tirto.id - Nun jauh di kota Zlín, Ceko, Tomas Bata bersama saudara-saudarinya Antonin dan Anna mendirikan sebuah pabrik sepatu. Pada 24 Agustus 1894, Tomas baru berusia 18 tahun. “Tahun 1894, saudaraku Antonin mendaftarkan namanya dalam bisnis pembuat sepatu di Zlin,” aku Tomas seperti dikutip buku Knowledge in Action: The Bata System of Management (1992).
Buku Thomas John Bata dan Sonja Sinclair, Bata: Shoemaker to the World (1990), menyebut mereka memulai usahanya dengan modal $350 dari ibu mereka. Bisnis itu tak langsung berjalan mulus di tahun-tahun pertama. Pada 1904, Tomas Bata menyeberangi Atlantik menuju New England Amerika. Dia bekerja di pabrik sepatu sana selama 6 bulan. “Di mana dia belajar dari tangan pertama soal permesinan dan teknik menejemen untuk membuat sepatu modern.”
Sekembalinya ke Zlin, dia mulai menerapkan apa yang dipelajarinya. Kemudian terjadilah Perang Dunia I di Eropa yang membuat munculnya kebutuhan sepatu untuk tentara. Bata pun mendapat orderan. Menurut The Encyclopedia of the Industrial Revolution in World History (2014) dan Czech Republic: The Bradt Travel Guide (2006), Bata mendapat untung besar saat membuat sepatu untuk tentara Austro-Hungaria. Pabrik Bata membuat sekitar 50 ribu sepatu sepanjang perang itu.
Baca:
Setelah Perang Dunia pertama, usaha Bata berkembang di beberapa negara. Mereka belakangan mendirikan Bataville di Perancis, Bata-Park di Swiss, Bata-Estate di Inggris, Batadorp di Belanda, dan Batawa di Kanada. Di Ceko sendiri ada Batavillage, desa tempat pabrik Bata dan tenaga kerjanya. Selain pabrik terdapat sekolah, klinik kesehatan, fasilitas olahraga, dan tentu saja kantor di sana. Ketika Tomas Bata meninggal dunia karena kecelakaan pesawat pada 12 Juli 1932, perusahaannya sudah mempekerjakan 31 ribu pekerja.
Sebelum Tomas Bata meninggal dunia, produk Bata sudah sampai ke Hindia Belanda. Sebuah perusahaan pengimpor pun berdiri pada 1931. Gudangnya yang ada sejak 1931 berada tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok. Perusahaan itu adalah NV Nederlandsch Indische Schoenhandel Maatschappij Bata.
Menurut buku Asian Accounting Handbook: A User's Guide to the Accounting (2005) karya Shahrokh M. Saudagaran dan Thomson Learning, berdiri berdasar akta notaris Adriaan Hendrik van Ophuijsen no. 64 tanggal 15 Oktober 1931. Menurut buku Anthony Cekota dalam Entrepreneur Extraordinary: Biography of Tomas Bata (1968), Tomas Bata bahkan datang ke Indonesia untuk menjadikan Hindia Belanda sebagai pasarnya.
Dari Tanjung Priok, aset perusahaan Bata lalu dipindahkan ke daerah baru: Rawajati, Kalibata pada 1939. Kemiripan nama ini kebetulan saja. Menurut Zaenuddin H.M. dalam buku 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe (2012), di daerah Kalibata dulunya banyak terdapat batu, termasuk batu bata, sehingga dinamai demikian. Tak hanya di Kalibata, Pabrik Bata ada juga Medan, lalu Purwakarta sejak 1994.
Setelahnya, menurut Grant Gordon dalam Family Wars: Membedah Konflik 20 Dinasti Bisnis Dunia, perusahaan sempat dipimpin Jan Antonin Bata. Tomas tidak meninggalkan wasiat. Putra Tomas, Thomas Bata Sr, yang kala itu baru 17 tahun dianggap belum siap memimpin perusahaan. Pada 1966, barulah perusahaan dipegang olehnya.
Jelang Ceko diduduki oleh tentara NAZI Jerman, menurut catatan Anthony Cekota dalam The Stormy Years of an Extraordinary Enterprise: Bata 1932 – 1945 (1985), Thomas John Bata tiba di Ceko. Dia datang untuk mengawasi persiapan pengiriman pekerja dan mesin ke Kanada karena hendak mendirikan pabrik di negara itu.
“Selama Perang Dunia II, Bata berikan sumbangsihnya dalam perang dengan membuat sepatu untuk prajurit, serta perlengkapan militer lain,” tulis Joyce Wilson dalam Canadian Book Review Annual (1990).
Setelah Perang Dunia II, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pabrik bata di Indonesia menjadi sasaran “ambil-alih” pihak Republik dalam revolusi 1945. Menurut catatan Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Volume 1 (1978), “pabrik sepatu Bata di Kalibata dijadikan milik Republik.” Di mana pemerintah Republik mengawasi para buruhnya.
Pasca-1945, Bata dengan jargonnya “Pembikin Sepatu Terkenal di Dunia,” tak hanya membuat sepatu kulit yang terkesan formal, tapi juga sepatu olahraga. Sepatu senam, main tenis, bahkan basket. Menurut situs resminya, Bata menghasilkan 7 juta pasang alas kaki dalam setahun yang terdiri dari 400 model, baik sepatu, sepatu sandal, dan sandal. Bahan kulit, karet, maupun plastik.
Dulu, Bata tak hanya dipakai oleh warga Indonesia kebanyakan. Sukarno, menurut catatan Maulwi Saelan dalam bukunya Dari Revolusi '45 sampai Kudeta '66: kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (2001), punya “3 Doos berisi 3 pasang sepatu olah raga Bata.”
Berpuluh tahun, sejak zaman kolonial, Bata sudah menyediakan sepatu untuk orang-orang Indonesia dengan harga yang relatif terjangkau. Belakangan, Bata kerap dikira produk asli Indonesia. Apalagi pernah ada pabrik Bata di Kalibata. Padahal, Bata adalah nama keluarga orang Ceko: Tomas Bata dan saudara-saudarinya.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani