tirto.id - Bupati Purbalingga Tasdi berkali-kali mengacungkan tiga jari—kelingking, telunjuk dan ibu jari—dalam perjalanan dari Jawa Tengah ke Jakarta. Pertama di di Stasiun Purwokerto; kedua sesampainya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (5/6/2018) dini hari; dan ketiga saat keluar dari KPK dan sudah mengenakan rompi oranye khas.
Matanya sesekali tajam menatap kamera para juru warta, lain waktu bibirnya tersenyum simpul. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut.
Tasdi adalah tersangka suap proyek pembangunan Purbalingga Islamic Center Tahap II tahun 2018 yang menelan anggaran negara hingga Rp22 miliar. Ia diduga menerima Rp100 juta dari pemenang proyek.
KPK menduga "uang komitmen" yang diberikan swasta totalnya Rp500 juta atau setara 2,5 persen dari nilai proyek.
Tasdi ditangkap bersama Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Pemkab Purbalingga Hadi Iswanto. Sementara Hamdani Kosen, Librata Nababan, dan Ardirawinata Nababan dari pihak swasta juga ditangkap.
Protes dan Menutupi Rasa Malu
Pakar Semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Acep Iwan Saidi, mengatakan kalau apa yang dilakukan Tasdi adalah bentuk protes terhadap partainya sendiri, PDI Perjuangan, yang telah memecatnya. "Tiga" merujuk pada nomor urut PDIP pada pemilu mendatang.
PDIP memecat Tasdi setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Senin (4/6/2018) lalu.
"Salam tiga jari itu bisa dilihat sebagai bentuk 'perlawanan' terhadap partai," kata Acep kepada Tirto, Sabtu (9/6/2018). Menurutnya hal tersebut ia lakukan dalam rangka "mempermalukan" PDIP.
Selain itu, tingkah Tasdi juga dianggap wajar sebagai bentuk pengalihan untuk menutupi rasa malu. Sikap seperti itu memang dapat mengobati psikologis orang-orang yang mengalami rasa tidak nyaman.
"Semacam sublimasi dalam psikoanalisa Sigmund Freud. Salam tiga jari adalah pengalihan untuk menutupi rasa malu dan 'kejatuhan/kehinaan diri'. Menurut Freud, ini bagian dari mekanisme pertahanan diri," kata Acep.
Pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini menyebut, untuk menutupi rasa malu, seseorang dapat melakukan bermacam hal. Selain melakukan gestur seperti yang diperbuat Tasdi, mereka bisa juga mengeluarkan tindakan verbal.
Tindakan yang mungkin dilakukan, misalnya, tersenyum atau cengengesan.
"Bisa juga melontarkan ucapan-ucapan menantang. Ingat kasus Anas dulu? (Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi proyek Hambalang). Seperti [melontarkan kata] 'gantung Anas di Monas', 'sepeser pun tidak menerima', dan lain-lain."
Tasdi juga disebut hendak "mengajak" rekan-rekannya merasakan apa yang dia alami. Sebab, katanya, penderitaan sama seperti rasa senang: harus ditanggung bersama.
"Kalau punya bukti yang lain terlibat, kan tidak jarang [koruptor] yang mau jadi justice collaborator. Tapi, kalau tidak, paling cuma menyindir-nyindir aja. Dengan itu paling tidak ia sudah merasa cukup untuk mengatakan ke publik bahwa 'yang seperti saya ini banyak'," ujarnya.
Sementara Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko, menganggap hal serupa. "Saya kok melihat dia sedang menyembunyikan rasa malu dan takutnya," ucap Dadang kepada Tirto.
Kemungkinan lain, kata Dadang, adalah Tasdi sedang melakukan penggiringan opini terutama kepada masyarakat Purbalingga. Dengan bersikap seakan-akan tegar ketika ditangkap, ia ingin publik menilai kalau dirinya tak bersalah.
"Itu juga bisa dilihat oleh publik sebagai ekspresi menolak apa yang dituduhkan padanya," ucap Dadang.
PDIP: Salam Tiga Jari Tasdi Tidak Berpengaruh
Bagaimana reaksi PDIP? Nampaknya pemenang pemilu 2014 itu tak mau ambil pusing. Ketua DPP PDIP, Andreas Hugo Pereira, menyebut apa yang dilakukan Tasdi tak berdampak apa pun bagi mereka. Oleh karena itu ia tidak bakal mempermasalahkan aksi Tasdi.
Alih-alih mengomentari sikap Tasdi, Andreas justru menyoroti OTT—hal yang sebetulnya telah mereka lontarkan sejak jauh-jauh hari. Menurutnya, beberapa OTT KPK belakangan ini tidak disertai bukti yang kuat.
"Saya mulai dari kasus OTT Marianus Sae [dari NTT] yang tanpa barang bukti, kemudian Bupati Bandung Barat Abubakar yang OTT tetapi ditunda," ujar Andreas.
Sekretaris Badan Pelatihan dan Kaderisasi DPP PDIP Eva Kusuma Sundari berpendapat sama. Ia menyebut hubungan Tasdi dan PDIP telah berakhir. Jadi, apa pun yang Tasdi lakukan, kata Eva, sudah tidak ada kaitannya dengan partai.
"[Tasdi] sudah dipecat seketika. PDIP mempunyai upaya terukur untuk mengatasi problem bangsa," kata Eva kepada Tirto.
Eva mengingatkan, selain banyak kader PDIP yang terjerat kasus korupsi, banyak pula yang patut dibanggakan, dan bahkan dapat penghargaan dari KPK. Hal ini yang membuatnya yakin kalau PDIP masih dipercaya masyarakat.
Ia menyebut beberapa kader. Misalnya Ganjar Pranowo yang menjadi model karena menerapkan sistem online pendaftaran sekolah; Tri Rismaharini karena menerapkan sistem tender elektronik; dan Azwar Anas yang unggul karena e-budget.
"Sudah ada bukti-bukti, dan nila setitik tidak membuat belanga rusak," klaimnya.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino & Maulida Sri Handayani