tirto.id - Di zaman serba politically correct, menerbitkan buku berjudul The Subtle Art of Not Giving a F*ck boleh jadi manuver yang berisiko. Tapi warga dunia tak peduli, dan justru ramai-ramai membuatnya laris. Mengapa?
Si penulis, Mark Manson, dinilai mampu menyajikan motivasi dengan gaya otentik. Ia membalikkan pendapat umum para motivator, bak sedang melakukan perlawanan terhadap industri self-help melalui sikap anti-motivasi, meski pada hakikatnya yang ia sampaikan juga sebentuk motivasi.
Tentang kebahagiaan, misalnya. Saat motivator lain berlomba-lomba mendorong orang untuk mencarinya, Mark bilang untuk tidak perlu. Seperti emosi lain, menurutnya kebahagiaan sebenarnya sudah ada dalam diri manusia, sehingga seninya adalah bagaimana cara untuk menghidupkannya.
Kebahagiaan adalah efek samping dari proses pengalaman yang dialami seseorang dalam hidup. Dengan demikian, pertanyaan yang lebih krusial ialah seberapa dalam dan luas pengalaman yang Anda cecap hingga di usia sekarang ini?
“Agar bahagia, kita memerlukan sesuatu untuk dipecahkan. Oleh karena itu, kebahagiaan sejatinya hadir adalah dalam bentuk tindakan,” kata Mark.
Kebahagiaan itu, menurutnya, bisa diraih dengan menyingkirkan rumus berpikir positif yang menjejali buku-buku motivasi. Para motivator memakainya untuk mendorong orang-orang agar mampu melihat sisi positif di berbagai situasi—termasuk saat menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan.
Mark beranggapan anjuran berpikir positif membuat orang-orang terjebak pada suasana hati yang palsu. Sikap itu juga menuntun orang untuk meyakini bahwa cara terbaik untuk meraih kebahagiaan adalah dengan menghindari hal-hal negatif. Padahal mustahil hidup dengan sama sekali menghindarinya.
“Persetan positivitas. Mari sama-sama jujur: kadang-kadang masalah ya timbul saja, dan kita mesti hidup dengannya.”
Mark tidak ingin orang-orang terjebak sikap denial (penyangkalan). Hal-hal negatif itu justru mesti dihadapi sebagai sesuatu yang positif, karena berkatnya seseorang bisa belajar menjadi lebih baik. Kembali ke cara menghidupkan sensor kebahagiaan di dalam diri, segala pengalaman hidup mesti kita telan dulu.
“Segala sesuatu yang berharga dalam hidup dimenangkan dengan mengatasi pengalaman negatif. Setiap upaya untuk melarikan diri dari yang negatif, menghindarinya atau menumpasnya atau membungkamnya, hanya akan menjadi bumerang,” tulis Mark.
“Menghindari penderitaan adalah bentuk penderitaan itu sendiri. Menghindari perjuangan adalah perjuangan. Menolak kegagalan adalah kegagalan. Menyembunyikan yang memalukan itu sendiri merupakan bentuk rasa malu,” imbuhnya.
Main Blog Dahulu, Mendunia Kemudian
Mark lahir di Austin, Amerika Serikat, 35 tahun silam. Ia pindah ke Boston, Massachussetts untuk kuliah jurusan keuangan di Boston University dan lulus pada 2007. Ia pertama kali menulis di blog pada 2009 sebagai penyedia jasa konsultasi bisnis.
Personal branding yang dibangun bertahun-tahun akhirnya membuah hasil—meski Mark harus melepas pekerjaan tetapnya di sebuah korporasi. Pada 2014 laman situs web bikinannya MarkManson.net dikunjungi oleh 400 ribu orang per bulan. Dua tahun kemudian angkanya naik menjadi 2 juta pengunjung per bulan.
Ia menulis banyak topik. Mulai dari kebudayaan (populer), tips untuk membangun hubungan yang berkualitas—terutama bersama pasangan, pilihan hidup, dan tema-tema psikologi lain. Namanya makin dikenal karena menulis di media-media besar seperti CNN, Huffinton Post, BBC News, Time, dan Vox.
Tapi yang benar-benar melambungkan kariernya di level global adalah buku The Subtle Art of Not Giving a F*ck yang terbit pertama kali pada 2016. Selain masuk daftar buku laris Washington Post, pada pertengahan Februari 2018 buku ini tercatat sebagai buku terlaris di New York Times selama 60 minggu.
Pada Februari 2018 pula Gramedia Widiasarana Indonesia atau Grasindo menerbitkan versi terjemahan dalam bahasa Indonesia yang berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat.
Editor buku Adinto Fajar mengungkapkan animo masyarakat sangat tinggi terhadap buku tersebut sampai-sampai hampir ludes dalam waktu singkat. Tidak sampai satu minggu sejak penerbitan pertama Grasindo sudah mendapatkan permintaan untuk cetak ulang.
“Awalnya kami hanya mencetak 3.000 eksemplar. Berikutnya 5.000, berturut-turut. Yang paling tinggi kami pernah sekali cetak 15.000 ekslempar. Bulan ini (Maret 2019) sudah dua kali. Kalo ditotal sudah 20 kali cetak ulang,” kata Adinto kepada Tirto, Kamis (21/3/2018).
Alhasil Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat menjadi buku kategori motivasional atau non-fiksi Grasindo yang paling laris sejak rumah penerbitan ini berdiri 28 tahun yang lalu.
Jujur + Vulgar = Nylekit
Adinto menyatakan ada dua poin utama yang membuat buku dicari pembaca. Pertama, karena Mark memotivasi orang dengan menyuguhkan realitas yang jujur.
“Dia nggak memberikan mimpi-mimpi, justru mengingatkan pembaca soal ilusi dari kata-kata bijak. Ia ingin pembaca untuk tidak menjadi orang yang terlalu muluk-muluk.”
Kedua, Mark ingin intim dengan pembacanya melalui gaya bahasa blak-blakan, atau bahkan vulgar. Penerbit lain kata Adinto sempat merasa gamang untuk menerjemahkan buku itu karena judulnya saja sudah mengandung kata tabu (f*ck). Isi buku pun sama. Mark bak sedang mengoceh tanpa saringan.
“Tapi justru di situ letak kekuatannya. Kevulgaran itu juga bukan tanpa alasan. Kata-kata vulgar sebenarnya sudah sering kita akrabi, semisal 'bodo amat' atau lainnya yang lebih kasar. Dia hanya memposisikan diri sebagai orang yang setara. Orang biasa. Seperti ngobrol antar-teman.”
Filosofi “bodo amat” (not giving a f*ck) yang menjadi jualan utama buku pernah dibahas Mark di blognya dan jadi salah satu artikel yang paling banyak dibaca.
Mark menemukannya secara tidak sengaja saat menulis soal pencarian makna hidup di blog, lalu orang-orang mengiriminya banyak pertanyaan lewat surat elektronik. Mark kemudian mulai menyadari bahwa penderitaan yang mereka hadapi berasal dari memprioritaskan hal-hal yang keliru.
Filosofi “bodo amat” pun terbentuk dan terdefinisi dengan sederhana, yakni agar orang-orang berlatih untuk tidak terbebani dengan hal-hal yang tidak penting di sekeliling mereka.
Sekali prioritas terbentuk, seseorang akan merasa enteng dalam menjalani kehidupan, dalam menghadapi banyak hal—terutama yang negatif. Jika sikap tersebut telah solid, maka yang bersangkutan akan satu langkah lebih dekat menuju kebahagiaan yang diidam-idamkan itu.
Terdengar mudah, tapi realisasinya tidak. Untuk itu Mark menyebut sikap cuek sebagai satu seni yang bisa dipelajari. Mula-mula bisa dengan memahami dari mana hal-hal yang sepatutnya dicueki itu muncul. Contohnya, yang menurut Adinto kontekstual di banyak negara, adalah media sosial plus budaya pamernya.
“Mark Manson pun berhasil dalam membentuk selera masyarakat sembari menemukan pasarnya. Ia masih berada di jalur yang benar, bukan sedang menjerumuskan kita ke nilai-nilai yang salah. Ia tetap membawa idealisme untuk pertama-tama mengubah pola pikir kita,” imbuh Adinto.
Intim, Riset Kuat, dan Orisinalitas
Belajar dari kesuksesan Mark Manson, kiat-kiat apa saja yang bisa diterapkan penulis buku motivasi muda?
Adinto menyebut pentingnya personal branding, atau seni membentuk citra dan reputasi diri di hadapan khalayak luas. Mediumnya bisa macam-macam. Mark, misalnya, sedikit demi sedikit meraih pembaca melalui blog.
Selain itu ada setidaknya tiga teladan lain yang bisa diambil dari kisah Mark. Pertama, persiapkan diri untuk mengenali pembaca secara dekat. Kedekatan itu meliputi pemahaman tentang apa yang orang-orang geluti hingga problem dalam keseharian mereka yang mesti didengarkan serta dicatat dengan baik.
Kedua, tetap fokus untuk riset secara mendalam. Baik riset untuk kepentingan kontekstual maupun untuk memperkuat basis keilmuan penulis.
“Meski Mark Manson tulisannya ringan, tapi risetnya juga bagus. Sumber bacaannya genuine, yang enggak main-main, dan segar. Kebanyakan penulis kan motivasi yang penting pesan-pesannya doang dengan kata-kata bijak tanpa riset.”
Ketiga, berusaha untuk menjadi pribadi yang orisinal. Artinya, meski terinspirasi dari Mark Manson, seorang penulis tidak perlu untuk meng-copy-paste personanya. Orisinalitas membantu para pembaca untuk mengidentifikasi kebaruan apa yang dibawa penulis, yang akhirnya mendorong mereka untuk membeli bukunya.
“Gali sendiri. Di Indonesia kesempatan itu masih terbuka luas. Lima tahun sebelumnya kita enggak sekacau sekarang, terutama karena hoaks. Ini bisa jadi contoh peluang. Kalo mindset kita masih seperti Mario Teguh, itu nggak bisa,” pungkas Adinto.
Editor: Windu Jusuf