tirto.id - Perempuan itu berkata, sembari menunggu rambutnya selesai dipotong, “Kamu tahu apa yang bikin aku bahagia?” Tanyanya. Ini retoris tentu saja. “Nasi Padang dan Bebek Madura,” jawab lelaki di sebelahnya yang sedari tadi duduk menemani perempuan itu di salon. Bagi si perempuan, pelukan hangat, genggaman tangan, dan ciuman di kening adalah kebahagiaan. Bagi si lelaki duduk bersama, menikmati makanan berdua, dan memandang mata perempuan itu adalah kebahagiaan. Tapi mengapa mereka terlihat sedih?
Ini fragmen dari sebuah adegan dari cerita pop kebanyakan, tentang milenial yang terlalu gagu untuk menerjemahkan sebuah hubungan. Tapi apakah sebenarnya bahagia itu? Ini adalah usaha dan perjuangan panjang untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang ada bahkan sejak awal mula manusia bisa berpikir. Socrates dengan muram menyebut bahwa rahasia kebahagiaan bukanlah dalam proses pencarian dan penemuan kebahagiaan itu seniri. Ia menganggap kebahagiaan adalah kemampuan untuk menikmati apa yang ada saat ini.
Ketika anda berkata: "Aku Ingin Bahagia", sebenarnya apa yang anda inginkan? Dalam sebuah komik yang dibuat oleh Zen Pencils, kunci kebahagiaan menurut Budha, adalah menghilangkan kata Aku, karena ia adalah ego, sementara Ingin mesti dilepaskan karena ia belenggu. Setelah melepaskan belenggu dan ego, maka dengan sendirinya anda akan bahagia. Budha menyebut kebahagiaan bukanlah tujuan, tapi proses menjadi. Tapi apakah kebahagiaan semudah bacot motivator?
Kebahagiaan adalah hal yang kerap kali dibesar-besarkan oleh materi dan direduksi jadi kutipan. Jeff Hadden menulis di Inc.com, bahwa banyak peneliti dan ilmuan di dunia berusaha merumuskan cara menjadi bahagia. Ia mengatakan kebahagiaan adalah kondisi yang diinginkan setiap orang, tapi terkadang orang tak tahu apa yang ia inginkan. Sebuah studi yang dilakukan oleh psikolog asal Inggris dan Australia yang berasal dari University of Edinburgh dan Queensland Institute menemukan bahwa kebahagiaan mungkin punya hubungan dengan kondisi genetik seseorang.
Peneliti tadi menggunakan kerangka penelitian tentang kebahagiaan yang serupa untuk mengukur kepribadian seseorang. Memanfaatkan model Five-Factor mereka mengklaim bahwa kebahagiaan dan kepribadian seseorang punya keterkaitan. Peneliti ini menggunakan data dari 900 orang kembar dan menemukan bahwa gen yang sama dan perlakuan berbeda punya pengaruh terhadap kebahagiaan. Mereka menyimpulkan bahwa 50 persen kebahagiaan berasal dari diri kita sendiri sementara sisanya berasal dari faktor eksternal seperti hubungan antar manusia, kesehatan, dan karier.
Dr Alexander Weiss, dari University of Edinburgh’s School of Philosophy, jurusan Psychology and Language Sciences, yang memimpin penelitian ini menyebutkan bahwa kebahagiaan, seperti juga kebebasan, merupakan keinginan dasar manusia. Meski demikian, kebahagiaan adalah hal yang sama sekali berbeda antar manusia tergantung lingkungan di mana ia hidup. Ia mengklaim mampu menemukan kaitan bahwa dalam setiap manusia ada gen yang mendorong kita untuk bahagia.
Tapi penelitian yang dilakukan kepada 900 orang itu tentu tak bisa mewakili seluruh populasi manusia. Lantas bagaimana dengan uang? Bukankah jarang sekali orang kaya yang bersedih? John M. Grohol, Psy.D., seorang psikolog, menulis di psychcentral menyebutkan bahwa uang tak selalu bisa memberikan kebahagiaan. Tentu anda bisa dengan gegas berkata, "Oh saya lebih memilih menangis di Jaguar atau Ferari daripada di dalam Bajaj," tapi ia bukan berarti uang membuat seseorang menjadi lebih baik. Ia menyebutkan uang menjadi sumber kebahagiaan ketika ia diberikan kepada orang lain sebagai bentuk amal atau uang itu dimanfaatkan untuk mengembangkan diri kita sendiri.
Sebelumnya tirto.id pernah menulis tentang negara-negara paling dermawan di dunia. Berdasarkan riset dari Gallup dan Charities Aid Foundation disebutkan setidaknya ada 10 negara yang warganya merupakan orang paling dermawan di dunia. Laporan yang bertajuk World Giving Index menunjukkan bahwa banyak orang di negara-negara dunia ketiga menjadi bahagia karena bersedekah. Myanmar misalnya, terlepas perlakuan mereka terhadap orang Rohingya, merupakan negara paling dermawan dengan rata-rata pendonor yang mengaku sangat bahagia bisa berbagi.
Seperti bersedekah, kepedulian terhadap sesama bisa jadi sumber kebahagiaan. Kepedulian atau empati juga punya manfaat menjadi sumber kebahagiaan. Kepuasan yang dilahirkan ketika kita menjadi relawan, menolong manusia, dan berbagi adalah kebahagiaan yang murni. Sylvia A Morelli dari Stanford University dan Matthew D. Lieberman dari University of California Los Angeles menyebut ketika kita berempati, dalam otak kita terjadi proses yang berkaitan dengan kebahagiaan, kesedihan dan rasa cemas.
Empati menghadirkan rasa sedih ketika kita melihat tragedi, menghadirkan kecemasan ketika ada bencana, dan kebahagiaan ketika mampu menolong orang yang kita sayang. Sebaliknya ketika kita dibantu lantas dengan tulus mengucapkan rasa terima kasih, akan muncul kebahagiaan. Relasi dua arah antara manusia yang saling membantu adalah sumber kebahagiaan hakiki. Di sini kebahagiaan tak lagi diukur dengan seberapa banyak uang yang anda miliki, atau seberapa banyak anda tidur dengan perempuan, atau traveling ke negara-negara asing. Kebahagiaan adalah konsep yang menjadi kabur tergantung bagaimana jalan hidup anda.
Di sini peran teman dan lingkungan sangat penting. Teman kantor atau teman bermain bisa membentuk mood kita setiap hari. Dalam riset yang dilakukan oleh Social Market Foundation bersama University of Warwick’s Centre for Competitive Advantage in the Global Economy, di Inggris menyebutkan rekan kerja yang baik akan mendorong semangat pekerja lain untuk menjadi lebih maksimal. Baik dalam hal ini menghadirkan suasana kerja yang riang dan bahagia.
Studi lain menyebutkan seseorang yang menghabiskan enam sampai tujuh jam sehari bersama teman baiknya merasakan pengalaman membahagiakan. Hal ini mendorong ia untuk berpikir positif dan bekerja lebih baik. Tapi seseorang bisa saja menjadi getir, pahit, dan sinis memandang hidup. Itu adalah hal yang wajar. Jadi tidak wajar adalah susah melihat kebahagiaan orang lain.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti