
Menurut Asep, lemahnya sistem keamanan dan mitigasi museum tak hanya terjadi di Jakarta melainkan juga di daerah lain di Indonesia seperti Kalimantan, Lampung, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Baginya ini merupakan kesalahan pemerintah dalam melestarikan benda peninggalan sejarah.
"Saya sebut di sini salah satunya, Museum Sumbawa anggarannya hanya Rp 19 juta satu tahun, [bisa] buat apa?," keluhnya.
Asep meminta hal ini segera dibenahi. Ia khawatir kebakaran di Museum Bahari juga akan menimpa museum-museum lain di Indonesia. Apalagi selain kebakaran ada hal lain yang mesti diwaspadai seperti pencurian artefak kuno yang pernah terjadi di Museum Nasional.
"Saya berkali-kali bilang begini Museum Nasional itu 4 koleksi emas dari zaman Mataram Kuno hilang 2013 bulan September. Coba bayangkan museum standar International selevel Museum Nasional sekalipun bisa kecolongan," kata dia.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Jay Akbar