tirto.id - Kawasan lapo di dekat Lapangan Tembak Senayan, yang terkenal bagi penikmat makanan khas Batak, bakal ditutup. Bukan karena sepi pembeli, tetapi lokasi itu bakal kena gusur dari pelebaran fasilitas Asian Games 2018.
Pihak Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno, stadion yang jadi lokasi utama gelaran empat tahunan itu, memberitahu kepada para pedagang sejak Desember 2016 lalu. Isinya, para pedagang harus mengosongkan lokasi per 16 Desember. Tenggat itu bikin mereka terkejut dan tidak siap. Asian Games tahun depan memang bakal digelar di Jakarta dan Palembang bagi para atlet dari negara-negara di Asia.
Sejak September, para pedagang sudah mempertanyakan kepada pihak pemilik lahan lantaran santer mendengar kabar bahwa sewa tempat jualan mereka akan dihentikan. Pada 28 Desember, mereka menerima surat kali kedua dari pemilik lahan, intinya menegaskan lokasi warung di samping lapangan tembak itu, termasuk tiga lapo terkenal di sana, harus steril selambatnya 15 Januari 2017.
Tenggat itu masih tarik-ulur, bahkan ketika saya mendatanginya, empat hari setelah batas waktu terbaru itu ditetapkan. Para pemilik lapo di sana mengeluhkan kabar pengusiran ini dibuat serba mendadak. Padahal mencari lokasi baru bagi bisnis kuliner lapo, terlebih di kawasan Jakarta yang mayoritas muslim, bakal lebih sulit. Pemilik lahan atau ruko kosong belum tentu memberi izin bila tempatnya menjadi lokasi lapo, yang mengandalkan makanan khas olahan seperti babi dan anjing.
"Intinya kami keberatan dari surat itu karena waktu yang diberikan sangat minim. Kami enggak muluk-muluk, minta perpanjangan waktu sampai akhir Maret 2017," kata Paulus Siagian, pengelola Lapo Siagian Boru Tobing.
Surat perpanjangan tenggat yang mereka kirimkan ditolak oleh pemilik lahan. Keputusannya: mereka harus angkat per 28 Februari. Saat ini, kawasan kuliner di Senayan yang akan dikosongkan itu ditempati 22 pedagang dengan hidangan khas dari pelosok Nusantara seperti dari Betawi, Makassar, Manado, Medan, dan sebagainya.
Ada tiga lapo di Senayan: Lapo Ni Tondongta, Lapo Siagian Boru Tobing, dan Lapo Dainang. Ketiga lapo ini sudah berumur nyaris empat dasawarsa.
Tiga Lapo di Senayan
Lapo Ni Tondongta—artinya 'warung saudara kita'—didirikan oleh Rukiah Saragih Boru Purba pada 1980. Semula lapo ini bertempat di Jalan Asia-Afrika, sekitar satu kilometer dari tempat sekarang. Ia mulai terkenal seiring pemiliknya mulai melakukan inovasi, mengganti makanan ringan atau camilan dengan makanan khas suku Batak.
Jenis masakan khas itu jadi menu utama. Beragam macam. Ada saksang (daging babi dipotong kecil-kecil lalu dicampur andaliman), ada babi panggang, sup babi, arsik ikan mas, dan ayam napinadar (dimasak dengan bumbu saksang). Ia berkembang jadi bisnis keluarga dan kini memiliki 12 cabang di Jakarta dan daerah sekitarnya termasuk di Bekasi, Bogor, dan Depok.
Cabang pertama berdiri pada 1989 di Jalan Pramuka, salah satu kawasan etnis Batak di Jakarta Timur. Cabang kedua di Mall Ambassador, Jakarta Selatan, pada 2000.
“Cabang di kawasan makan Mall Ambassador mempunyai suatu kebanggaan, karena restoran khas Suku Batak pertama yang berada di pusat perbelanjaan atau mall. Biasanya makanan khas Suku Batak berbentuk restoran biasa,” ujar Mulyadi Saragih, pengelola Lapo Ni Tondongta di Jalan Pramuka.
Cabang ketiga di Jalan Pesanggrahan Raya, Jakarta Barat, pada 2001 dengan pertimbangan ingin menjangkau konsumen pinggiran Jakarta dan Tangerang.
Pelbagai pelanggan setia silih berganti mendatangi Lapo Ni Tondongta. Kalau cabang di Pramuka, 30 persen pelanggannya adalah orang Batak. Sisanya dari pelbagai daerah lain seperti orang Manado, Ambon, Jawa, dan Cina. Mereka punya menu favorit: babi panggang dan arsik ikan mas.
Semua cabang Lapo Ni Tondongta dikelola oleh anak-anak Rukiah Saragih Boru Purba. Usaha lapo ini jadi sumber penghasilan utama keluarga besarnya.
“Cuma yang punya abang, adik tiga orang. Joy Saragih, Pipin Saragih, dan Jabinson Saragih,” kata Mulyadi.
Lapo lain di Senayan adalah Lapo Siagian Boru Tobing, dimiliki oleh Arifin Siagian yang mulai berjualan pada 1984. Lokasi semula di Jalan Asia-Afrika, sama seperti Lapo Ni Tondongta. Hanya saja, belum genap tiga tahun, warung Lapo Siagian ini terbakar. Kepindahannya ke samping Lapangan Tembak Senayan lantaran lokasi jualannya bakal dipakai untuk Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok pada 1992.
Sejak 2000, usaha Arifin Siagian berganti generasi. Kini ia dipegang anak kelimanya. Paulus Siagian. Di tangan Paulus, rumah makan khas batak ini tetap ramai. Pelbagai cara biar bisnis lapo ini terus mendatangkan pelanggan dikembangkan, dari meracik bumbu khas Batak biar tambah sedap hingga menerapkan "harga subsidi" bagi kelas menengah-bawah.
“Kalau untuk kalangan kelas menengah ke bawah, kita memberikan harga berbeda. Seorang supir taksi cukup membayar Rp20 ribu untuk makan lapo satu porsi, sayur, dan nasi, dan tambah nasi,” kata Paulus Siagian. Sebaliknya, jika konsumen dari kalangan menengah ke atas, harga sesuai menu.
Satu lapo lain adalah Lapo Dainang, yang semula berjualan di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Awalnya lapo ini dikelola sang adik, tapi usai tutup, sang kakak mencoba peruntungan di tempat lain, yakni kawasan Senayan.
Wati Sitompul, salah satu pendiri Lapo Dainang, mengatakan baru empat tahun membuka lapo di Senayan. Belum genap lima tahun, lapo yang memiliki cabang di Siantar dan Medan ini disuruh pindah, sebagaimana kedua lapo di atas.
“Masih bingung mau pindah ke mana. Ditanya sama pelanggan, kita bilang mau pindah, padahal tempat aja belum ada,” kata Wati.
Mencari lokasi sewa untuk jualan lapo rada susa. Setiap malam, usai warung tutup, ia mencari rumah atau ruko sewa. "Sempat dapat rumah sewanya, tapi warga sekitar tidak memberikan izin untuk menjual lapo. Ada juga tempat sewanya yang tidak mau karena kita menjual lapo. Terkadang dari kelurahan dan kecamatan tidak memberi izin, bukan pemilik rumah. Jadi persoalan rumah lapo ini, belum terpecahkan," kata Wati.
Lapo, 'Strabucks-nya Orang Batak'
Lapo di Tanah Batak ialah ruang bertemu, terutama kaum bapak, untuk menghabiskan waktu senggang sambil mengobrol. Mereka membagi cerita manasuka, dari keseharian sampai politik.
“Kalau di Medan, ibaratnya Starbucks-nya orang Batak," kata Raja Humuntar Panggabean, seorang pekerja di Dewan Perwakilan Rakyat, yang datang ke lapo di Senayan saat saya di sana.
Menurutnya, orang Batak cenderung suka berkumpul, setelah itu nyanyi-nyanyi. Ini agak berbeda dengan lapo di Jakarta, yang harus disesuaikan dengan karakternya. “Mereka khusus makan doang di lapo, tapi setidaknya ada musik atau live musik Batak. Dan itu daya tarik,” kata Panggabean.
Karena letaknya di dekat Gedung Senayan, dan kantor pemerintahan, beberapa politikus, pejabat, dan kaum selebritas dan pengaca menjadi pelanggan lapo Senayan.
"Hotman Paris, pelanggan kita. Dulu Hotman suka makan di tempat kita di Kelapa Gading karena dekat rumahnya, setelah warung ditutup, ia ke sini," kata Wati dari Lapo Dainang, menambahkan Hotman paling menyukai iga goreng racikannya.
Sementara, di antara pelanggan Lapo Boru Siagian milik Paulus Siagian dari kalangan politikus adalah Maruarar Sirait, Ruhut Sitompul, Hinca Panjaitan, dan Yasonna Laoly.
Paulus mengatakan, Laoly selalu memilih meja bundar di dekat meja kasir. Tetapi, sejak menjabat menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, ia sudah jarang datang. Begitupula Rohut Sitompul yang lebih suka duduk di dekat kasir karena ada mamak. "Bang Ruhut suka ngobrol sama mamak,” katanya.
"Kalau bang Ara, di sini, tempat kita duduk ini tempat duduk favoritnya," kata Paulus, menyebut Maruarar yang lebih memilih duduk di sudut ruangan lapo.
Para politikus PDI Perjuan lain yang kerap membeli lapo di Senayan adalah Panda Nababan, Bambang Wuryanto, dan Eriko Sotarduga. Biasanya, mereka membeli lewat pegawai kantor, tidak datang sendiri.
Lapo, Simbol Persaudaraan
Usai beribadah di gereja, orang-orang Batak biasanya berkumpul di lapo. “Jam 12 siang, coba datang ke lapo, pasti banyak orang Batak. Aku, selesai dari Gereja, carinya lapo juga. Lapo Ni Todongta Senayan salah satu rekomendasi orang tua. Memang lapo di situ enak,” kata Raja Humuntar Panggabean.
Lapo, karena sering jadi acuan tempat kumpul orang Batak, kerap dipakai untuk mereka yang baru menginjakkan kaki ke tanah rantau. Di lapo lah ia akan bertemu dengan orang satu daerah bahkan satu opung. Karena itu lapo menjadi ruang ingatan, simpul mengikat orang-orang Batak yang merantau.
Bagi Paulus, banyak kenangan selama 24 tahun di laponya. Sebab, sedari kecil hingga ia kini berumur 34 tahun, ia hidup bertetangga, bersaudara, dan mengenal satu samal lain, antara pedagang maupun pelanggan, di lokasi tersebut. Di Senayan.
Pelbagai upaya sudah dilakukan oleh 22 pedagang termasuk dirinya. Mereka meminta kepada pihak pemilik lahan untuk bisa ditempatkan dalam satu lokasi, tetapi ditolak. Minta tenggat lebih lama, tetap saja diabaikan.
"Sekarang kami pasrah menerima keadaan ini, tetapi upaya bernegosiasi dengan pengelola tetap terus dilakukan," ujar Paulus.
Waktu penggusuran kini tinggal sebulan lagi—yakni akhir Februari. Sudah banyak orang bergantung hidup dari lapo di Senayan. Dari pemasok daging, sayur, pekerja warung, tukang parkir, pengamen, dan tukang semir sepatu.
"Susah membayangkan, ada 22 pengusaha rumah makan dengan 5 hingga 13 karyawan. Totalnya ada 200 orang tenaga kerja yang bergantung hidup untuk menafkahi keluarga di sini," kata Paulus. "Mereka harus bertaruh hidup kembali setelah warung ditutup."
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam