tirto.id - Lembaga Pengelola Investasi atau Sovereign Wealth Fund (SWF) tampaknya menjadi agenda utama pemerintah setelah Undang-Undang Cipta Kerja diketok DPR, Oktober 2020. Januari lalu, SWF bernama Indonesia Investment Authority (INA) resmi lahir. Sebulan kemudian, pengurus dana abadi ini pun telah lengkap, baik Dewan Pengawas maupun Dewan Direksi.
SWF merupakan lembaga pengelola dana milik pemerintah. Fungsinya mirip dengan manager investasi swasta, tapi ia beroperasi atas nama dan untuk kepentingan pemerintah. Spektrum investasinya pun bisa lebih luas, tergantung batasan kebijakan investasinya. Ia dapat berinvestasi di instrumen keuangan maupun investasi langsung, baik di dalam maupun luar negeri. SWF terutama mengelola dana pemerintah, namun bisa juga mengelola dana dari investor lain atau pun bermitra dengan pihak lain dalam berinvestasi.
Khusus SWF INA, pemerintah menjadikannya tumpuan harapan baru untuk keberlanjutan proyek-proyek infrastruktur di negeri ini. Artinya, investasinya diarahkan terutama ke proyek-proyek infrastruktur.
Tak dapat dipungkiri, infrastruktur Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara tetangga. Ini membuat daya saing global Indonesia juga terbilang rendah. Pada 2014-2015, merujuk World Economic Forum, Daya Saing Infrastruktur Indonesia berada di urutan ke-72. Jadi, tidak salah sebenarnya bila Joko Widodo menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai agenda utamanya ketika ia terpilih menjadi presiden pada 2014.
Hasilnya, Daya Saing Infrastruktur Indonesia memang naik ke posisi 52 pada 2017-2018. Artinya, melompat 20 peringkat. Saya kira, ini pantas dicatat sebagai sebuah prestasi yang luar biasa. Sayangnya, ini tak cukup. Lompatan ini belum mampu menyejajarkan posisi Indonesia dengan negeri-negeri jiran. Sebagai pembanding, Daya Saing Infrastruktur Malaysia berada di peringkat 22 dan Thailand menduduki peringkat 43. Jangan tanya lagi, Singapura!
Ranjau di BUMN Karya
Tentu saja, untuk mengejar ketertinggalan tersebut, perlu dana sangat besar. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan, Indonesia membutuhkan dana investasi Rp4.796,2 triliun untuk periode 2015-2019. Kemudian, untuk periode 2020-2024, kebutuhan dana investasinya meningkat menjadi Rp6.445 triliun.
Padahal, kondisi keuangan negara kita sangat terbatas. Tiap tahun, kita mengalami defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada akhir 2014, realisasi defisit mencapai Rp226,96 triliun atau naik 7% dibandingkan 2103, yang sebesar Rp211,67 triliun. Saat itu, utang pemerintah mencapai Rp2.608 triliun atau 24,7% dari produk domestik bruto (PDB).
Agar Proyek Strategis Nasional bisa berjalan, Jokowi dan kabinetnya lantas membuat terobosan yang disebut PPP, public-private partnership. Pemerintah mendorong partisipasi swasta dalam pembangunan proyek infrastruktur bagi publik. Tentu bukan perkara mudah. Sebab, swasta selalu bergerak dengan kalkulator untung-rugi. Sementara, penyediaan infrastruktur publik belum tentu menguntungkan dalam waktu singkat. Tidak heran, kita kemudian lebih banyak menyaksikan kiprah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Karya, seperti PT Hutama Karya, PT Waskita Karya Tbk, PT Wijaya Karya Tbk, PT Adhi Karya Tbk, dan PT PP Tbk.
Padahal, BUMN pun memiliki dana terbatas. Maka, demi mendongkrak kemampuan BUMN, pemerintah menyuntikkan modal tambahan yang disebut penyertaan modal negara (PMN). Tambahan modal ini menjadi daya pengungkit (leverage) kemampuan BUMN untuk mencari pendanaan, baik dari lembaga keuangan maupun dengan menerbitkan surat utang.
Terobosan itu tak cuma sukses mewujudkan sebagian ambisi infrastruktur Jokowi, tapi juga berhasil menahan laju defisit anggaran dan utang pemerintah. Hingga akhir 2019, performa APBN tetap terlihat meyakinkan. Defisit APBN 2019 tercatat sebesar Rp353 triliun atau hanya 2,2% dari PDB. Utang pemerintah mencapai Rp4.778 triliun. Memang, naik 82% dibandingkan posisi akhir 2014, tapi rasionya baru 29,8% dari PDB. Artinya, masih jauh dari batas yang diamanatkan Undang-Undang Keuangan Negara, yakni 60%.
Namun, di balik “cantiknya” APBN, beban BUMN Karya yang ketiban sampur penugasan proyek infrastruktur membengkak. Pada akhir 2019, liabilitas Hutama Karya melonjak dari Rp5 triliun pada 2014 menjadi Rp68,69 triliun. Pada periode sama, liabilitas Waskita Karya menggelembung dari Rp9,7 triliun menjadi Rp93,5 triliun. Wijaya Karya, dari Rp10,9 triliun menjadi Rp42,9 triliun. Adhi Karya, dari Rp8,7 triliun menjadi Rp29,7 triliun. Adapun, liabilitas PP, dari Rp12,2 triliun menjadi Rp1,8 triliun.
Dengan liabilitas sebesar itu, kemampuan BUMN Karya untuk mencari pendanaan semakin terbatas. Sebab, jika dihitung, rasio liabilitas terhadap ekuitas (LE ratio) BUMN Karya sudah terbilang tinggi. Perinciannya, Hutama Karya, 2,99 kali; Waskita Karya 3,21 kali; Wijaya Karya, 2,23 kali; Adhi Karya, 4,34 kali; dan PP, 2,41 kali.
Kas dan setara kas mereka pun sudah sangat terbatas. Hingga akhir 2019, Hutama Karya cuma memiliki kas dan setara kas sebesar Rp8,2 triliun; Waskita Karya Rp9,27 triliun; Wijaya Karya Rp10,35 triliun; Adhi Karya Rp3,26 triliun; dan PP Rp9,1 triliun.
Di sisi lain, sebagian besar proyek yang dikerjakan merupakan infrastruktur publik dengan tingkat keuntungan mungil. Oleh karena itu, proyek seperti ini biasanya langsung didanai oleh anggaran pemerintah. Kecilnya keuntungan proyek infrastruktur ini terlihat dari laba kotor BUMN-BUMN Karya. Mengambil contoh lima BUMN di atas, masing-masing margin laba kotornya 13,8% (Hutama Karya), 17,86% (Waskita Karya), 9,63% (Wijaya Karya), 15,26% (Adhi Karya), dan 14,13% (PP). Ujungnya, margin laba bersih mereka juga sangat minim, yakni 6,98% (Hutama Karya), 3,28% (Waskita Karya), 9,63% (Wijaya Karya), 4,34% (Adhi Karya), dan 4,9% (PP).
Dengan kondisi seperti itu, dipastikan sangat sulit bagi BUMN-BUMN tersebut untuk melanjutkan penugasan proyek infrastruktur impian Jokowi. Bahkan, jika melihat arus kas bersih tiga dari empat BUMN yang minus pada 2019, bisa jadi BUMN Karya menyimpan ranjau yang siap meledak, berupa gagal bayar utang. Kesulitan membayar utang akan menularkan penyakit ke perbankan.
Tak heran, beberapa BUMN kebelet melego sejumlah proyek infrastruktur yang telah jadi. Waskita Karya, misalnya, sejak tahun lalu menawarkan 9 ruas tol miliknya dengan target penerimaan Rp10 triliun-Rp11 triliun. Namun, sampai sekarang belum terjual.
Jurus Lanjutan
Kondisi yang dialami BUMN-BUMN tersebut merupakan konsekuensi logis dari tugas membangun infrastruktur secara masif. Saya yakin, pemerintah pun sudah mengkalkulasi kemungkinan ini bahwa pada akhirnya, APBN harus “menolong” BUMN-BUMN tersebut. Namun, barangkali pemerintah berpikir bisa membeli waktu dengan strategi ini. Secara teori, pembangunan akan mendongkrak ekonomi dan pendapatan negara. Jadi, ketika harus menyuntik BUMN, kondisi APBN diharapkan sudah lebih longgar.
Sayang, untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Belum lagi pembangunan masif terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi signifikan, datanglah Covid-19. Pada Maret 2020, pemerintah resmi mengakui virus ini telah masuk ke Indonesia. The rest is history, Covid-19 menjelma pandemi yang memicu krisis kesehatan sekaligus resesi ekonomi.
Untuk mengatasinya, pemerintah terpaksa menerbitkan surat utang besar-besaran. Sepanjang tahun lalu, utang pemerintah bertambah Rp1.257 triliun menjadi Rp6.074,56 triliun. Alhasil, rasio utang terhadap PDB menjadi 38,68%. Defisit APBN pun mencapai 6,09% terhadap PDB atau senilai Rp956,3 triliun.
Dalam kondisi seperti ini, jika bersikeras pembangunan proyek infrastruktur terus berjalan, pemerintah mungkin harus berutang lebih besar lagi demi bisa menyuntik modal tambahan ke BUMN. Bukan mustahil, batas rasio utang akan tertembus. Apalagi jika resesi ekonomi pun berkepanjangan.
Namun, dugaan saya ternyata meleset. Pemerintah jelas sudah menyiapkan jurus lanjutan. Jurus itu tak lain adalah SWF. Bahkan, pembentukan SWF sepertinya sudah disiapkan jauh hari sebagai exitstrategy dari kemacetan pendanaan infrastruktur. Oleh karena itu, saya tak begitu kaget ketika pemerintah begitu bersikeras meloloskan UU Cipta Kerja, yang menjadi payung hukum pendirian SWF di Indonesia.
Bagaimana cara kerjanya? Sebagai awal, pemerintah memang menyetor modal tunai Rp15 triliun yang berasal dari APBN 2020. Tahun ini, pemerintah akan menggenapi modal SWF hingga mencapai Rp75 triliun. Kekurangan Rp60 triliun akan ditutup dengan dana tunai Rp15 triliun dari APBN tahun ini dan non-tunai Rp45 triliun, antara lain berupa aset dan saham BUMN. Namun, hingga kini, pemerintah belum mengungkapkan apa saja aset negara dan BUMN yang akan dialihkan menjadi aset SWF.
Dibandingkan kebutuhan dana seperti hitungan Bappenas, modal itu tentu sangat mungil. Oleh karena itu, SWF harus mampu menarik investor, baik lokal maupun asing, untuk ikut berinvestasi dalam masterfund ataupun sub-fund tematik bentukan SWF. Bukan sebagai pemberi utang, tapi sebagai pemegang saham.
Sebagai contoh, proyek jalan tol yang ingin dilepas oleh Waskita tadi bisa dikemas dalam sub-fund. Selain dari SWF, modal sub-fund yang membeli ruas tol ini dapat berasal dari beberapa investor yang berminat. Alhasil, BUMN akan menerima dana segar yang bisa dipergunakan untuk mengurangi beban utang dan menggarap proyek baru. Sementara, SWF – bersama mitranya – akan menikmati keuntungan dari operasional jalan tol dan nilai proyek yang meningkat seiring bertambahnya pengguna tol kelak.
Dengan cara ini, pemerintah optimistis, INA kelak bisa mengelola aset senilai Rp225 triliun. Dengan SWF, pemerintah tak perlu menggelontorkan banyak dana APBN untuk membangun infrastruktur. Alih-alih, SWF-lah yang akan mendanai proyek-proyek infrastruktur. Singkatnya, SWF INA sejatinya adalah siasat pemerintah mengakali cekaknya keuangan negara kita untuk membangun infrastruktur yang memang jauh tertinggal dari negara lain.
Oleh karena itu, performa SWF INA kelak menjadi sangat krusial, baik untuk keberlanjutan pembangunan infrastruktur maupun untuk keuangan negara. Salah kelola atau kerugian bisa menjadi bumerang yang membebani keuangan negara. Sebab, UU Cipta Kerja menyatakan, pemerintah bisa menambah modal bila SWF mengalami kerugian yang menyebabkan modal awalnya turun 50%.
Selain itu, kerugian bisa saja memicu terjadinya penjualan aset dengan valuasi rendah karena dilakukan dalam kondisi BUC alias butuh uang cepat. Mau tak mau, ini mengingatkan saya pada era Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pascakrisis 1998, di mana nilai hasil penjualan aset di bawah dana yang digelontorkan pemerintah ke perbankan.
Namun, kalaupun untung, kemungkinan bukan pemerintah Indonesia yang menikmati keuntungan terbesar. Sebab, akibat modal cekak tadi, porsi ekuitas SWF INA di masterfund maupun subfund sangat mungkin lebih kecil ketimbang investor lainnya. Artinya, bagian dari keuntungannya pun lebih kecil. Barangkali, inilah konsekuensi yang harus kita terima akibat terbatasnya sumber dana pemerintah dan kelalaian membangun infrastruktur secara bertahap dan berkelanjutan di masa lalu.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.