tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, pada Rabu (25/1/2017). Dalam jumpa pers Kamis malam, Wakil Ketua KPK Basariah Panjaitan mengatakan Patrialis ditangkap di pusat perbelanjaan di Grand Indonesia Jakarta.
Menurut dia, Patrialis diduga menerima suap 200 ribu dolar AS dan 20 ribu dolar Singapura dari seorang pengusaha impor daging. Uang tersebut diduga sebagai komitmen fee untuk uji materi UU No 41 tahun 2014.
Selama ini Patrialis Akbar dikenal sebagai salah satu pejabat lembaga penegak hukum. Patrialis Akbar pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Partai Amanat Nasional selama dua periode (1999–2004) dan (2004–2009). Tidak hanya itu, ia turut terlibat dalam pembahasan amandemen konstitusi di Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pernah duduk sebagai Menteri Hukum dan HAM pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Kini, Patrialis Akbar menduduki posisi sebagai penegak hukum, yakni hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Pria berdarah Minang ini mengucap sumpah jabatannya sebagai hakim konstitusi masa jabatan 2013 – 2018 pada Selasa (13/8/2013) di Istana Negara, Jakarta. Dengan sebagai hakim konstitusi, ia pun melengkapi jejak kariernya dengan menduduki posisi di tiga cabang kekuasaan negara, yaitu legislatif, eksekutif dan akhirnya yudikatif.
Perjuangan Patrialis dalam meniti karier hingga seperti sekarang tidak selalu mulus. Sebelum berkecimpung di dunia politik dan advokat, ia bahkan pernah menjadi sopir angkutan kota (angkot). Ia kebagian angkot jurusan Pasar Senen-Jatinegara. Ia juga pernah menjadi sopir taksi di ibukota.
Kariernya perlahan naik setelah ia meluluskan diri dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Berbekal gelar sarjana hukum, ia kemudian terjun ke dalam profesi pengacara. Setelah beberapa lama menjalani profesinya, ia tertarik untuk masuk ke dunia politik.
Ia bergabung dengan Partai Amanah Nasional (PAN) pada 1998. Bergabungnya Patrialis di PAN menjadikan dirinya punya kesempatan untuk menjadi anggota DPR-RI. Benar saja, ia kemudian berhasil duduk sebagai anggota DPR-RI periode 1994-2004 dan 2004-2009 mewakili daerah pemilihan Sumatra Barat, tempat kelahirannya.
Patrialis tergabung di dalam komisi III selama berkantor di Senayan. Bidang yang sesuai dengan keahliannya sebab mengurusi bidang hukum. Ia mulai memperlihatkan semangatnya sebagai aspirator rakyat dengan sering mengangkat isu seputar hukum dan HAM.
Rekam jejak Patrialis memang dibumbui “bau yang kurang sedap”. Tahun 2009, saat ia masih menjabat di komisi III DPR dari Fraksi PAN dan calon anggota DPD asal Sumatera Barat, ia pernah mengikuti seleksi sebagai calon Hakim Konstitusi menggantikan posisi Jimly Assidiqie. Namun Patrialis gagal dalam fit and proper test. Begitu juga di tahun 2013 saat ia ingin menggantikan Mahfud MD, ia kembali gagal karena tiba-tiba mengundurkan diri dan tidak mengikuti fit and proper test di DPR.
Pada 2013, ia akhirnya terpilih menjadi hakim konstitusi setelah tidak lagi menjabat Menteri Hukum dan HAM. Di tengah tudingan berbagai pihak, Patrialis meyakinkan akan independensinya sebagai sebagai hakim konstitusi dan membuktikannya dengan kinerja. Ia menegaskan dirinya sama sekali sudah tidak terkait dengan partai politik sejak Desember 2011. Bagi Patrialis, menjadi hakim konstitusi berarti menegakkan keadilan bagi harkat dan martabat kemanusiaan. Ia mengakui tidak memiliki visi pribadi karena ditakutkan akan mengacaukan MK.
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Yandri Daniel Damaledo