tirto.id - Masa ketika seorang pemain gim mesti membeli rilisan fisik untuk bisa memainkan sebuah video gim sudah lama sekali berlalu. Kini, video gim versi digital, di mana seseorang hanya perlu mengunduh arsip gim tersebut dari lokapasar yang tersedia, menjadi model distribusi yang lebih populer. Akan tetapi, model distribusi semacam ini menimbulkan permasalahan yang bisa menjadi sangat serius.
Ketika seseorang membeli rilisan fisik dari sebuah gim, mereka membeli produk nyata yang dapat dimainkan, dijual kembali, atau disimpan selama mereka inginkan. Namun, ketika pemain gim membeli salinan digital, pada dasarnya mereka hanya membeli lisensi untuk mengakses gim tersebut, bukan gim itu sendiri.
Perbedaan ini sekilas tampak subtil tetapi sesungguhnya amat krusial. Pasalnya, dengan begini, artinya para pemain gim tidak pernah memiliki gim yang mereka beli kendati sudah mengeluarkan uang dalam jumlah yang sama dengan ketika mereka membeli rilisan fisik.
Model distribusi digital menciptakan ketidakpastian bagi para gamer. Sebab, ketersediaan gim digital amat tergantung pada keputusan pengembang serta pemilik platform semisal Steam, Xbox Store, PlayStation Store, atau Epic Games. Gim-gim ini bisa dihapus begitu saja dari peladen (server) tanpa peringatan sebelumnya. Ketika ini terjadi, secara otomatis, para gamer pun bakal kehilangan akses atas gim yang sudah mereka beli.
Dengan kata lain, lewat model distribusi digital ini, gamer sebenarnya hanya menyewa akses ke sebuah gim tanpa ada jaminan apakah gim ini bisa dimainkan selamanya atau tidak. Situasi ini membuat para gamer akhirnya menuntut kepastian baik kepada pengembang, pemilik platform, bahkan pemerintah.
Pergeseran ke Distribusi Digital
Transformasi dari kepemilikan fisik ke digital tidak terjadi dalam semalam. Ini adalah kulminasi dari beberapa faktor yang saling berkaitan yang mengubah industri gim. Salah satu pergeseran pertama terjadi pada pertengahan 2000-an dengan munculnya internet broadband dan pengenalan platform distribusi digital seperti Steam, PlayStation Network, dan Xbox Live.
Steam, yang diluncurkan pada tahun 2003 oleh Valve, awalnya dimulai sebagai platform untuk pembaruan perangkat lunak dan patch untuk gim. Pada tahun 2005, Steam mulai menawarkan distribusi digital untuk gim lengkap, dan pada 2007 platform ini mulai berkembang pesat sebagai lokapasar untuk penjualan gim digital PC.
Popularitas Steam melonjak setelah pengenalan acara penjualan reguler seperti Steam Summer Sale yang membantu menjadikannya sebagai platform gim digital dominan.
Xbox Live Arcade yang diluncurkan pada tahun 2004, memungkinkan pemain untuk mengunduh gim indie kecil dan judul klasik langsung ke konsol Xbox mereka. Pada tahun 2008, ini menjadi bagian penting dari ekosistem Xbox, memberikan ruang bagi pembelian digital di samping penawaran ritel tradisional.
PlayStation Network (PSN) diluncurkan pada 2006. Namun, baru pada 2009, seiring dengan peluncuran PlayStation 3, pengunduhan gim digital menjadi bagian penting dari ekosistem PlayStation. Pada awal 2010-an, PSN telah menjadi platform utama untuk pembelian digital dan streaming game.
Perkembangan ini menandai pergeseran fundamental dalam cara gim didistribusikan dan dikonsumsi. Peningkatan kecepatan internet broadband, bersama dengan katalog gim yang terus berkembang yang tersedia untuk diunduh, menjadikan distribusi digital lebih menarik. Gamer sekarang bisa mengunduh gim lengkap langsung ke konsol atau PC mereka tanpa perlu media fisik.
Salah satu keuntungan besar dari pembelian digital adalah seringnya penjualan dan diskon yang terjadi di platform seperti PlayStation Store, Xbox Store, dan Steam.
Platform-platform ini sering mengadakan acara seperti Steam Summer Sale atau penjualan musiman PlayStation Store, menawarkan gim dengan diskon besar—kadang-kadang hingga 50 persen, 75 persen, bahkan 90 persen. Aksesibilitas ke gim dengan diskon ini telah menjadikan gim digital tidak hanya nyaman tetapi juga ramah anggaran bagi banyak pemain.
Selain itu, layanan langganan seperti PlayStation Plus, Xbox Game Pass, dan EA Play telah menjadi bagian yang tak kalah penting dari ekosistem digital gaming. Layanan-layanan ini memberikan akses kepada pelanggan ke pustaka besar gim dengan biaya bulanan.
Dalam beberapa kasus, pengguna dapat mengunduh dan memainkan gim secara gratis selama langganan mereka aktif. Sebagai contoh, PlayStation Plus menawarkan berbagai gim gratis setiap bulan, yang dapat diunduh dan dimainkan tanpa harus melakukan pembelian tambahan. Penawaran seperti ini telah membuat lebih terjangkau bagi pemain untuk mengakses berbagai judul tanpa harus membeli salinan fisik.
Peluncuran konsol seperti Xbox One dan PlayStation 4 pada tahun 2013 semakin memperkuat model digital sebagai standar industri. Meskipun rilisan fisik gim masih tersedia, terutama untuk kolektor dan mereka yang lebih suka memiliki produk yang nyata, tren yang paling dominan adalah distribusi digital yang menjadi metode utama untuk memperoleh gim. Pergeseran ke digital ini tidak hanya mengubah cara gim dibeli dan dijual, tetapi juga konsep fundamental dari kepemilikan gim.
Perlunya Regulasi dan Perlindungan Konsumen
Seiring industri gim terus berkembang dan gim digital menjadi format dominan, masalah kepemilikan digital harus segera ditangani. Gerakan seperti Stop Killing Games telah muncul untuk meningkatkan kesadaran tentang potensi hilangnya akses ke gim yang sudah dihapus dari toko atau tidak didukung lagi oleh penerbitnya.
Gerakan-gerakan ini mengadvokasi hak-hak konsumen yang lebih kuat, mendesak agar video gim diperlakukan sebagai barang jangka panjang, bukan sekadar lisensi untuk mengakses gim tersebut yang sifatnya hanya sementara. Untuk itu, diperlukan regulasi untuk memberi kepastian akan kepemilikan gim digital, khususnya dari pemerintah.
Industri gim juga perlu memberi informasi yang lebih klir kepada konsumen. Ketentuan yang lebih jelas mengenai kepemilikan digital, termasuk kemungkinan untuk mengunduh salinan permanen dari gim, dapat meredakan kekhawatiran. Transparansi akan membantu gamer memahami keterbatasan dari pembelian mereka.
Salah satu langkah signifikan dalam arah ini telah diambil oleh pemerintah negara bagian California. Menanggapi kekhawatiran yang semakin besar tentang kepemilikan digital, California mengesahkan Assembly Bill 2426 (AB 2426), yang mengharuskan toko digital mengungkapkan dengan jelas kepada konsumen bahwa pembelian media digital, seperti video gim, film, dan e-book, merupakan pembelian lisensi untuk mengakses konten digital tersebut, bukan kepemilikan penuh.
Ditandatangani menjadi undang-undang oleh Gubernur Gavin Newsom, AB 2426 mewajibkan platform untuk menghindari istilah yang menyesatkan seperti "beli" atau "pembelian" tanpa menjelaskan bahwa transaksi ini hanya sebatas penyerahan lisensi untuk mengakses konten digital yang sewaktu-waktu bisa dihapus atau dimodifikasi. Undang-undang yang berlaku mulai 2025 ini bertujuan untuk memastikan transparansi dan menghindarkan konsumen dari kebingungan.
Undang-undang semacam ini muncul sebagai respons terhadap kasus-kasus seperti penghapusan The Crew oleh Ubisoft dari toko digital mereka, di mana pemain yang telah membeli gim tersebut kehilangan akses begitu saja. Dengan mewajibkan platform digital untuk mengklarifikasi sifat dari pembelian digital, undang-undang California ini membantu mencegah kesalahpahaman dan memastikan bahwa konsumen menyadari potensi risiko yang terlibat dalam transaksi digital.
Langkah dari California itu memang baik, tetapi tidak menyelesaikan semua masalah. Biasanya, pengembang menjual gim digital dan rilisan fisik dengan harga yang sama, kecuali jika ada diskon dari platform lokapasar. Dengan pengorbanan yang sama, hak yang didapatkan konsumen sama sekali berbeda.
Inilah mengapa banyak gamer yang kemudian menuntut agar gim digital bisa dibeli dengan harga yang lebih murah. Selain itu, ada pula gamer yang merasa bahwa mereka berhak mendapatkan pengembalian dana (refund), atau kompensasi tertentu, apabila gim yang mereka beli dihapus dari server. Mekanisme semacam ini dianggap perlu untuk meningkatkan rasa saling percaya antara produsen dan konsumen.
Pada akhirnya, yang diinginkan para gamer dari situasi ini adalah kepastian. Para gamer sudah memahami bahwa konsep kepemilikan gim saat ini sudah berbeda dengan apa yang terjadi pada masa lalu, oleh karena itu, mereka tidak mau dicurangi begitu saja terutama oleh para pengembang dan pemilik platform. Mereka ingin mendapatkan hak yang setimpal dengan apa yang telah mereka korbankan.
Industri gim sangat membutuhkan kepercayaan para konsumen untuk terus bertahan. Sebab, di situasi seperti sekarang, tak sedikit pula gamer yang telah menyuarakan pembajakan sebagai "solusi" untuk menghadapi keculasan para pengembang dan/atau pemilik platform. Argumen mereka, "Kalau membeli tak berarti memiliki, maka membajak tak berarti mencuri."
Ini adalah sebuah peringatan bagi para pelaku industri gim. Apabila mereka gagal menjaga kepercayaan dari para gamer, jangan heran ketika nanti gamer yang menghancurkan industri tersebut dengan cara mereka sendiri.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi