Menuju konten utama

Sicario: Day of the Soldado: Tidak Seistimewa Pendahulunya

Tiga sosok yang bikin Sicario dilirik Oscar: sutradara brilian Denis Villeneuve, sinematografer andal Roger Deakins, dan aktris berbakat Emily Blunt, absen di Soldado.

Sicario: Day of the Soldado: Tidak Seistimewa Pendahulunya
Josh Brolin (kiri), Jeffrey Donovan (tengah) dan Benicio Del Toro (kanan) dalam Sicario: Day of the Soldado. Columbia Pictures/Richard Foreman Jr.

tirto.id - Sicario (2015) tayang sebagai thriller kejahatan yang bermutu sekaligus mengundang profit, sebab mendapat pujian dari para kritikus sekaligus limpahan penggemar dari berbagai negara. Sekuel yang nanti akan ditutup oleh film ketiga pun dijajaki, dengan judul Sicario 2: Soldado.

Rilis sebagai di Amerika Utara dalam nama singkat Soldado, Sicario: Day of the Saldado masih menampilkan dua jagoan utama: Josh Brolion sebagai Matt Graver dan Benicio del Toro sebagai Alejandro Gillick.

Problem utama cerita berasal dari perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko. Meski dijaga ketat, terutama dari otoritas keamanan AS, penyelundupan imigran ilegal tetap berjalan atas kendali kartel-kartel Meksiko.

Dalam sebuah penyergapan para imigran gelap di perbatasan Texas, salah seorang di antaranya ternyata calon pembom bunuh diri. Sebelum meledakkan diri ia merapal doa dan mengucap takbir. Ritual yang sama juga dilakukan oleh dua teroris bom lain yang sukses menghancurkan isi sebuah toko swalayan, beberapa hari setelahnya, dan menyeret banyak korban jiwa.

Adegan beralih ke penyerbuan mematikan ke markas kelompok terduga teroris Somalia. Salah satu anggota dibawa ke pangkalan militer AS di Djibouti. Ia diinterogasi, bermodal ancaman tak manusiawi dari Graver, sebab kriminal Afrika ini ditengarai menyediakan jalan masuk bagi teroris Islamis ke AS dari Meksiko.

Akibat tekanan publik serupa situasi pasca-9/11, otoritas AS mencoba menanggulanginya dengan kebijakan yang menurut saya tidak realistis tapi memang menjual untuk film aksi: mengadu domba para kartel agar saling menghabisi satu sama lain, sekaligus mengacaukan bisnis penyelundupan imigran.

Graver merekrut Gillick untuk melaksanakan tugas yang mengharuskan ia bermain kotor itu. Isabela Reyes (Isabela Moner), anak perempuan salah satu pimpinan kartel terbesar, diculik. Graver berlaku seakan mewakili kartel saingan ayah Isabela.

Operasinya lagi-lagi berlimpah darah dan nyawa. Graver, Gillick, dan tim khusus yang dibayar mahal oleh pemerintah AS dengan enteng mencabut nyawa orang-orang yang menghalangi misinya. Di sekuel ini nyawa berharga amat murah.

Sayangnya, bukan perang antarkartel yang didapat, melainkan keterlibatan polisi Meksiko yang dibayar kartel untuk menghabisi Graver dan kawan-kawan. Dalam proses mengantar pulang Isabela, Graver diserbu, dan Isabela kabur. Ia berhasil ditemukan oleh Gillick, lalu dimulai lah petualangan menuju perbatasan AS-Meksiko.

Situasinya kian runyam sebab, pertama, polisi-polisi bayaran yang menyerang tim Graver tewas semua. Hubungan politik AS-Meksiko dipertaruhkan, juga muncul kemungkinan pencabutan paksa jabatan sang presiden—si pemesan jasa Graver.

Kedua, teroris yang menyerang toko swalayan ternyata bukan selundupan dari Meksiko, tapi warga asli New Jersey. Dasar kebijakan mengacau perbatasan pun makin terlihat tidak sah.

Misi dibatalkan sepihak. Graver kini ditugaskan untuk membunuh Isabela, saksi kunci terhadap kematian para polisi Meksiko. Ia menurut, meski awalnya ragu. Di titik ini sisi buas tanpa mempedulikan aturan ala pemerintah AS makin menyeruak ke permukaan.

Menariknya, Gillick menolak tugas tersebut. Sisi sentimentalnya hadir sebab putrinya dulu terbunuh, dan ia memutuskan untuk membawa Isabela ke AS dengan selamat. Ia otomatis menjadi musuh Graver, meski ancaman paling mematikan justru datang dari salah satu kartel penyelundup.

Adalah cerdas menjadikan isu perbatasan sebagai sumber konflik, mengingat kini krisis imigrasi di AS sedang berlangsung panas-panasnya. Namun, alih-alih mengelaborasinya lebih lanjut, Saldado memutuskan untuk tidak. Kisah tentang teroris Afrika pun gagal untuk menjadikan film ini punya awalan yang menggigit, atau setidaknya nyambung.

Soldado boleh dikatakan nihil intensitas laga yang dibangun dengan elegan, sebagaimana yang Denis Villeneuve lakukan di film pertama. Harapan ini sebenarnya sudah runtuh sejak Villeneuve memutuskan tidak lagi menggarap sekuel sebab jadwalnya bertabrakan dengan Arrival (2016) dan Blade Runner 2049 (2017).

Villeneuve adalah sutradara yang matang untuk drama berat sebagaimana ia sukses menggarap Enemy (2013), Prisoner (2013), dan Incendies (2010). Arrival (2016) dan Blade Runner 2049 (2017) membuktikan dirinya mampu menjajaki fiksi ilmiah. Sicaro jadi pembuktian lain bahwa ia sanggup mengolah aksi yang mutunya sampai dilirik nominasi Oscar.

Kualitas serupa sayangnya tidak tersaji di Soldado. Sutradara Stefano Sollima boleh dibilang gagal memenuhi ekspektasi publik yang berharap Soldado minimal bisa dikemas sebaik Sicario.

Penulis naskahnya memang masih dipegang Taylor Sheridan. Namun narasi bikinannya kini kurang fokus, juga kurang mendalam, sehingga menuntun karakter-karakternya bergerak secara lebih acak ketimbang saat beraksi di Sicario. Nuansa filmnya memang lebih gelap ketimbang yang pertama, tapi jenis kegelapannya tanpa tujuan jelas.

Saat tokoh-tokoh dalam film membuat keputusan yang nampak terlalu acak serta tidak didasarkan pada argumen yang solid, brutalitas yang dihasilkan moncong-moncong senjata laras panjang terasa lebih murahan.

Infografik Misbar sicario

Sheridan seakan keliru memahami daya tarik utama Sicario. Ia mengasumsikan para penggemar haus akan pertumpahan darah dalam latar dan nuansa western era modern, dan di Soldado ia pasang harapan tersebut dalam serangkaian klimaks.

Pertumpahan darah memang ada di Sicario, namun bukan disetel sebagai sajian paling pokok atau bahkan tujuan akhir. Ia dipakai untuk mengantar si protagonis bergerak menuju pertemuan dengan karakter-karakter baru nan misterius, menjajaki upaya penyelesaian masalah, dan membuka lapisan-lapisan fakta baru sebagai twist yang menjaga rasa penasaran penonton.

Penyebab utamanya barangkali ketiadaan Kate Macer, yang diperankan dengan mempesona oleh aktris Emily Blunt di Sicario. Macer adalah sosok idealis yang membantu menavigasi kekacauan yang dibikin oleh Graver dan Gillick—yang bertindak secara jauh lebih oportunis, atau bahkan nihilis.

Tanpa Macer selaku penyeimbang, Soldado hanya menampilkan dua pria pengusung senjata api, berbalut machoisme skala tinggi, yang bertindak rusuh di perbatasan AS-Meksiko. Sekuel ini kehilangan daya untuk menumbuhkan karakter maupun konflik secara organik dan alamiah.

Selain menggembirakan penonton dengan intensitas aksi yang berkelas, Sicario juga memanjakan mata melalui kerja-kerja sinematografer andal, Roger Deakins. Deakins telah memenangkan setidaknya 115 penghargaan, termasuk sinematografi terbaik di gelaran Oscar 2018 untuk Blade Runner 2049 (2017).

Jasanya tidak lagi dipakai di Soldado. Demikian juga komposer andal asal Islandia, Jóhann Jóhannsson, yang membersamai Villeneuve sejak Prisoners. Elemen-elemen kunci yang absen ini menjadikan Soldado secara umum tidak seistimewa Sicario.

Penggemar Sicario belum patah arang. Harapan terakhir ditumpukan pada film ketiga sebagai penutup trilogi. Semoga nama-nama besar itu kembali, atau setidaknya nama-nama yang ada mampu mengolah akhir trilogi menjadi karya yang seistimewa pendahulu pertamanya.

Baca juga artikel terkait RESENSI FILM atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf