Menuju konten utama

Sinopsis Buku Bermain Politik di Bulan Ramadan Karya Gus Mus dkk

Buku Bermain Politik di Bulan Ramadhan: Puasa Menghadapi Hedonisme Kontemporer menyoroti tentang ibadah puasa di bulan Ramadan.

Sinopsis Buku Bermain Politik di Bulan Ramadan Karya Gus Mus dkk
Bermain Politik di Bulan Ramadhan. foto/goodreads

tirto.id - Buku Bermain Politik di Bulan Ramadhan: Puasa Menghadapi Hedonisme Kontemporer merupakan salah satu karya yang direkomendasikan untuk dibaca selama Ramadan.

Buku Bermain Politik di Bulan Ramadhan: Puasa Menghadapi Hedonisme ini diterbitkan secara perdana pada tahun 1998 oleh penerbit Pustaka Adiba.

Buku yang terdiri dari 148 halaman ini merupakan salah satu karya kolaborasi dari A. Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib, dan Jalaluddin Rakhmat.

Seperti yang dikutip dari lamanEnsiklopedia Kemdikbud, A. Mustofa Bisri atau seringkali dipanggil Gus Mus merupakan seorang pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Istrinya bernama Siti Fatimah. Ayahnya bernama K.H. Bisri Mustofa dan ibunya bernama H. Ma’rafah Cholil.

Pria kelahiran Rembang, 10 Agustus 1944 tersebut selain sebagai pengasuh pondok pesantren, Gus Mus juga aktif dalam kegiatan menulis dan melukis. Beberapa karyanya berupa artikel ilmiah populer, cerpen, kumpulan sajak, cerita anak, esai keagamaan, hingga lukisan kaligrafi. Bahkan, ia pernah ditunjuk sebagai Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Periode 1994-1999 dan 1999-2004.

Pendidikan yang pernah ditempuhnya adalah di Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Al-Munawwir Krapyak di Yogyakarta, Raudlatuh Tholibin di Rembang, dan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.

Sementara itu, Emha Ainun Nadjib atau lebih akrab disapa dengan nama Cak Nun merupakan seorang seniman penyair kelahiran Jombang, 27 Mei 1953. Ia merupakan anak keempat dari lima belas bersaudara. Ayahnya bernama Muhammad dan ibunya bernama Chalimah.

Cak Nun pernah menikah dua kali, pernikahan pertama dengan Neneng Suryaningsih dan yang kedua dengan seorang artis papan bernama Novia Kolopaking.

Pendidikan yang pernah ditempuhnya ialah di pondok Modern Darussalam Gontor, tetapi tidak selesai. Kemudian, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah 1 di Yogyakarta hingga tamat. Ketika menempuh jenjang perkuliahan di Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, lagi-lagi tidak rampung, Cak Nun hanya bertahan sampai semester 1.

Selain menjalani kehidupannya sebagai penyair, Cak Nun juga berperan aktif dalam peristiwa transformasi politik dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Bahkan, ia merupakan salah satu anggota dari Dewan Sembilan yang menghadiri pidato pengunduran diri Presiden Soeharto di Istana Merdeka.

Setelah memasuki Orde Reformasi, Cak Nun memutuskan untuk melakukan pendidikan politik ke masyarakat melalui gerakan sholawat. Hal tersebut dilakukannya dengan memadukan kesenian, kebudayaan, ekonomi, politik, dan agama secara holistik sekaligus komprehensif.

Jalaluddin Rakhmat juga berperan sebagai pengarang dalam buku Bermain Politik di Bulan Ramadhan: Puasa Menghadapi Hedonisme Kontemporer. Pria yang kerap disapa Kang Jalal ini dikenal sebagai seorang cendekiawan atau pakar di bidang ilmu komunikasi.

Pria kelahiran Bandung, 29 Agustus 1949 ini menempuh pendidikan sarjana di bidang publistik di Universitas Padjadjaran tahun 1967-1976. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Lowa State University dan memperoleh gelar master di bidang komunikasi Massa. Ia juga mendapatkan geral doktor di bidang politik dari Australian National University.

Selain sebagai pengajar di Universitas Padjadjaran, Jalaluddin Rakhmat juga tergabung sebagai anggota Ikatan Sarjana Komunikasi dan International Communication Assosiation sejak tahun 1982. Jalaluddin pun sempat menjadi anggota DPR Komisi VIII periode 2014-2019 yang meliputi soal agama, sosial, dan pemberdayaan perempuan.

Melansir dari laman Goodreeds, Buku Bermain Politik di Bulan Ramadhan: Puasa Menghadapi Hedonisme Kontemporer menyoroti tentang ibadah puasa di bulan Ramadan yang acap kali dikesampingkan dan hanya dijadikan alat kepentingan lobi politik, dagang, sebagai media tender, diplomasi, dan lainnya.

Penulis mengungkapkan bahwa dirinya kerap diundang untuk berbuka puasa bersama dengan 90 persen hadirin yang tidak berpuasa, atau bahkan mayoritas hadirin tidak beragama islam. Kegiatan berbuka puasa tersebut tidak terfokus untuk beribadah bersama-sama, namun malah digunakan untuk deal bisnis, perkumpulan olah raga, dan jaringan politik.

Hal tersebut sangat disayangkan karena di bulan Ramadan diharapkan menjadi momen refleksi diri untuk menjadi insan yang lebih baik dan digunakan untuk memulihkan tenaga rohani untuk membakar benalu yang mengerdilkan moralitas agama.

Seharusnya bulan Ramadan dapat memberi kesadaran kepada setiap insan bahwa hasrat menimbun, berbisnis, mengumpulkan harta, dan berkuasa tak pernah ada puasanya kecuali dengan berpuasa (mengendalikan diri).

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2022 atau tulisan lainnya dari Yunita Dewi

Kontributor: Yunita Dewi
Penulis: Yunita Dewi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari