tirto.id - Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 (PDF) mengatur sanksi apa saja yang dapat dijatuhkan untuk para penolak vaksin COVID-10. Salah satunya adalah dikecualikan dari program jaminan sosial atau bantuan sosial. Aturan ini dianggap melanggar konstitusi lantaran merenggut hak warga negara.
Pasal 13A ayat 4 huruf a dalam regulasi yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 9 Februari 2021 lalu itu menyebutkan setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin COVID-19 tapi tidak mengikuti vaksinasi dapat dikenakan sanksi administratif. Sanksi administratif itu berupa “penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; b. penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau c. denda.”
Peneliti Kantor Hukum dan HAM Lokataru Fian Alaydrus bilang sanksi tersebut bertolak belakang dengan Pasal 28h Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”
“Perpres ini Jokowi yang buat. Makanya kami bilang blak-blakan saja bahwa Jokowi melanggar konstitusi,” kata Fian kepada reporter Tirto, Rabu (24/2/2021).
Lebih jauh ia juga bertolak belakang dengan Pasal 34 UUD 1945 yang mengamanatkan negara “mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” “Apalagi kondisi sedang pandemi. Perlindungan sosial merupakan penyangga hidup. Apabila sanksi diberlakukan akan semakin melemahkan masyarakat,” kata Fian.
Belum lagi menurutnya sanksi tersebut juga tak sesuai dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasonal. Ia juga menilai Jokowi telah melanggar DUHAM atau anjuran majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah diratifikasi.
Atas dasar itu Fian mendesak Jokowi merevisi poin terkait sanksi administratif. Menurutnya jauh lebih baik bagi pemerintah menerapkan pendekatan persuasif daripada mengutamakan sanksi.
Sanksi bagi mereka yang menolak vaksin sebetulnya telah diwanti-wanti oleh para anggota legislatif saat Komisi IX DPR RI rapat bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 14 Januari 2021. Salah satu hasil rapat adalah DPR meminta agar pemerintah “tidak menerbitkan dan menerapkan ketentuan dan atau peraturan denda dan atau pidana untuk penerima vaksin COVID-19.” Menkes Budi kemudian mengusulkan mengubah redaksional poin tersebut menjadi “tidak mengedepankan ketentuan dan/atau peraturan denda dan/atau pidana untuk menerima vaksin COVID-19”. Frasa “tidak menerbitkan dan menerapkan” hilang.
Hasilnya, lima pekan setelah kesepakatan rapat yang berlangsung hampir 7 jam itu, terbitlah Perpres 14/2021 yang berisi sanksi denda bagi penolak vaksin.
Beberapa hari setelah perpres keluar, Ketua Komisi IX DPR Felly Estelita Runtuwene mengeluarkan kritik kepada pemerintah. Ia bikin pernyataan tertulis bahwa perpres tersebut bertentangan dengan kesimpulan rapat terakhir. “Pemerintah sudah melanggar kesepakatan dengan Komisi IX DPR,” kata Felly.
Pernyataan legislator dari Fraksi Nasdem itu sempat diunggah di situs fraksinasdem.org pada Senin (15/2/2021) tapi kemudian hilang.
Memperkuat Resistensi
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan program vaksinasi yang tepat dilakukan dengan prinsip sukarela dan pendekatan, sosialisasi, serta komunikasi risiko yang sesuai dengan masing-masing kalangan hingga level paling bawah. Maka alih-alih membuat masyarakat sukarela untuk divaksin, sanksi malah akan membuat orang makin resisten.
“Saya menentang sanksi bagi [yang] tak mau divaksin. Itu memperburuk situasi; membuat orang-orang yang resisten terhadap vaksin semakin kuat terutama di kelompok usia produktif,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Rabu (24/2/2021).
Resistensi publik terhadap vaksin memang bisa dibilang masih tinggi, setidaknya menurut survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia pada 1-3 Februari 2-21. Dari 1.200 sampel populasi penduduk, mereka menemukan 41 persen di antaranya enggan divaksin karena berbagai alasan.
Presiden sebetulnya mengakui mengomunikasikan dan menyosialisasikan program vaksinasi merupakan tantangan tersendiri. “Sosialisasi itu memang kurang,” akunya di akun Youtube Sekretaris Presiden, Sabtu (20/2/2021). Dalam video itu Jokowi juga bilang yang paling penting dalam vaksinasi adalah kesadaran.
Meski dalam perpres mengatur soal sanksi, namun Jokowi bilang tak akan menonjolkan itu. “Itu namanya orang disuruh vaksin tapi ditakut-takuti. Saya kira tidak seperti itu yang kita inginkan. Kesadaran yang baik yang diperlukan,” katanya.
Pernyataan ini, bagaimanapun, tidak menghilangkan fakta bahwa sanksi tetap ada dan berlaku.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino