Menuju konten utama

Sering Diserang di Masa Lalu Bikin Rusia Parno dan Penuh Curiga

Sejak abad ke-13 sampai era Perang Dunia II, Rusia pernah jadi sasaran invasi bangsa Mongol, Polandia, Swedia, Prancis, dan Nazi Jerman.

Sering Diserang di Masa Lalu Bikin Rusia Parno dan Penuh Curiga
Tentara Rusia berpawai saat parade Hari Kemenangan, yang memperingati kemenangan atas Nazi Jerman pada Perang Dunia II, di Red Square, pusat kota Moskow, Rusia, Kamis (9/5/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Shamil Zhumatov/djo/wsj.

tirto.id - Agresor. Pelanggar HAM. Penjahat perang.

Tudingan di atas kian kerap dipakai untuk Rusia memasuki bulan kelima invasi mereka ke Ukraina. Namun sebenarnya pandangan tentang Rusia pasca-Soviet sebagai entitas yang agresif bisa dilacak lebih jauh dari itu, yaitu sejak dua dekade silam, ketika Vladimir Putin naik ke tampuk kekuasaan.

Meskipun mulanya disambut sebagai harapan baru bagi demokratisasi Rusia, Putin lekas disorot sebaliknya. Penyebabnya adalah ia gencar mengampanyekan Perang Chechen II. Dalam konflik yang dimulai sejak 1999 tersebut, Rusia berupaya menguasai wilayah eks-Soviet, Chechnya. Ini adalah percobaan kedua setelah dalam perang sebelumnya Chechen berhasil mempertahankan wilayahnya.

Beragam aksi brutal tentara Rusia terhadap sipil terkuak, termasuk pembantaian ratusan warga desa yang mayatnya dibiarkan menggunung sampai menghalangi jalan.

Menurut jurnalis John Sweeney dari The Observer, “kekejaman paling biadab sejak Perang Dunia II”tersebut wajib dipertanggungjawabkan oleh Putin.

Rusia kembali berulah pada 2008, hanya beberapa bulan setelah Putin bermanuver agar tetap berkuasa dengan menjabat perdana menteri. Kali ini dengan Georgia. Dalam peristiwa lima hari yang disebut sebagai “perang pertama Eropa abad ke-21” tersebut, Georgia—yang diprovokasi Rusia—berusaha merebut kembali provinsi separatis sokongan Kremlin. Pihak Rusia kemudian membalasnya dengan invasi berskala besar.

Rusia menduduki 20 persen wilayah Georgia dan konflik mengakibatkan kematian ratusan warga serta 30 ribu orang terlantar. Pengadilan HAM Eropa kelak memutuskan otoritas Rusia bersalah atas serangkaian pelanggaran HAM di sana.

Pada waktu itu pemerintah Eropa dan Amerika Serikat ikut dikritik karena dianggap terlalu lembek terhadap Rusia. Hasil negosiasi damai yang dimediasi oleh Prancis, misalnya, masih berpihak pada Rusia. Mengutip politikus Georgia Irakli Kobakhidze, tak satu pun negara menjatuhkan sanksi kepada Rusia.

Menurut peneliti dari think tank Atlantic Council, respons lemah dari komunitas internasional seakan jadi “lampu hijau” bagi Rusia untuk berulah dengan pola sama ke Ukraina melalui pencaplokan Semenanjung Krimea pada 2014.

Baru setelah kasus Krimea-lah Eropa dan AS lebih serius menanggapi tindak tanduk Rusia. Mereka menjatuhkan serangkaian sanksi ekonomi, sesuatu yang kini kembali kompak dijatuhkan oleh sejumlah negara besar dan semakin mengisolasi Rusia sebagai musuh bersama.

Namun Kremlin sering menganggap sanksi ini sebagai hal remeh. Beberapa hari sebelum menginvasi Ukraina, perwakilan pemerintah Rusia mengatakan kepada BBC bahwa sanksi adalah hal ilegal yang sedari dulu digunakan oleh negara Barat sebagai alat untuk melawan dan menghambat kemajuan mereka. Citra Rusia sebagai agresor bahkan disangkal sebatas “hasil rekaan” Barat—merujuk pada Washington dan London—yang reputasinya sendiri “berlumuran darah.”

Ketakutan Rusia

Berbagai pendekatan diajukan untuk menyingkap perspektif Rusia dan justifikasinya melayangkan agresi brutal belakangan ini: dari yang paling lazim melihatnya sebagai kekhawatiran terhadap demokratisasi Ukraina atau ekspansi NATO; obsesi terhadap mitos kejayaan imperialis sejak abad ke-15; sampai pandangan bahwa Putin punya masalah kejiwaan (disebut “kepribadian psikopatik politik”).

Berbagai sudut pandang di atas sebenarnya terikat oleh satu benang merah, yaitu penguasa Rusia memupuk rasa curiga, paranoia, dan bertindak defensif terhadap segala hal berbau asing—atau konteksnya sekarang merujuk pada pemerintah AS, Eropa Barat, dan ide-ide tentang demokrasi.

Lebih dari tiga perempat abad silam, intelektual-diplomat AS berbasis di Moskow, George Kennan, sudah menyinggung poin di atas dalam telegram sepanjang 5.000 kata untuk Washington. Menurut Kennan dalam analisis tahun 1946 tersebut, pandangan dunia di kalangan pejabat Kremlin dilandasi oleh “rasa tidak aman Rusia yang bersifat tradisional dan naluriah.”

Perasaan itu awalnya datang dari “masyarakat petani damai yang berusaha bertahan hidup di hamparan ladang terbuka dengan orang-orang nomaden ganas di sekitarnya.” Seiring waktu, elite penguasa Rusia yang berinteraksi dengan negara-negara ekonomi mapan dari Barat mulai memaknai perasaan tersebut sebagai “ketakutan terhadap masyarakat yang jauh lebih terorganisir, kuat, dan kompeten.”

“Mereka selalu takut pada penetrasi asing,” tulis Kennan, “takut pada kontak langsung antara dunia Barat dan dunia mereka sendiri, takut pada yang akan terjadi jika Rusia belajar tentang kebenaran tanpa dunia, atau jika orang asing belajar kebenaran tentang dunia.”

Lantas, bagaimana cara mereka memenuhi rasa amannya? Jawaban Kennan: “kehancuran total terhadap saingannya, yang tidak akan pernah diwujudkan melalui perjanjian atau kompromi dengannya.”

Paranoia Rusia

Pakar kajian Rusia dari Tufts University, Gregory Carleton, menawarkan perspektif lain untuk memahami paranoia Rusia yang menjadikannya agresor pada hari ini. Dalam buku Russia: The Story of War (2017), Carleton menyebut itu ada kaitannya dengan sejarah mereka yang kerap diperangi oleh asing.

Selama ratusan tahun, jauh sebelum kekaisaran berdiri, leluhur orang Rusia beberapa kali sempat mengecap rasanya jadi sasaran serbuan tentara asing.

Pada abad ke-13, persisnya 1237, bangsa Mongol jadi agresor pertama tanah Kievan Rus—cikal-bakal negara modern Rusia, Ukraina, dan Belarusia—yang ditinggali oleh bangsa Rus. Karut-marut kala itu dideskripsikan oleh berbagai arsip abad pertengahan sebagai “pusaran setan”.

Salah satu kota yang pertama jatuh, Riazan, sampai-sampai diabadikan sebagai “momok Tuhan”. Di sana pria dewasa dan anak-anak dibantai, perempuan diperkosa, orang-orang yang berlindung ke gereja dibakar hidup-hidup.

Setelah bangsa Rus ditundukkan, para penguasa Mongol memerintahkan bangsawan setempat, termasuk pangeran-pangeran daerah, agar membayar pajak dan upeti kepada para khan yang menetap di sisi luar timur Kievan Rus.

Menjelang akhir abad ke-15, penguasa lokal Ivan III atau Ivan Agung memutuskan berhenti menyerahkan upeti dan kelak berhasil mendepak bangsa Mongol. Pangeran Moskow ini kemudian mendulang ketenaran karena mempersatukan para pemimpin lokal, memperluas teritori Rusia, dan menjadikan Moskow pusat pemerintahan.

Penting untuk diingat pula bahwa sejak abad pertengahan, agama Rusia Ortodoks mulai berkembang. Kota Moskow pun dielu-elukan sebagai pusat ajaran kristiani dengan sebutan “Roma Ketiga” (asumsinya, Vatikan sudah lebih dulu menjadi pusat Gereja Katolik; sementara Konstantinopel, cikal bakal Istanbul, dikuasai kaum muslim dari kekaisaran Ottoman).

Meskipun sepanjang abad ke-16 Rusia sukses berekspansi sampai Siberia dan Asia Tengah, selama beberapa waktu (1598-1613) mereka juga sempat ribut gara-gara krisis politik terkait perebutan kekuasaan di antara para bangsawan. Di tengah konflik sipil itulah Rusia kembali mendapat serangan dari luar.

Masih dilansir dari buku Carleton, dari arah selatan mereka kedatangan pasukan Tatar Krimea, pengikut kekaisaran Turki Ottoman yang sempat membakar Moskow. Kemudian, pada 1609, dari arah barat, Persekutuan Polandia-Lithuania mendeklarasikan perang agar pangeran Polandia dapat bertahta di Moskow. Tahun 1611, pasukan Polandia mulai menguasai kota tersebut sembari menawan pemimpin agama Ortodoks, Patriark Hermogen.

Setahun kemudian, mereka berhasil dikalahkan tak lain berkat mobilisasi religius Hermogen, yang tak terima dengan rencana Raja Polandia untuk menyebarkan agama Katolik di sana. Hermogen mengampanyekan agar rakyat ikut membebaskan “tanah hebat” mereka dari “para serigala rakus” dan “gerombolan kejam.”

Seiring keributan dengan Polandia berlangsung, dari arah utara pasukan Swedia datang menyerang. Padahal, perseteruan yang dimulai pada 1610 ini diawali dengan persekutuan Swedia-Rusia untuk melawan Polandia. Konflik dengan Swedia kemudian diakhiri dengan Perjanjian Stolbovo (1617) yang mengakibatkan Rusia kehilangan kawasan Baltik dan akses terhadap Laut Baltik.

Karut-marut di atas, tulis Carleton, otomatis mendorong bangsa Rusia untuk melihat dirinya sebagai “objek unik untuk invasi” tak hanya karena kerap diserang, namun juga diserang dari setiap arah mata angin.

Awal abad ke-17 turut membuka pintu bagi kepemimpinan trah Romanov, dimulai dari Mikhail I yang diangkat sebagai tsar pada 1613. Sekitar seabad kemudian, keturunannya, Peter Agung, mendeklarasikan berdirinya Kekaisaran Rusia. Tsar Peter jugalah yang berhasil mengusir pasukan Swedia ketika mereka memerangi Rusia lagi pada 1708-1709. Di bawah kepemimpinannya, Rusia gencar berekspansi disokong tentara dan angkatan laut yang perkasa.

Meskipun dikenal sebagai kekuatan imperialis yang besar, Rusia kembali jadi sasaran invasi pada 1812. Kala itu, Napoleon Bonaparte bermaksud menekan Tsar Alexander agar mau bersekutu untuk memusuhi Inggris. Pemimpin Prancis tersebut nekat mengomando lebih dari 500 ribu tentara Grande Armée untuk menyerbu teritori Rusia.

Hasilnya? Mereka kalah telak. Di antaranya karena tidak mempertimbangkan kesulitan transportasi logistik dan kurang persiapan menyambut kejamnya cuaca dingin Rusia. Jumlah pasukan Napoleon yang tewas juga lebih banyak daripada pasukan Rusia (300 ribu vs 200 ribu).

Perang singkat ini kelak dikenang sebagai Perang Patriotik di Rusia, dan dipandang sebagai salah satu momen kebesaran bangsa mereka.

Seabad kemudian, setelah menjadi Uni Soviet di bawah kepemimpinan Joseph Stalin, Rusia masih jadi target invasi. Kali ini musuh mereka adalah Nazi Jerman yang melancarkan serangannya pada musim panas 1941. Jika kita mengenal episode ini sebagai bagian dari Perang Dunia II, orang-orang Rusia dan mereka yang tinggal di kawasan eks-Soviet mengingatnya sebagai Perang Patriotik Besar atau Front Timur (karena tentara Soviet bertugas mempertahankan kawasan timur Eropa).

Perang Patriotik Besar dikenang sebagai panggung pengorbanan terbesar bagi rakyat Rusia. Dilansir dari tulisan Carleton, “untuk setiap tentara Amerika yang tewas, nyaris 65 warga sipil Soviet gugur.” Perang ini jugalah, menurut Carleton, yang menjadi “platform bagi landasan historis dari nyaris seluruh identitas mitos Rusia.”

Tak mengherankan jika berakhirnya Perang Dunia II dan kekalahan Nazi (maksudnya kemenangan Soviet) selalu dirayakan dengan heboh dan heroik di Rusia, disebut Hari Kemenangan dan dirayakan setiap 9 Mei dengan parade militer yang dilatih selama berbulan-bulan. Tahun ini, parade berlangsung di belasan kota dan dilaporkan melibatkan lebih dari 60 ribu orang, 2 ribuan senjata, dan nyaris 500 unit pesawat.

Infografik Riwayat Perang Terhadap Rusia

Infografik Riwayat Perang Terhadap Rusia. tirto.id/Sabit

Menyerang untuk Bertahan

Berdasarkan riwayat sebagai target perang sejak abad ke-13 sampai era Perang Dunia II, dapat dipahami bagaimana penguasa Rusia melihat negerinya sebagai objek yang senantiasa dikepung musuh, atau dengan kata lain: menjadi korban atas keberingasan bangsa lain.

Di samping itu, keyakinan tentang Rusia sebagai pusat ajaran Kristiani sejati turut melanggengkan ide-ide tentang bangsa yang spesial, eksepsional, dan lebih unggul sehingga rentan jadi target serangan musuh untuk dihancurkan.

Melansir artikel Carleton yang terbit di The ConversationApril silam, kalangan nasionalis Rusia pada 1800-an ikut andil menyebarluaskan pandangan tersebut. Contohnya novelis Fyodor Dostoevsky atau sastrawan Apollon Maikov yang menganalogikan tanah Rusia sebagai biara yang dikepung oleh musuh dan hanya sanggup mengandalkan dirinya sendiri agar selamat.

Tidak menutup kemungkinan ide-ide demikian turut membangun budaya politik dan militer di kalangan penguasa Rusia, melanggengkan pandangan bahwa menyerang pihak lain merupakan langkah logis untuk menyelamatkan bangsa Rusia.

Pada akhirnya jadi sasaran invasi di masa lalu tentu bukan justifikasi atau pembenaran tentang tindak-tanduk agresif Rusia hari ini. Akan tetapi, sebagaimana Carleton tegaskan dalam bukunya, mengabaikan kenyataan tersebut juga kurang tepat karena dapat membatasi kemampuan kita untuk lebih utuh memahami Rusia yang sekarang militan dan ekspansionis.

Baca juga artikel terkait RUSIA atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino