tirto.id - Dari Yogyakarta, Rendra melanglang buana. Bukan secara fisik, melainkan secara artistik. Itu sebabnya sangat berisiko meringkusnya dalam satu wajah.
Dalam esai “Proses Kreatif Saya sebagai Penyair,” Rendra mengisahkan pengembaraan personalnya dalam mengolah substansi dan cara ungkap kesenian.
“Di permulaan tahun-tahun mahasiswa saya, masih dalam keadaan rohani dan pikiran yang stoned, saya jatuh cinta dan menikah. Jadi, saya menghayati pernikahan dan percintaan saya lebih sebagai peristiwa alam daripada peristiwa sosial. Mudah dimengerti bahwa alun gelombang asmara dalam keadaan seperti itu membuat saya sangat peka pada melodi dan irama dalam alam,” tulis Rendra dalam esai yang dipresentasikan dalam Temu Sastra 1982 di Jakarta tersebut.
Dalam periode itulah lahir sajak-sajak yang dihimpun dalam Kakawin Kawin dan Masmur Mawar. Kalau Kakawin Kawin muncul di Empat Kumpulan Sajak (cetakan pertama 1961), sementara Masmur Mawar hadir di Sajak-sajak Sepatu Tua (cetakan pertama 1972).
Sebelum Empat Kumpulan Sajak dan Sajak-sajak Sepatu Tua, terbitlebih dulu Ballada Orang-orang Tercinta (cetakan pertama 1957) – ketika Rendra berusia 22 tahun.
Saat mempertanggungjawabkan Penghargaan Achmad Bakrie 2006 untuk Rendra, para pengurus Freedom Institute berargumen, Rendra adalah sebuah anomali. Sejak awal kiprahnya di dekade 1950-an, dia konsisten menulis puisi naratif, kalau bukan puisi epik, sampai kini.
“Bila puisi lirik adalah puisi yang mendedahkan suasana hati, puisi Rendra adalah puisi yang bercerita, sering kali dengan gamblang; dalam hal ini, yang berwatak epis itu bukan lagi melantunkan cerita besar, namun cerita kecil, acap kali remeh-temeh. Bila puisi lirik menyampaikan renungan maupun letupan sang aku, puisi Rendra mengusung para tokoh bersama peristiwa yang teralami,” tulis para pengurus Freedom Institute.
Dalam teks yang tampaknya disusun Nirwan Dewanto (saat itu bekerja di Freedom Institute), lembaga tersebut melanjutkan: ketika banyak penyair gagal mengelak dari pengaruh Chairil Anwar, Rendra menempuh jalan berbeda. Rendra bercerita tentang “orang-orang tercinta,” yakni tokoh-tokoh yang dipungutnya dari hidup sehari-hari, kisah rakyat, pengalaman revolusi, maupun kitab suci. Demikianlah terhampar pada Ballada Orang-orang Tercinta.
Saat Kakawin Kawin dan Masmur Mawar lahir, Rendra mengatakan, sebenarnya di Indonesia sedang meletup pergolakan sosial, politik, dan ekonomi. Banyak seniman terlibat dan tecermin dalam karya mereka.
“Saya juga tergugah oleh persoalan sosial, ekonomi, dan politik masa itu. Tetapi pengetahuan saya dalam ilmu politik, ilmu sosial, dan ilmu ekonomi waktu itu minim sekali. Lagi pula rohani dan pikiran saya masih asyik stoned. Karena itu jelas penghayatan saya terhadap masalah-masalah itu tidak bisa tuntas. Jadi, paling banter sentuhan saya dengan masalah-masalah tersebut hanya mendorong saya untuk melakukan instropeksi sebagai langkah pertama saya untuk melihat letak diri saya dalam peradaban sehari-hari. Hasilnya adalah Sajak-sajak Sepatu Tua,” tulis Rendra dalam “Proses Kreatif Saya sebagai Penyair.”
Pada fase tersebut, Rendra lebih banyak terpapar ilmu-ilmu budaya. Dia kuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada (UGM). Di kampus Bulaksumur, dia aktif bermain drama, termasuk disutradarai Umar Kayam dalam naskah Hanya Satu Kali – saduran Sitor Situmorang atas karya Robert Middelmans.
Semua peran sudah terisi, kecuali peran utama. Para kandidat tidak lolos seleksi. Belakangan, ada info tentang seorang mahasiswa asal Solo yang sudah beken sebagai aktor dan penyair. Kayam menghubunginya.
“Seorang yang tinggi ceking. Berpakaian seenaknya. Rambutnya tidak tersisir rapi. Ia berdiri di depan kita. Hallo, hallo, salamnya….Kami segera melihat matanya yang berbinar-binar bagus, mulutnya tipis dan sensuous, kesemuanya membentuk wajah yang ganteng. Kami segera tahu, dialah yang akan pantas memegang peran itu,” tulis Kayam dalam esai “Lahirnya Seorang Aktor.”
Itu kejadian pada pertengahan 1950-an. Rendra lahir di Solo, 7 November 1935, dengan nama Willibrodus Surendra Broto. Ayahnya seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Ibunya pernah menjadi penari di Keraton Yogyakarta.
Berangkat ke New York
Pada 1964, Rendra pergi ke New York, Amerika Serikat, dan tinggal selama 3,5 tahun. Selain mendalami drama, di sana ia juga belajar dasar-dasar ilmu sosial, ilmu politik, dan ilmu ekonomi.
Hasil perantauan adalah kumpulan puisi Blues untuk Bonnie yang terbit pada 1971. Menurut Rendra, proses penciptaan puisi-puisi di sana tidak gampang. Dari alam stoned, ia mesti menyeberang ke alam common-sense. Seperti pertapa yang turun gunung, lalu tergagap dan bengong di tengah pasar.
“Banyak pengalaman rohani dan pikiran saya di dalam persentuhan dengan persoalan sosial, politik, dan ekonomi itu. Tetapi saya belum bisa merumuskan pengalaman itu dengan baik di dalam alam kesadaran saya yang baru itu. Demikian pula belum bisa menemukan “bentuk kesenian” yang cocok….Di dalam ketegangan kreatif serupa itu, persoalan itu menyentuh rasa moral saya. Sebagai hasilnya, lahirlah Blues untuk Bonnie yang tidak merumuskan persoalan sosial-politik, tetapi persoalan moral dan common-sense,” lanjut Rendra.
Setelah 1971, Rendra mengaku mulai bisa menyimak persoalan sosial-politik dan ekonomi secara struktural. Bersama Bengkel Teater, dia mulai menggembleng diri dengan menggelar diskusi-diskusi bersama para pakar dan mahasiswa, mendokumentasikan guntingan-guntingan koran, dan melakukan perjalanan ke desa-desa.
Ketegangan kreatifnya meningkat. Bentuk yang pernah dia pakai dulu tidak memenuhi kebutuhan belakangan. Dari 1971 sampai 1978, dia menulis sejumlah sajak, yakni sajak-sajak yang dikumpulkan dalam Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), kumpulan puisi yang mengritik keras Orde Baru dan proyek pembangunannya.
Rendra menyatakan dirinya tidak bisa mengulang keberhasilan sajak “Khotbah” atau “Nyanyian Angsa” di Blues untuk Bonnie yang banyak disukai pembaca dan dipuji para kritikus.
“Dasar keterlibatan kedua sajak itu adalah moral dan akal-sehat, sehingga lahir sifat yang menggugat pada konvensi. Sarana di luar estetika yang saya pakai adalah filsafat kemanusiaan dan pengalaman mistis. Di situ mungkin bagi saya untuk memberikan kontur misteri dan ambiguity kepada sifat brutal dari sajak-sajak itu…. Tetapi untuk menulis sajak yang terlibat di dalam masalah sosial-ekonomi-politik, di luar sarana estetika, saya tidak bisa hanya memakai filsafat. Saya harus memakai terutama ilmu sosial-politik-ekonomi… Ya, saya harus mengikhlaskan diri untuk tidak memakai pesona misteri dan ambiguity yang menjadi kekuatan “Nyanyian Angsa” dan “Khotbah”. Kebutuhan isi rohani dan pikiran saya tidak mengizinkan saya untuk bimbang lagi. Kalau perlu saya harus ikhlas kehilangan penggemar-penggemar yang lama,” tegas Rendra.
Pada kenyataannya, Potret Pembangunan dalam Puisi melambungkan Rendra lebih tinggi di langit kesusastraan Indonesia. Penerimaan publik menjadi lebih luas, meski sejumlah kritikus mengernyitkan dahi, seperti tak bisa menerima. Sementara, rezim Orde Baru semakin serius mengidentifikasinya sebagai penganggu ketertiban.
Kendati demikian, guru besar Sastra Indonesia dari Universitas Leiden, A. Teeuw menyatakan, dalam sajak-sajak pamfletis itu Rendra tidak sedang menawarkan alternatif yang bersifat sistemik-ideologis.
“Dia bukan revolusioner politis, bukan pembaharu ekonomi, bahkan bukan pembaharu kebudayaan. Dia hanyalah seorang seniman yang peka mendengar jerit hewan yang terluka, yang bermata awas terhadap anak burung yang hampir terjatuh dari sangkarnya, ketika manusia membidikkan anak-anak panahnya yang tajam ke arah bulan. Dia seorang seniman yang hanya memiliki satu senjata, bahasa; hanya satu kesaksian…”
Sepanjang karier kesenian yang pungkas pada saat ia wafat, 6 Agustus 2009, Rendra memilih tumbuh, menolak beku, menjadi sosok dengan aneka wajah pencapaian artistik. Mungkin lantaran ia percaya dan menjalani laku puisinya sendiri, "Sajak Seorang Tua Untuk Istrinya".
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Editor: Nuran Wibisono