Menuju konten utama

Sidang MK: Alasan Kubu Prabowo-Sandi Klaim Menang 52 Persen

Tim Hukum Prabowo-Sandi menyatakan perolehan suara Jokowi-Ma'ruf tidak sah karena ada sekitar 22 juta pemilih yang diduga siluman.

Sidang MK: Alasan Kubu Prabowo-Sandi Klaim Menang 52 Persen
Suasana sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/6/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.

tirto.id - Tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga menjelaskan alasan mereka mengklaim kemenangan 52 persen atau setara 68.650.239 suara di Pilpres 2019.

Saat membacakan permohonan sengketa hasil Pilpres 2019 dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (14/6/2019), mereka menuding ada penggelembungan suara.

Tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga menduga ada 22.034.193 suara 'siluman' di Pilpres 2019. Angka itu dari 17,6 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diduga bermasalah oleh BPN Prabowo-Sandi dan keberadaan 5 juta pemilih 'siluman' lainnya saat pemilihan.

Salah satu anggota tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga, Teuku Nasrullah menyatakan penyebab kemunculan suara 'siluman' tersebut adalah keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dia juga menuduh KPU mengabaikan laporan BPN Prabowo-Sandiaga soal keberadaan 17,6 juta DPT yang bermasalah.

"Pemohon [BPN] sudah menginformasikan secara resmi kepada termohon [KPU] atas indikasi adanya DPT yang tidak wajar sebanyak 17,5 juta dan termohon tidak pernah mampu menjelaskan informasi yang diajukan pemohon," kata Nasrullah dalam sidang di Gedung MK, Jakarta.

"Termohon justru pada tanggal 17 April 2019, pada hari H pelaksanaan pemungutan suara menambahkan sebanyak 5,7 juta [pemilih] ke dalam DPK [Daftar Pemilih Khusus]," tambah dia.

Dia menjelaskan penambahan pemilih dalam DPK terjadi karena KPU menerbitkan PKPU Nomor 11 tahun 2019 dan PKPU Nomor 12 tahun 2019 tentang penyusunan daftar pemilih di dalam negeri dalam penyelenggaraan pemilu. Menurut Nasrullah, penambahan jumlah pemilih itu tidak wajar.

"Jika dilakukan penjumlahan atas DPT [bermasalah] dan DPK di atas, jumlahnya sama dengan dan atau mendekati DPT siluman yang jumlahnya sebesar 22 juta sekian," ujar Nasrullah.

"Dan berkorelasi dengan kecurangan tidak terbatas hanya dengan penggelembungan suara yang menguntungkan pasangan capres-cawapres nomor 01 Jokowi-Maruf," dia menambahkan.

Nasrullah tidak merinci daerah lokasi jutaan pemilih yang diduga 'siluman'. Dia hanya menyebut, suara sah Pilpres 2019 seharusnya 132.223.408 atau lebih kecil dari hitungan KPU.

Menurut Nasrullah, jika perolehan suara Jokowi-Ma'ruf versi rekapitulasi KPU, yakni 85.607.362 dikurangi 22.034.193 pemilih yang diduga siluman, paslon 01 itu meraup 63.573.169 suara saja (48 persen).

Sebaliknya, dia menganggap perolehan suara Prabowo-Sandiaga versi rekapitulasi KPU, sebanyak 68.650.239 juta seharusnya tetap utuh.

Dengan dalil demikian lah, tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga mengklaim bahwa paslon 02 itu menang Pilpres 2019 dengan raihan 52 persen suara.

Sesuai pemaparan ketua tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga, Bambang Widjojanto (BW) dalam persidangan di MK, pokok permohonan mereka ialah menggugat hasil Pilpres 2019.

BW menyatakan penetapan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pilpres 2019 tidak sah menurut hukum.

"Perolehan suara calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 1, Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebanyak 85.607.362 suara dibandingkan pemohon yang mendapat 68.650.239 suara sebenarnya ditetapkan melalui cara-cara yang tidak benar, melawan hukum atau setidak-tidaknya disertai penyalahgunaan kekuasaan presiden, petahana yang juga capres pasangan 01," kata BW.

BW menganggap Jokowi-Maruf melakukan kecurangan bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Hal ini, kata dia, adalah pelanggaran konstitusional terkait pemilu yang seharusnya digelar secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai pasal 22 E ayat 1 UUD 1945.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom