tirto.id - Indonesia telah mengambil langkah besar terkait kebijakan energi di tengah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim (COP26). Sebagai salah satu dari 20 negara penghasil batu bara terbesar di dunia, Indonesia memutuskan untuk mengurangi penggunaan batu bara.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia, Arifin Tasrif, telah menandatangani COP26 Global Coal to Clean Power Transition Statement pada 4 November 2021 di konferensi tingkat tinggi itu, seperti yang dapat dilihat di laman resmi COP26.
Seperti yang tertulis di isi pernyataan tersebut, Indonesia setuju untuk mempercepat penghapusan (phaseout) penggunaan batu bara hingga sekitar tahun 2040, dengan syarat adanya bantuan keuangan dan teknis internasional. Produksi energi yang dihasilkan oleh batu bara diakui sebagai penyebab terbesar dari peningkatan suhu global dan transisi ke energi bersih harus segera dilakukan.
Menteri Arifin menegaskan kepada Tirto dan Kompas di Glasgow, Skotlandia, pada hari yang sama bahwa dengan itu, tidak akan ada lagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru di Indonesia.
“Enggak ada PLTU baru nanti. Kita pasti pakai PLT renewable,” ungkap Arifin. “Kalau enggak, bagaimana mau bisa mencapai emisi yang bersih?"
Menurut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim, Indonesia adalah negara penghasil energi batu bara terbesar ke-7 di dunia, di belakang Korea Selatan (ke-5) dan lebih besar dari Vietnam (ke-9), Polandia (ke-13) dan Ukraina (ke-19).
Batu bara pun kini mendominasi sumber energi untuk pembangkitan listrik di Indonesia. Kontribusinya meningkat dari nol pada 1971 hingga menyentuh 64 persen dari total pembangkitan listrik nasional pada semester I tahun 2020, berdasarkan data Bank Dunia dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang diolah Institute of Essential Services Reform (IESR).
Terlepas dari komitmen Indonesia di COP26, saat ini transisi menuju energi terbarukan juga bisa dikatakan masih lambat. Hal ini tercermin dari rendahnya porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi primer nasional pada medio 2014-2020. Kementerian ESDM mencatat porsi EBT dalam bauran energi nasional pada 2020 baru mencapai 11,2 persen, sedangkan sisa bauran energi pada tahun 2020 masih didominasi oleh batu bara (38,04 persen). Namun, penghentian pembangunan PLTU setidaknya membuka jalan untuk mendorong transisi EBT guna menekan emisi Gas Rumah Kaca dari sektor energi. Sebab, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi hingga 29 persen pada 2030 dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional, menurut dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) terbaru.Indonesia pun memiliki target mencapai emisi nol bersih pada 2060 atau lebih awal. Emisi nol bersih secara umum merujuk pada penyerapan seluruh emisi yang diproduksi manusia, sehingga tak ada yang menguap ke atmosfer. Hal ini penting untuk menjaga kenaikan suhu global dunia agar tetap di bawah 1,5 derajat Celsius.
Namun, pendanaan untuk transisi ini tentu tidak mudah. Bagaimana kebutuhan pendanaan transisi energi bersih di Indonesia dan bagaimana dukungan internasional untuk hal tersebut? Bagaimana skema pembiayaan terbaru dapat membantu masalah biaya ini? Lalu bagaimana agar pembiayaan Indonesia dapat berkelanjutan untuk melepas ketergantungan dari batu bara?
Perlu Miliaran Dolar?
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers pada 30 September 2021 mengatakan, Indonesia akan membutuhkan 5,7 miliar dolar Amerika Serikat (AS) setiap tahun untuk mendanai transisi energinya.
Ia mengungkap, pergeseran Indonesia ke emisi nol bersih perlu melibatkan sektor swasta untuk pembiayaannya. Indonesia memang mempunyai insentif pajak, subsidi dan obligasi hijau untuk mendorong transisi energi bersih. Namun, Sri Mulyani menegaskan bahwa Indonesia memerlukan lebih banyak sumber daya.
“Kalau hanya mengandalkan anggaran pemerintah, itu tidak akan cukup,” kata Sri Mulyani.
Senada, Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian ESDM menunjukkan bahwa anggaran kementerian semakin menurun selama 2020-2022, dengan catatan bahwa anggaran 2022 adalah pagu indikatif. Anggaran Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada pagu indikatif 2022 bahkan mengalami pemangkasan lebih dari setengah anggaran 2021.
Secara umum, pemerintah rata-rata mengalokasikan Rp86,7 triliun per tahun selama 5 tahun terakhir untuk program-program terkait perubahan iklim, menurut paparan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang diterima Tirto pada 26 Juli 2021. Mayoritas (88,1 persen) dari anggaran tersebut merupakan belanja untuk infrastruktur hijau.
Namun, realisasi belanja pemerintah untuk perubahan iklim sebesar Rp86,7 triliun pun hanya sekitar seperempat kebutuhan pendanaan sebesar Rp343,6 triliun per tahun. Estimasi kebutuhan total hingga 2030 sendiri adalah sebesar Rp3.779 triliun, mengutip angka dari artikel Kementerian Keuangan.
Di tengah keterbatasan dana tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kepada Tirto di COP26 bahwa Indonesia harus memastikan ketersediaan pendanaan jika ingin memensiunkan PLTU lebih dini agar dapat mencapai ambisi Perjanjian Paris.Perjanjian Paris atau Paris Agreementadalah perjanjian internasional tentang perubahan iklim yang diadopsi oleh 196 pihak pada 12 Desember 2015 di Paris, Perancis dan berlaku sejak 4 November 2016. Perjanjian ini bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat Celsius, idealnya hingga 1,5 derajat Celcius, dibandingkan dengan tingkat pra-industri, mengutip situs UNFCCC.
“Resiko terbesar adalah kita nggak kompatibel dengan pathways untuk 1,5 derajat itu yang ada di Paris Agreement kalau tidak ada pendanaan yang memadai,” ungkap Fabby.
Dukungan Internasional?
Peran masyarakat global untuk mendorong transisi energi di Indonesia seharusnya masuk dalam janji negara maju pada COP15 pada tahun 2009 di Copenhagen, Denmark. Pada waktu itu, negara maju berkomitmen untuk menggelontorkan 100 miliar dolar AS per tahun pada tahun 2020 untuk mengatasi kebutuhan negara berkembang.
Kendati demikian, kajian Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau Organisasi Kerjasama Ekonomi Dunia menemukan menemukan bahwa negara-negara maju tidak menepati target ini setidaknya selama periode 2013-2019, meskipun jumlahnya cenderung naik setiap tahunnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun berharap negara-negara maju dapat memberikan dukungan finansial kepada negara berkembang dalam menangani perubahan iklim global. Hal tersebut ia sampaikan dalam pertemuan CEOs Forum dengan beberapa investor besar asal Inggris di Glasgow, Skotlandia, pada 1 November 2021."Kita semua, termasuk negara-negara maju, harus menunjukkan langkah lebih konkret dalam hal pengendalian iklim, terutama dalam hal dukungan pendanaan untuk negara-negara berkembang dalam melakukan transisi energi dari fossil fuel ke renewable energy," ujar Jokowi.
Agus Pratama Sari, Chief Executive Officer Landscape Indonesia yang merupakan salah satu konsultan pemerintah di COP26, mengatakan kepada awak media pada Selasa (9/11/2021) bahwa janji negara maju untuk mendanai 100 miliar dolar AS per tahun masih belum "kelihatan".
Namun, mantan negosiator di KTT Perubahan Iklim sebelumnya ini mengatakan bahwa tenggat waktu ini kemungkinan akan digeser menjadi 2023. Artinya, negara-negara maju baru bisa mencapai target 100 miliar dolar AS mulai 2023. Dana inilah yang kemudian dipergunakan sebagiannya untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 41 persen dengan bantuan internasional dan 29 persen dengan usaha sendiri.
Desakan untuk bantuan internasional juga diungkap oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana kepada Tirto dan Kompas, pada 4 November 2021, di COP26. Ia mengklaim bahwa pemerintah sudah memiliki program dan rencana yang siap dieksekusi namun tidak bisa dengan usaha sendiri.
“Ya kalau ada pendananya, makanya kita di sini isunya apa, kita setiap hari kan dengar, ‘Billion US Dollar’, ‘Billion Pound Sterling’. Kalau kita, 'show me the money, show me the money'. Gitu aja, mana duitnya?” ungkap Rida.
ETM: Harapan atau Masalah Baru?
Menanggapi permasalahan pembiayaan ini, Asian Development Bank (ADB) meluncurkan skema pembiayaan bernama Mekanisme Transisi Energi (ETM) pada 3 November 2021 dalam kerjasamanya dengan Indonesia dan Filipina yang salah satunya bertujuan untuk menggantikan PLTU di Indonesia dengan energi bersih. Skema ini juga kemungkinan akan menyasar Vietnam.
Di bawah kemitraan dengan Indonesia dan Filipina, ADB akan bekerja dengan pemerintah untuk menguji coba ETM, dengan bersama-sama melakukan studi kelayakan menyeluruh yang berfokus pada model bisnis yang optimal untuk setiap negara percontohan, menggabungkan sumber daya dari donor dan filantropi, serta memanfaatkan sejumlah besar modal komersial.
ETM terdiri atas dua pembiayaan. Pembiayaan pertama ditujukan untuk menutup lebih dini atau mempercepat pengalihan fungsi pembangkit listrik tenaga batu bara. Sementara itu, pembiayaan kedua berfokus pada investasi pada pembangkitan, penyimpanan, dan peningkatan jaringan listrik untuk energi bersih yang baru.
Pada 3 November itu pula, pemerintah Jepang mengumumkan hibah senilai 25 juta dolar AS untuk pembiayaan ETM.
“ETM adalah rencana ambisius yang akan memperbarui infrastruktur energi Indonesia dan mempercepat transisi energi bersih menuju emisi nol bersih dengan cara yang adil dan berbiaya terjangkau,” jelas Menteri Sri Mulyani di tengah COP26.
Terkait rencana ini, Menteri ESDM Arifin Tasrif pun mengatakan bahwa Indonesia merencanakan untuk melakukan pemberhentian dini beberapa PLTU sebesar total 9,2 GigaWatt (GW) sebelum tahun 2030. "Pensiun dini" ini diperkirakan memakan biaya sebesar 22 miliar dolar AS, yakni 8 miliar dolar AS untuk penghentian PLTU dan 14 miliar dolar AS untuk pengembangan EBT.
Hal ini disampaikannya saat mencetuskan program Friends of Indonesia-Renewable Energy (FIRE) di Glasgow, Skotlandia pada 4 Desember 2021. Program FIRE sendiri adalah sebuah platform untuk mengkoordinasikan dukungan internasional dalam mengakselerasi proses transisi energi di Indonesia.
Lebih lanjut, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana kepada Tirto dan Kompas pada 4 November bahwa angka 9,2 GW terdiri dari 3,7 GW yang akan membutuhkan substitusi energi bersih dan sisa 5,5 GW tidak membutuhkan substitusi karena daerah PLTU sudah kelebihan pasokan.
Ia mengatakan, Indonesia akan phase out PLTU yang masih beroperasi dan memilih dari 6 potensi lokasi, termasuk 4 PLTU di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali), 1 di Sumatera dan 1 di Sulawesi. Usianya pun rata-rata sudah “belasan tahun”, kata Rida. Studi kelayakan yang rencananya selesai pada Maret 2022 akan menentukan PLTU yang mana sebaiknya akan dipercepat penutupannya.
Kajian Kementerian ESDM pada salah satu PLTU di Pulau Jawa menghitung bahwa rata-rata diperlukan Rp2 miliar per MegaWatt per tahun untuk mempercepat penutupan batubara 10 tahun lebih awal. Namun, ia menekankan bahwa perhitungan ini masih memiliki banyak asumsi, sehingga bisa jadi benar atau salah.
Namun, beberapa pihak masih skeptis dengan ETM. Dalam siaran persnya, Koalisi Organisasi Sipil, yang terdiri dari 60 organisasi yang hampir seluruhnya dari Asia, menilai bahwa durasi selama 15 tahun ini akan membuat orang-orang untuk menggunakan lebih banyak listrik berbahan bakar batu bara selama bertahun-tahun ke depan.
Koalisi ini pun menilai bahwa tidak ada jaminan kapasitas yang hilang karena penghentian dini PLTU akan digantikan oleh sumber energi terbarukan. Selain itu, masih ada ketidakjelasan terkait bagaimana ETM akan menghindari pembayaran lebih (overpaying) atau menciptakan insentif bagi PLTU tua untuk memperpanjang umur.
“Sebagai orang-orang yang rentan terhadap iklim dan terbebani secara ekonomi, kami tidak dapat membiarkan ADB berjudi dengan rencana penghapusan batu bara prematur, yang bagi kami tidak kurang dari masalah hidup dan mati,” Direktur Eksekutif Center for Energy, Ecology and Development Gerry Arances di Filipina.
Solusi Pembiayaan Berkelanjutan
Pada 2 November 2021, Fabby dari IESR mengatakan kepada Tirto bahwa ETM merupakan suatu inisiatif yang cukup baik karena bisa menangani dua persoalan, yaitu mengurangi kapasitas PLTU di sistem kelistrikan dan mendorong investasi energi terbarukan.
Ia pun menyebut pada 4 November 2021 bahwa rencana penghapusan batu bara dan penandatangan pernyataan baru ini merupakan “lompatan besar” bagi Indonesia.
“Yang harus dipastikan di Indonesia nanti adalah kapasitas PLTU yang cukup signifikan yang pensiun sehingga bisa memberikan ruang yang cukup besar bagi energi terbarukan,” ungkap Fabby.
Ia mengutip kajian IESR yang menyebut bahwa bauran energi terbarukan Indonesia pada 2030 harus mencapai 45 persen agar dapat menyesuaikan dengan target 1,5 derajat di Perjanjian Paris. Setidaknya perlu ada 10-12 GW PLTU yang dipensiunkan dengan perkiraan anggaran 16 miliar hingga 24 miliar dolar AS untuk mengakomodasi kapasitas energi terbarukan sebesar itu di sistem kelistrikan nasional.
Ke depannya, ia mendorong pemerintah untuk memperjelas target dan kebijakan untuk memberikan kepastian bagi investor yang ingin mendanai proyek EBT. Selain itu, pemerintah perlu mengantisipasi hambatan regulasi, perizinan dan pembebasan lahan yang menghambat implementasi proyek-proyek EBT.
Pemerintah pun sebaiknya aktif melakukan pipeline (rencana proyek yang akan dilakukan) sebelum studi kelayakan yang dapat dipakai untuk lelang proyek EBT. Fabby juga mendorong PLN untuk melakukan lelang secara sering dan berkala untuk memberikan “sinyal” kepada investor bahwa investasi di EBT menarik.
Transisi Yang Adil?
Selain pendanaan, Sri Mulyani juga mengatakan dalam konferensi pers pada 30 September 2021 bahwa peralihan Indonesia ke nol bersih harus adil dan terjangkau. Jika transisi meningkatkan biaya hidup masyarakat, dukungan publik untuk tindakan tersebut dapat terkikis.
“Jika biaya hidup terlalu tinggi untuk ditanggung, Anda tidak akan melihat penerimaan sosial," ucap Sri Mulyani.
Senada, IESR dalam laporannya mendesak pemerintah untuk memastikan transisi berkeadilan antara lain dengan melakukan konsultasi publik dan dialog sosial, menetapkan kebijakan terkait perlindungan sosial dan pengembangan keterampilan, serta melakukan diversifikasi ekonomi. Rekomendasi ini berdasarkan pembelajaran dari empat negara di dunia dalam laporan tersebut.
Hal ini dikarenakan transisi energi berpotensi menurunkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di daerah penghasil batubara, menyebabkan defisit pada neraca perdagangan, serta meningkatkan jumlah pengangguran yang kehilangan pekerjaan dari industri batubara, mengutip artikel terpisah pada 22 Oktober 2020.
"Untuk itulah pendekatan transisi energi yang berkeadilan (just energy transition) diperlukan untuk memastikan agar pekerja dan masyarakat yang terdampak dari adanya transisi dari batubara, sungguh-sungguh diperhatikan,” tegas Fabby dalam artikel yang sama.
==============
Artikel ini ditulis dengan dukungan Climate Tracker.
Baca selengkapnya di artikel "Skema Pembiayaan Baru Dorong PLTU Batu Bara "Pensiun" di Indonesia", https://tirto.id/gk3d
Editor: Farida Susanty