tirto.id - Setelah mengajukan permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi pada 18 Juli lalu, kali ini Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada 13 Oktober lalu.
"Baru dimajukan dan didaftarkan Jumat kemarin," kata Yusanto kepada Tirto, Rabu (18/10/2017) malam.
Berdasarkan informasi perkara di website PTUN Jakarta, gugatan bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT meminta SK Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan ormas tersebut ditunda pelaksanaannya. Selain itu, HTI meminta SK Menkum HAM itu ditunda pelaksanaannya hingga ada putusan berkekuatan hukum tetap.
Dalam gugatannya, HTI meminta ke pihak tergugat yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk:
- Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;
- Menyatakan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-00282.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017, batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;
- Memerintahkan tergugat mencabut Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017;
- Menghukum tergugat membayar biaya yang timbul dalam perkara a quo.
Perppu tersebut menjadi landasan pemerintah menghapus keberadaan HTI di Indonesia. Namun, setelah mempertimbangkan situasi, mereka akhirnya mengajukan gugatan ke PTUN karena putusan Kemenkumham masih memenuhi syarat.
Menurut kuasa hukum HTI Yusril Ihza Mahendra, HTI selaku pemohon, meminta MK untuk membatalkan seluruh Perppu Nomor 2 Tahun 2017, atau setidaknya beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Yusril mengatakan rumusan di dalam Perppu ormas tersebut dinilai tidak jelas terutama terkait dengan pembubaran ormas yang menganut atau menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila.
"Menurut hemat kami, kemungkinan bisa digunakan sewenang-wenang oleh penguasa," kata Yusril.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri