Menuju konten utama

Sensor Israel dan Puisi tentang Titit Bergambar Presiden

Setiap upaya pembungkaman memang mesti dilawan dan korbannya perlu dibela. Salah satu jalannya ialah memajang bukti-bukti bahwa sensor merupakan cara yang amat buruk untuk menghentikan kata-kata, bahwa gagasan lebih halus ketimbang udara dan sanggup menembus kerangkeng seketat apa pun.

Sensor Israel dan Puisi tentang Titit Bergambar Presiden
Dareen Tatoum, penyair Arab-Palestina warga negara Israel. FOTO/Rami Shllush

tirto.id - Terletak enam kilometer di utara Nazareth, Israel, kawasan berbukit Raineh terlihat bersih sekaligus lengang. Bangunan-bangunannya sukar dibedakan satu sama lain. Luas wilayahnya tak sampai 11 kilometer persegi, terhitung kecil. Penduduknya cuma 18 ribu orang.

Namun, di kota yang kecil itu, ada seorang perempuan yang ditakuti pemerintah Israel.

Pada dinihari 11 Oktober 2015, sejumlah polisi dan pamong perbatasan memasuki rumah keluarga Tatour dengan paksa. Mereka memborgol Dareen, 33 tahun, di hadapan kedua orangtuanya. Tidak ada surat perintah, tak ada penjelasan apa pun.

Ia diangkut dalam keadaan hanya mengenakan piyama. Dareen Tatour tidak menyembunyikan senapan otomatis di dalam lemari pakaiannya. Ia tak tahu berapa banyak bubuk alumunium yang perlu dicampur dengan amonium nitrat untuk membuat sebuah bom tanerit. Ia tak mengerti mengapa ia dianggap berbahaya.

Setelah dipenjara selama dua puluh hari dan berkali-kali diinterogasi, barulah Tatour tahu mengapa ia ditangkap. Rupanya pemerintah Israel menganggap ia telah menghasut kaumnya—orang-orang Arab-Palestina—lewat kiriman-kirimannya di Facebook dan, terutama, sebuah video yang ia pacak di YouTube. Ia diancam hukuman pidana delapan tahun.

Video itu menampilkan kumpulan footage orang menyambitkan batu ke tentara Israel, musik latar yang asal “dramatis”, dan suara Tatour yang membacakan sebuah puisi berbahasa Arab. Berbeda dari dua elemen pertama yang bertenaga, suara Tatour lembut dan terkesan amat sedih.

Dan dari dalam kuburnya, Ali berteriak:

Lawanlah, saudaraku yang gemar berontak,

Tuliskan aku pada pokok gaharu;

dan sisa-sisa tubuhku akan menjawabmu.

Ali dalam puisi itu adalah Ali Dawabsheh, bayi berumur 18 bulan yang mati dibakar oleh dua bajingan di desa Duma, Tepi Barat, pada Juli 2015 silam.

“Aku kesakitan,” kata Tatour kepada Mondoweiss, media khusus isu-isu Timur Tengah yang dikelola jurnalis Amerika Serikat Philip Weiss dan Adam Horowitz.

“Pembunuhan-pembunuhan terhadap warga sipil menghantamku dengan keras. Hadeel Hashlamoun, misalnya, ditembak tentara hanya karena dia menolak melepas kerudungnya di pos pemeriksaan. Aku menulis sajak itu buat mereka. ”

Setelah mendekam tiga bulan di bui, Tatour ditetapkan menjadi tahanan rumah. Mulanya ia ditempatkan di sebuah apartemen di Tel Aviv, tetapi sejak Juli 2016, pengadilan Nazareth memutuskan bahwa perempuan itu boleh kembali tinggal di Reineh. Namun, statusnya tidak berubah, ia tetap dilarang mengakses internet dan harus mengenakan gelang pelacak di kakinya.

Tatour tentu tahu bahwa Israel punya rekam jejak yang panjang dalam urusan membungkam penulis Arab-Palestina. Di tembok kamar perempuan itu ada poster bergambar Mahmoud Darwish, penyair yang bolak-balik masuk penjara Israel pada 1960an dan terusir sejak 1970. Namun, kata Tatour kepada Kim Jensen dari Mondoweiss yang berkunjung ke rumahnya, hingga kini ia masih sukar percaya bahwa ia dipenjarakan karena puisi.

Tatour bukan penyair terkenal. Selain keluarga, teman-teman, dan sejumlah kecil penulis lokal yang mengenalnya, tak ada yang memedulikan puisi-puisinya sebelum penangkapan. Bukunya yang terbit enam tahun lalu, Serbuan Terakhir, bertumpuk-tumpuk saja di salah satu kamar di rumah orangtuanya. “Setiap kali aku mengunggah puisiku ke Facebook, paling pol yang menjempoli cuma 20-30 orang,” ujar Tatour. “Aku hanya orang yang coba-coba mengungkapkan diri lewat tulisan.”

Saat polisi menyerbu rumahnya, video bikinan Tatour baru dilihat sebanyak 173 kali, tetapi kini video itu telah ditonton lebih dari lima ribu kali, juga oleh orang-orang yang tak memahami bahasa Arab. PEN International mengusahakan penerjemahan puisi-puisi Tatour ke dalam bahasa Inggris. Para penulis dan seniman dari pelbagai tempat di dunia, termasuk sepuluh pemenang Hadiah Pulitzer dan empat belas penerima Guggenheim Fellowship, ramai-ramai mendesak supaya ia dibebaskan.

“Mulanya pemerintah melebih-lebihkan daya jangkauku,” ujar Tatour kepada Jensen. “Dan pada akhirnya, mereka benar-benar membikin pemirsaku berlipat ganda.”

INFOGRAFIK Penahanan Para Penulis

Pembungkaman senantiasa buruk bagi siapa pun, ujar Salman Rushdie dalam artikelnya “Tentang Penyensoran” yang diterbitkan The New Yorker. “Mengatakan bahwa sensor menguntungkan karena, misalnya, ia 'menantang' imajinasi para seniman, sama saja dengan memotong kedua tangan seseorang lalu memujinya ketika ia berhasil menulis pakai gigi.”

Rushdie benar. Setiap upaya pembungkaman memang mesti dilawan dan korbannya perlu dibela. Salah satu jalannya ialah memajang bukti-bukti bahwa sensor merupakan cara yang amat buruk untuk menghentikan kata-kata, bahwa gagasan lebih halus ketimbang udara dan sanggup menembus kerangkeng seketat apa pun.

Pada awal abad ke-20, penyair Osip Mandelstam menulis puisi berjudul “Epigram Stalin”. Di dalamnya, ia mengejek Joseph Stalin, bos besar Uni Soviet waktu itu, sebagai pria berkumis kecoak dan berjari serupa ulat-ulat gemuk. Dan “di mana ada orang dipenggal,” kata Mandelstam, di situ ada Stalin serta perutnya yang buncit.

Gara-gara puisi itu, Mandelstam dikirim ke gulag di Siberia buat kerja, kerja, kerja di sana sampai koit. Itu jelas kejahatan. Namun, di sisi lain, pembungkaman itu malah mengubah Mandelstam jadi mitos besar. Puisi-puisinya terus saja dibaca orang hingga hari ini, jauh lebih awet ketimbang usia kekuasaan yang menindasnya.

Contoh lainnya adalah Pramoedya Ananta Toer, yang dipenjara di masa pemerintahan dua presiden pertama Republik Indonesia. Semasa Soeharto berkuasa, pembaca buku-buku Pramoedya bahkan ikut diuber dan ditangkapi tentara. Tetapi sekarang ia adalah pengarang kebanggaan nomor satu rakyat Indonesia, sekaligus menjadi -- sebagaimana Mandelstam dan Darwish-- menjadi mitos.

Tak jauh dari Indonesia dan cuma berselang sebentar dari penangkapan Dareen Tatour di Israel, ada satu cerita lagi tentang sensor dan bahan tertawaan.

Di Myanmar, pada November 2015, seorang penyair bernama Maung Saungkha masuk penjara karena puisi yang ia unggah ke internet. Namun, berbeda dari Tatour yang dianggap menghasut, “dosa” Saungkha adalah pelecehan.

Ada tato wajah Pak Presiden

di tititku.

Pacarku menemukannya

setelah kami kawin,

dan ia muntah-muntah.

“Saya mengajukan permohonan supaya hakim yang menangani kasus ini diganti jadi hakim laki-laki saja,” ujar Robert Sann Aung, penasehat hukum Saungkha, kepada Joe Freeman dari The New Yorker. “Siapa tahu ia perlu memeriksa barang buktinya.”

Sann Aung tertawa, kata Freeman, tetapi ia tidak bercanda. Ia benar-benar mendaftarkan berkas permohonan tersebut.

Alih-alih memulihkan wibawa Pak Presiden dan pemerintahannya, pemenjaraan Saungkha justru membuat rakyat Myanmar penasaran dengan barang leluhur pria itu. Media-media membicarakannya dengan heboh. Maka, tentu para pengunjung warung kopi dan penghuni pos-pos ronda membahasnya pula.

Andai terbukti ada gambar wajah sang pemimpin negara di sana, mereka tentu akan terpingkal-pingkal. Andai tak ada, mereka akan tertawa juga, sebab itu berarti pemerintah sudah repot-repot membongkar isi cawat Saungkha, yang barangkali berbau seperti kecoak sebab pemiliknya tak bisa sering-sering mandi di penjara.

Baca juga artikel terkait PEMBUNGKAMAN atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti