tirto.id - Rentetan gempa mengguncang Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat siang hingga petang (28/9/2018) kemarin. Gempa terbesar dengan magnitudo 7,4 SR terjadi pukul 17.02 WIB. Titik pusat gempa berada di 26 km timur laut Donggala dengan kedalaman 11 km.
“Kami keluarkan peringatan dini tsunami pada lima menit setelah gema terjadi,” kata Kepala BMKG Dwikorota Karnawati dalam siaran pers BMKG.
Tsunami tersebut memang menghantam Donggala dan Palu sekitar setengah jam kemudian. Tsunami itu menerjang kawasan pantai Barat Donggala dan Palu bagian Barat. Berdasarkan pantauan BMKG dan informasi saksi lapangan, ketinggian tsunami mencapai 1,5 meter. Kepanikan melanda warga Kota Palu setelahnya. Ditambah lagi listrik putus dan jaringan komunikasi terganggu akibat gempa dan tsunami sore itu.
Seturut Dwikorita, pemicu gempa besar dan tsunami kemarin adalah aktivitas Sesar Palu-Koro. Pernyataan Dwikorita juga dikonfirmasi oleh PVMBG.
“Berdasarkan posisi dan kedalaman pusat gempa bumi, maka kejadian gempa bumi tersebut disebabkan oleh aktivitas sesar aktif pada zona Sesar Palu-Koro yang berarah barat laut-tenggara,” demikian pernyataan resmi PVMBG.
Geografi fisik Pulau Sulawesi memang sangat kompleks. Dua abad silam, naturalis Alfred Russel Wallace sudah menengarai hal ini kala meneliti di sana pada 1856, 1857, dan terakhir 1859. Dalam perjalanannya yang terakhir di sekitar Sulawesi bagian utara, ia sempat mencatat proses gempa di sana.
Dalam Kepulauan Nusantara (2009, hlm. 185 dan 208), ia memperkirakan bahwa terjadi gempa-gempa kecil yang konstan di dalam perut bumi Sulawesi. Dari pengamatannya pada bentang alam dan kekhasan hayati Sulawesi, Wallace menduga pulau ini adalah bagian tertua dari Kepulauan Nusantara. Kemungkinan besar, Sulawesi sudah terbentuk jauh sebelum pulau-pulau besar di barat Kepulauan Nusantara terbentuk.
Wajah Sulawesi yang sekarang dibentuk oleh fenomena geologi yang terjadi perlahan dan berkala selama ribuan tahun. Para geolog mengungkap bahwa Sulawesi terbentuk dari pertemuan tiga lempeng benua, yaitu Australia, Eurasia, dan pasifik. Karenanya, tak heran banyak sekali zona sesar di pulau ini akibat gerakan dan tumbukan antar lempeng benua itu.
Setidaknya ada empat sesar besar yang mengepung Sulawesi. Sesar itu di antaranya adalah Sesar Saddang, Sesar Gorontalo, Sesar Matano, dan Sesar Palu-Koro. Di antara keempatnya, Sesar Palu-Koro adalah yang paling aktif.
“Sesar Palu-Koro ini bahkan yang paling aktif dari seluruh sesar di Indonesia. Pergerakannya kira-kira 7 cm per tahun. Sementara Sesar Semangko di Sumatera yang juga besar dan sesar lain pergeserannya di bawah 5 cm per tahun,” terang aktivis kebencanaan Trinirmalaningrum.
Sesar ini membujur utara-selatan, diperkirakan bermula di Laut Sulawesi hingga Teluk Donggala sepanjang 500 km. Sesar ini berlanjut di darat hingga sepanjang 250 km. Memanjang dari Donggal, Kota Palu, membelok ke tenggara melewati Taman Nasional Lore Lindu, sampai Teluk Bone.
Seturut catatan sejarah, sesar ini paling sering menimbulkan gempa, baik skala kecil hingga besar. Gempa pertama yang tercatat oleh seorang geolog Belanda bernama Abendanon terjadi pada 1907. Gempa itu terjadi di segmen Kulawi-Lindu di sebelah selatan Kota Palu.
Dua tahun kemudian, sebuah gempa besar dengan magnitudo 7-8 SR mengguncang segmen yang sama, tepatnya di muara Sungai Saluki. Setelah gempa 1909 itu orang-orang yang tinggal di daerah itu eksodus. Kemudian, daerah itu ditinggali lagi oleh kelompok lain yang sama sekali tak tahu tentang gempa 1909. Jadi, ada keterputusan pengetahuan tentang gempa di sana.
Gempa purba di segmen ini pernah diteliti oleh geolog LIPI Mudrik Daryono pada 2012 silam. Kala itu, ia tergabung dalam program Graduate on Earthquake and Active Tectonic hasil kerjasama antara pemerintah Australia, LIPI, dan ITB.
“Kami punya bukti jelas sekali terkait gempa yang terjadi pada 1909 di segmen Saluki, Kabupaten Sigi. Di sana kami temukan pergeseran tanah sebesar 500 meter di muara Sungai Saluki,” tutur Mudrik.
Secara teori, gempa bumi di sesar aktif akan terjadi lagi di titik yang sama dalam interval waktu tertentu. Dari interval inilah akan terlihat siklus gempanya. Menurut, Mudrik interval gempa sesar aktif di segmen Kulawi itu diperkirakan terjadi dalam 130 tahun sekali. Namun, hal itu belum menjadi kesimpulan, baru sebatas indikasi.
“Idealnya, kesimpulan siklus itu diperkirakan dari setidaknya tiga jeda waktu. Di Saluki kami baru ketemu satu jeda waktu,” lanjutnya.
Sayangnya, data-data geologi tentang keseluruhan Sesar Palu-Koro ini sangat terbatas. Apa yang diteliti oleh Trinirmalaningrum dan Mudrik hanya mencakup segmen sesar di darat. Sementara data terkait segmen sesar Palu-Koro di bawah laut nihil sama sekali.
Minimnya data inilah yang jadi sebab Trinirmalaningrum menggagas Ekspedisi Palu-Koro pada pertengahan 2017. Rencananya sudah disiapkan sejak 2013. Salah satu hasil dari ekspedisi yang baru rampung Agustus lalu ini adalah dokumentasi gempa-gempa yang terjadi di sepanjang Sesar Palu-Koro.
Di antara gempa besar tahun 1909 hingga yang terjadi kemarin di Donggala dan Palu, setidaknya tercatat delapan gempa lain yang tak kalah destruktif. Rini, sapaan akrab Trinirmalaningrum, membeberkan pernah terjadi delapan kali gempa di sana: gempa Watusampu (1927), gempa Donggala (1938 dan 1998), gempa Tambu (1968), gempa Lawe (1995), gempa Tonggolobibi (1996), gempa Rano (1998), dan gempa Bora (2005).
Gempa Watusampu pada 1927 memicu tsunami setinggi 15 meter. Daratan pantai sepanjang 200 meter tenggelam karenanya. Gempa lain yang memicu tsunami adalah gempa di Tambu dan Tonggolobibi. Semuanya terjadi di sekitar Teluk Donggala.
Terkait dengan gempa di Donggala dan Palu, Jumat kemarin, Rini mengatakan bahwa sebenarnya sudah ada rentetan gempa sejak 2016. Namun, karena episentrumnya dalam, getarannya tak terasa di permukaan. Ia juga mengatakan bahwa gempa yang terjadi belakangan ini sebenarnya sudah terprediksi. Pemerintah semestinya bisa lebih cepat tanggap menanggulanginya.
Rencana kontingensi terkait potensi gempa pun sebenarnya sudah ada. Di dalamnya telah ada instruksi yang jelas terkait penanggulangan gempa dan tsunami. Pada awal 2018 pun Badan Geologi sudah merilis peta ancaman gempa di Sulawesi. Namun, Rini menyayangkan sosialisasi terkait potensi gempa ini lambat.
“Semestinya informasi itu disosialisasikan jauh sebelumnya. Sehingga sekarang tidak panik. Kelemahannya, rencana sudah dibuat, tetapi tak pernah ada latihan atau persiapan,” kata ketua tim Ekspedisi Palu Koro ini.
Karenanya, lewat Ekspedisi Palu-Koro itu sebenarnya ia ingin menyajikan data dan dokumentasi lebih lengkap tentang potensi gempa di Sulawesi Tengah yang mudah diakses oleh masyarakat.
Editor: Maulida Sri Handayani