tirto.id - Angka kekerasan di Irak menurun empat tahun selepas Pemerintahan Saddam Hussein digulingkan oleh Amerika Serikat (AS). Namun, tidak dengan “kemarahan jalanan” yang justru semakin menjadi-jadi, dilansir dari reportase Cara Buckley untuk The New York Times, Desember 2007.
“Kemarahan jalanan” yang dimaksud tidak timbul dari kerusuhan akibat pergantian kekuasaan di Irak. Namun, karena kian masifnya peningkatan jumlah kendaraan, khususnya motor, yang tumbuh hingga 50 kali lipat.
Melesatnya pertumbuhan kuantitas motor tersebut ditopang oleh fakta bahwa Irak adalah salah satu produsen minyak terbesar di dunia, di mana masyarakat tidak perlu khawatir atas tarif bahan bakar minyak. Timbul kepercayaan diri di masyarakat bahwa mereka adalah negeri kaya yang tidak perlu lagi memedulikan militer atau kalangan bersenjata.
Selan itu, pesatnya penggunaan motor juga karena moda transportasi ini memudahkan masyarakat untuk lebih cepat lolos dari pantauan pos pemeriksaan. Hal itu karena tubuh mereka terlihat jelas dan dapat dengan mudah dipantau dari pos, berbeda dengan mobil yang sarat dicurigai aparat.
Alhasil, puluhan ribu masyarakat Irak banyak yang berlalu-lalang menggunakan motor. Terlebih lagi harga untuk membeli moda transportasi ini terjangkau, yakni kisaran 911 ribu dinar atau setara USD750 (sekitar Rp7 juta asumsi kurs Rp9.400/USD).
Murahnya harga motor tersebut karena mayoritas merupakan barang impor dari China. Merek motor yang umum ditemukan pada masa itu adalah “Yomaha,” “Yenaha,” “Haoda,” dan “Honca.”
Suatu penamaan merek motor yang tentu saja terinspirasi dari dua merek motor terbesar dan termahsyur di dunia, yakni Yamaha dan Honda, yang berasal dari Jepang. Negeri yang menginisiasi kelahiran industri otomotif berbasis roda dua.
Moriki Ohara dalam studinya yang berjudul Asian Industrial Development from the Perspective of the Motorcycle Industry, menyebutkan bahwa kelahiran industri motor didorong oleh permintaan orang-orang Asia yang butuh moda transportasi nyaman di tengah buruknya kondisi jalanan dan transportasi publik.
Semrawutnya Jalanan di Jepang
Saat ini Negeri Sakura terkenal sebagai negara maju dengan infrastruktur dan tata kota yang sangat baik, bahkan mampu menyaingi AS dan Eropa. Akan tetapi, pada era 1990-an kondisi infrastruktur di Jepang sangat buruk.
Jeffrey W. Alexander dalam bukunya berjudul Japan’s Motorcycle Wars (2008) menerangkan buruknya kondisi jalan tersebut karena abainya pemerintah Jepang yang baru. Mereka menganggap jalan semata-mata hanya untuk mempertahankan kontrol politik dan keamanan, bukan sebagai infrastruktur penunjang ekonomi.
Tak ayal, Jepang di permulaan abad ke-20 hanya memiliki satu jalan utama saja yang membentang dari Edo (Tokyo) hingga Tokaido (Kyoto). Kemudian bercabang ke empat titik, yakni Nakasendo, Konshu Kaido, Nikko Kaido, dan Oshu, dengan puluhan pos keamanan atau “sekisho” sebagai kontrol politik dan keamanan.
Di sisi lain, untuk menunjang kebutuhan ekonomi, Jepang hanya mengandalkan perahu atau kapal serta kereta api. Lalu juga ada electric tramway di dalam kota yang diperkenalkan sejak 1854 sebagai hadiah lokomotif dari Amerika Serikat untuk shogun yang tengah berkuasa kala itu.
Beragamnya moda transportasi yang ada menciptakan kondisi bertajuk “kongo kotsu shakai” atau “masyarakat lalu lintas campuran.” Alexander menjabarkan situasi tersebut sebagai kondisi jalan yang buruk dan semerawut karena siapa pun dan moda apa pun saling tumpang tindih menggunakan jalanan.
Bayangkan saja, masyarakat Jepang kala itu dapat menghabiskan waktu hingga 12 hari untuk perjalanan dari Tokyo ke Kyoto. Ada yang memanfaatkan kaki (berjalan), menggunakan delman atau kuda, dan sepeda. Perlu diketahui, sepeda adalah moda transportasi bertenaga manusia yang pertama kali diperkenalkan di Jepang pada 1888.
Kondisi jalanan Negeri Matahari kala itu tidak jauh berbeda dengan Indonesia, terutama Batavia (Jakarta). Melansir studi berjudul Representation of Development in 19th and 20th Century Indonesia, Howard Dick menyebutkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menjajah tidak ambil pusing atas perkembangan infrastruktur jalan karena dianggap tidak menguntungkan.
Batavia kala itu hanya memiliki jalur kereta api dengan fokus mengangkut komoditas ekonomi. Pemerintah Hindia Belanda tidak ingin transportasi ini digunakan masyarakat umum.
Dalam studinya, Howard menjabarkan kisah seorang masyarakat Surakarta yang mengirim surat ke penguasa sebagai bentuk protes atas pemberlakuan tarif kereta yang tidak murah dan adil.
Dalam mengatasi buruknya jalanan, sebagian kalangan masyarakat Hindia Belanda (yang kaya) bersiasat dengan mendatangkan bus buatan General Motor untuk membangun moda transportasi publik alakadarnya. Sebagai contoh adalah PO (Perusahaan Otobus) bernama Tan Luxe Omnibus Service.
Inisiasi Industri Motor Jepang
Berdasarkan penuturan Alexander, inisiasi perkembangan industri motor di Jepang dilakukan oleh Shimazu Narazo. Pria kelahiran Osaka tahun 1888 ini terpesona dengan motor buatan Pierce Cycle Company yang merupakan hadiah ulang tahun ke-15 dari ayahnya. Sepeda motor tersebut didatangkan dari New York dengan mahar senilai 120 Yen.
Meski terpesona dengan motor, Shimazu tak lantas menawarkan motor sebagai solusi kesemrawutan jalanan Jepang. Musababnya, tentu saja, ia belum paham dengan baik soal motor.
Dalam upayanya mencari pengetahuan soal motor, Shimazu lantas mencari segala informasi dan seluk beluk motor. Dirinya tidak segan mengimpor majalah-majalah yang mengulas tetek-bengek motor ke Jepang. Semisal salah satu edisi Scientific America dan Motorcycle Manual yang, di awal abad ke-20, sempat mengulas teknis rinci mengapa motor dapat bekerja.
Setelah lulus dari sekolah teknik yang berlokasi di Prefektur Nara pada 1908, upaya pencarian Shimazu dilanjutkan di Toyoda Loom, perusahaan tekstil yang berada di Prefektur Aichi. Perusahaan memberinya beasiswa untuk melanjutkan studi tentang teknologi ke Amerika Serikat.
Tak jelas sekolah dan pengetahuan apa yang dicari dan diraihnya di Amerika Serikat, namun selepas kembali ke Jepang “Shimazu memutuskan untuk membuat mesin sepeda motornya sendiri,” tulis Alexander.
“Di sini,” terang Shimazu, “di pojok pabrik inilah saya membangun mesin motor [...] di sela-sela bertugas mengurus mesin tekstil saya membangun Shimazu Motor Research Institute.”
Kesemsem dengan kegigihan Shimazu, bos Toyoda Loom, Toyoda Sakichi, akhirnya memutuskan memberikan bantuan teknis lebih lanjut dalam upaya anak buahnya itu membangun mesin motor pertamanya.
Kemudian disokong pendanaan ayahnya, Shimazu akhirnya berhasil menciptakan mesin motor pertama bertajuk “made in Japan” pada 1908, yang lantas disematkan pada sepeda yang ada di gudang Toyoda.
Sayangnya, sepeda motor dua tak yang diciptakan pertama kali itu tidak efisien secara bahan bakar. Poros engkol, batang penghubung, dan dinding silindernya harus dilumasi dengan cara mencampur oli dengan bahan bakar sehingga menghasilkan lebih banyak polusi
Pada 1909, dengan dukungan yang lebih banyak, Shimazu menciptakan sepeda motor keduanya dan dinamai “NS”—inisialnya sendiri. Dari NS inilah, Nihon Motorcycle Company dibentuk untuk menyediakan solusi alakadarnya bagi kondisi jalanan di Jepang. Motor tersebut dapat dimiliki masyarakat umum dengan mahar senilai 200 Yen per unit.
Tak lama selepas Shimazu menghadirkan solusi alakadarnya ini, perusahaan Jepang lain, Miyata Manufacturing Company, menyusul dengan menghadirkan moda transportasi serupa bagi masyarakat.
Meskipun demikian, Alexander mengungkapkan bahwa solusi alakadarnya ini, tidak langsung berhasil mengatasi masalah jalanan di Jepang. Hal ini disebabkan rata-rata penghasilan masyarakaat saat itu hanya berkiras 20 yen per bulan, jadi sukar untuk membeli sepeda motor.
Praktis, satu dekade sejak kemunculannya, publik tetap dihadapkan dengan “pertarungan” di jalanan, dengan berjalanan kaki, mengendarai kuda, dan bersepeda dalam suasana kian buruknya infrastruktur.
Namun, karena pada 1914 hingga 1918 dan 1939 hingga 1945 dunia dihadapkan dengan Perang Dunia jilid pertama dan kedua, solusi alakadarnya ini perlahan-lahan dapat dinikmati masyarakat Jepang.
Musababnya, dalam dua perang tersebut, militer Jepang membutuhkan banyak moda transportasi dan sepeda motor jadi salah satu pilihan utama. Bukan cuma Shimazu dan Miyata, sepeda motor akhirnya diproduksi besar-besaran oleh pelbagai perusahaan Jepang lain, misalnya Maruyama Manufacturing, Toyo Industries (Mazda), Meguro Manufacturing, Showa Co, dan Rikuo Motor Company.
Setelah perang berakhir, dalam edisi pertama maupun kedua, terjadi banjir kuantitas motor. Ada yang lantas didistribusikan dengan harga miring maupun diberikan cuma-cuma bagi masyarakat umum.
Tak cuma di Jepang, kebutuhan militer ini pun didistribusikan ke segala pos yang dikuasai negeri matahari terbit ini. Tidak terkecuali Hindia Belanda dengan motor “made in Japan” pertamanya yang tiba pada 1936 (buatan Miyata dan Meguro). Pendistribusian motor pun kian menjadi-jadi pada 1943 via andil Markas Riset Orde Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.
Dalam The Origins and Development of Honda’s Globalization yang ditulis Tsumotu Demizu, solusi alakadarnya ini lalu menyebar ke pelbagai penjuru dunia. Penyebarannya terutama masif di kawasan Asia yang juga memiliki kondisi jalan yang buruk.
Terlebih lagi pertumbuhan perusahaan sepeda motor baru, yakni Honda, Yamaha, Suzuki, dan Kawasaki, menyemarakkan produksi moda transportasi ini. Belum lagi kebijakan pemerintah Jepang yang mendevaluasi mata uangnya, Yen, terhadap mata uang asing, terutama dolar, untuk membuat sepeda motor buatan Jepang sangat murah sejak 1950-an.
Pelan tapi pasti, “sepeda motor jadi nadi kehidupan masyarakat Asia,” tulis Moriki Ohara dalam Asian Industrial Development from the Perspective of the Motorcycle Industry. “Bak masyarakat Amerika Serikat melihat mobil”— tentu, tak seperti publik Eropa dengan transportasi publiknya yang ciamik itu.
Bukan cuma motor jadi pilihan transportasi utama di Asia, motor juga berhasil membangun perekonomian di Indonesia. Hal ini karena pertumbuhan motor mendorong kemunculan pemasok lokal yang berhasil meraih 30 persen total nilai bisnis sepeda motor di dalam negeri.
Atas pentingnya motor bagi publik (Asia), motor bertransformasi menjadi elemen atau kebutuhan pokok untuk hidup di kawasan Benua Kuning. Namun, karena popularitasnya motor acap kali ditarget pihak tak bertanggung jawab untuk dikuasai secara tidak sah.
Terlebih, hingga awal 1990-an, tidak ada teknologi khusus apa pun yang disediakan produsen motor untuk mengatasi masalah ini. Ambil contohnya dengan menyediakan sistem keamanan anti-maling.
Baru selepas Honda merilis Astrea Grand, teknologi keamanan alakadarnya diperkenalkan dalam rupa kunci roda ban. Bagi pemilik jenis motor lain, gembok yang dipasang di cangkram depan jadi solusi yang digunakan.
Untunglah, papar Ben Vollaard dalam The Engine Immobilizer, produsen sepeda motor perlahan menerapkan teknologi keamanan. Hal ini didorong oleh inisiasi otoritas Uni Eropa yang mewajibkan produsen mobil untuk memasang electronic engine immobilizer.
Teknologi tersebut merupakan sebuah alat yang dirancang untuk memblokir sirkuit kelistrikan kendaraan saat kunci tidak berada di kunci kontak untuk mencegah hotwiring.
Teknologi ini diimplementasikan dalam bentuk Honda Ignition Security System atau Yamaha dalam bentuk Immobilizer Yamaha Emulator. Usaha yang masih terasa sederhana untuk mengamankan salah satu pokok kehidupan masyarakat Asia.
Editor: Dwi Ayuningtyas