Menuju konten utama
Togarma Naibaho:

"Ada Budaya Batak dalam Lapo"

Tiap-tiap orang Batak yang merantau biasanya mencari tempat tinggal yang satu kerabat. Dalam komunitas besar mereka mendirikan gereja etnis HKBP selain ada lapo sebagai makanan khas dan tempat mengobrol.

Budayawan Batak Togarma Naibaho. FOTO/Dok.Pribadi

tirto.id - Untuk sebuah kehormatan dan kesuksesan, orang Batak pergi merantau. Mereka lantas membentuk perkampungan, gereja, juga lapo, kedai makanan khas Batak. Kelak lapo menjadi ciri keberadaan orang-orang Batak di perantauan.

Keberadaan Lapo di Jakarta, misalnya, identik dengan sebaran permukiman orang-orang Batak. Misalnya di Kampung Mayasari, Cililitan, juga di Jalan Pramuka dan kawasan Senen. Selain Lapo, ciri berkumpulnya orang-orang Batak adalah gereja Huria Kristen Batak Protestan, kongregasi terbesar di Tanah Batak.

Togarma Naibaho, budayawan Batak, mengatakan antara Lapo, gereja, dan perantauan orang Batak memang memiliki hubungan erat. Kekerabatan dan tradisi yang dibawa orang Batak di perantauan membentuk sebuah komunitas (permukiman) orang Batak, sejala berdirinya lapo dan gereja HKBP.

“Karena ada yang berkewajiban dari marga ibu atau ayah, diusahakan dekat, untuk melakukan acara adat,” ujar Togarma melalui sambungan telepon, Minggu, 22 Januari kemarin.

Ia menjelaskan, ketika orang Batak berkumpul di perantauan, mereka juga akan mendekatkan diri dengan keluarganya yang semarga. Mereka berkumpul dan membentuk komunitas. Sebab, kata Torgarma, ia memudahkan sejumlah tradisi orang Batak yang mewajibkan keterlibatan setiap keluarga dari masing-masing marga. Misalnya, upacara pernikahan, kelahiran, juga kematian.

“Karena ada kewajiban dari marga ayah atau ibu itu, kita harus hadir kalau ada acara adat. Akhirnya mengumpullah mereka di situ.”

Dan akhirnya orang Batak juga membangun rumah peribadatan. “Jadi ketika sesudah ada penginjilan, harus ada peran gereja di setiap upacara adat,” katanya.

Berikut petikan wawancara Togarma Naibaho kepada Arbi Sumandoyo dari Tirto tentang lapo dan diaspora orang Batak di perantauan.

Apa arti penting lapo dalam pandangan orang Batak?

Sebenarnya ada budaya, orang Batak bilang partokoan. Partokoan itu dulu awalnya tempat berkumpul orang-orang kampung di depan pintu gerbang. Jadi kerja dari sawah, kumpullah di situ, istilahnya dalam bahasa Jawa sarasehan. Di situ, semua masalah-masalah dibicarakan, didiskusikan. Sebenarnya dulu belum ada lapo, setelah ada penginjilan, perkumpulan di kampung itu pindah ke lapo. Lapo menjadi tempat kumpul-kumpul orang Batak, baik di kampung maupun di perantauan.

Lapo identik dengan tuak, apa makna sosialnya?

Lapo itu ya sebenarnya tidak selalu ada tuak. Ada juga hanya ngopi-ngopi. Tidak semua lapo ada tuak. Awalnya malah dulu main catur. Di mana saja ada orang Batak, lapo itu menjadi tempat berkumpul. Jadi bukan hanya di Jakarta, di Siantar, Medan, bagi perantau itu sudah menjadi budaya. Dan di Lapo tidak harus (minum) tuak.

Bagaimana kekerabatan orang Batak di perantauan?

Biasanya, istilahnya orang Batak itu martarombo, menanyakan silsilah marga. Jadi, kalau ditanya, marga apa, nanti akan ada jaringannya. Seperti saya Naibaho, akan dikasih tahu, misal saya kenal ada di sana. Dihubungi dulu satu marga, jadi nanti langsung ada jaringannya.

Karena itu jaringan satu marga, nanti akan ditanya: di mana saudara yang lain dan siapa yang paling terdekat? Nanti ditarik lagi yang terdekat, walaupun sama-sama Naibaho nanti dicari lagi (saudara) yang paling dekat. Yang lebih dekat ke ayah kita. Jadi dikasih tahu marga apa. Mungkin yang dikasih itu, generasi jauh puluhan di atas, nanti akan dicari yang paling terdekat. Biasanya ditampung ketika mereka di perantauan. Misal, butuh pekerjaan, mau sekolah.

Apakah pola kekerabatan ini masih dilakukan oleh orang Batak di perantauan?

Iya. Apalagi kalau dia masih dekat dengan ayah. Cuma bedanya, dibanding tahun-tahun zaman orang tua kita karena kita orang Batak masih sedikit di perantauan, biasanya bisa satu sampai dua bulan kita tinggal di rumah saudara. Zaman dulu, walaupun tidak dekat, asal sesama orang Batak itu langsung ditampung. Baru setelah itu, dicarilah yang satu perkumpulan leluhur. Tapi selalu diusahakan: kerabat yang paling dekat dengan ayah atau nenek. Sekarang itu masih terjadi.

Misal cari kerabat yang paling dekat dengan ayah, kalau tidak dekat dengan ayah, lalu kakek. Tetapi ada juga duluan dari atas, dari leluhur yang paling dekat ke ayah atau ke ibu kita dan itu terjadi sampai sekarang.

Mengapa migrasi orang Batak terkonsentrasi membentuk permukiman?

Iya, karena akan saling kasih tahu, saling menarik kerabat-kerabat terdekat, berusaha karena ada yang berkewajiban dari marga ibu atau ayah, diusahakan dekat, untuk melakukan acara adat. Jadi diusahakan lebih dekat, karena ada kewajiban dari marga ayah atau ibu harus hadir kalau ada acara adat. Akhirnya mengumpul mereka di situ.

Misalnya, upacaya kelahiran, perkawinan, kematian. Itu wajib dia hadir. Karena kalau tidak hadir, dia bisa tersingkir dan ada sanksi sosialnya. Jadi kalau ada acara tertentu, tidak dipanggil lagi. Umpama, tidak pernah hadir, maka makin tersingkir. Jadi supaya tidak tersingkir, berusaha untuk hadir. Ada semacam kewajiban. Istilah Batak, Dalihan Na Tolu.

Apa arti Dalihan Na Tolu?

Dalihan itu tungku, sebetulnya ini simbol. Kalau kita masak, kan, ada tunggu, biasanya ada tiga, simbol dari marga ibu, marga ayah, dan marga saudara ibu dan marga saudari ayah. Karena mereka wajib hadir di setiap upacara.

Dalam setiap upacara, mayoritas harus selalu potong daging babi. Makanya ada lapo-lapo jual daging itu. Karena memang dalam upacara, wajib ada korban daging untuk ritual acara itu. Harus ada makanan, daging yang dipotong. Akhirnya ada lapo-lapo yang jual daging, dan karena itulah bagian dari ritual.

Apa ciri khas lapo dari Batak Toba, Tapanuli, atau Karo?

Ada ciri khasnya. Misalnya, lapo Batak Karo punya ciri khas yang tidak ada di lapo Batak Toba. Sama-sama babi panggang, ada bagian-bagian, umpamanya di Karo itu, bagian perut diolah, dagingnya dimasukkan ke usus. Dimasukkan jadi kaya sosis. Jadi ciri khas Karo ada sosisnya, dinamakan kidu-kidu. Dimasukkan daging ke usus, dimasukkan sayur-sayuran dan bumbu, jadi kaya sosis.

Apa arti simbol ikan mas arsik dalam ritual Batak?

Jadi ikan mas itu, biasanya dari marga ibu. Itu simbolnya, lambang doa, supaya seperti ikan yang baris-berbaris, serempak satu komando. Supaya semua yang menerima itu, kan, marga ibu yang bawa, jadi diserahkan ke marga ayah, dengan doa, supaya keluarganya beriring-iringlah seperti ikan itu. Misal dalam melakukan pekerjaan, dapat rezeki untuk berkembang. Doanya supaya menjadi satu, beriring-iring.

Tidak bisa ikan jenis lain?

Karena ikan mas itu beriring-iring kalau di danau. Filosofinya, supaya beriring-iring seperti ikan itu.

Bagaimana soal migrasi orang Batak yang kemudian membangun gereja?

Ya karena kembali ke tadi. Ada kewajiban setiap upacara. Ketika sesudah ada penginjilan, harus ada peran gereja di setiap upacara. Kalau tadinya tidak ada, hanya tokoh spiritual. Dulu belum ada gereja, yang hadir itu selain marga ayah, marga ibu, dulu itu tokoh spiritual. Nah sekarang tokoh spiritualnya sudah lebih dominan di gereja, akibatnya diusahakan ada di sekitar itu. Karena memimpin doakan, wajib dia mendoakan. Kalau dulu tokoh spiritual tradisi.

Tapi beberapa tempat ada yang tidak menggunakan gereja. Cuma karena makin intens, tokoh spiritualnya dari gereja. Makanya berusaha bikin gereja di situ, setiap ada acara-acara adat wajib dilakukan untuk orang yang lahir, orang yang mau dibaptis, bahkan ada orang mau menempati rumah baru, ada acara-cara wajibnya dan itu harus hadir.

Tidak semua dari gereja, bagi orang Batak muslim juga, tokoh spiritualnya dari ustaz. Misalnya dari Tapanuli Selatan, mereka tetap membuat acara tradisi. Cuma yang memimpin doanya ustaz. Kalau Batak dari Selatan itu Islam, tidak semua dari gereja.

Baca juga artikel terkait BATAK atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Indepth
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam