Menuju konten utama

Sekolah Sepakbola dan Talenta Muda yang Hilang di Tengah Jalan

Banyak sekolah sepakbola, tapi kualitas sepakbola Indonesia masih begitu-begitu saja.

Sekolah Sepakbola dan Talenta Muda yang Hilang di Tengah Jalan
Sekolah Sepakbola (SSB) Saint Prima Bandung. FOTO/Youtube

tirto.id - Minat rakyat Indonesia terhadap sepakbola tidak pernah kendur. Mulai dari kompetisi perserikatan yang amatir, kompetisi Galatama yang semi-profesional tapi berumur pendek, sampai Liga Indonesia yang bergulir mulai tahun 1994, gelora sepakbola selalu bergemuruh. Bahkan, jika ada kejuaraan sepakbola yang levelnya tinggi dan Indonesia hanya jadi penonton, masyarakat selalu mengikutinya dari awal sampai tuntas, meski hanya lewat layar kaca.

Kiwari, minat sepakbola itu merambah kalangan yang lebih luas, yakni anak-anak dan remaja. Jika dulu anak-anak hanya jadi penonton orang-orang dewasa, atau jika bermain pun hanya menghabiskan waktu bocah dengan menendang-nendang bola di lapangan-lapangan semenjana, kini sepakbola mulai menghiasi angan dan cita mereka.

Pengetahuan tentang sepakbola, baik dalam maupun luar negeri, mulai mereka akrabi. Mereka hafal sejumlah nama pemain asing yang kerap muncul di televisi, seperti mereka hafal para pemain klub lokal yang ia dan kawan-kawannya dukung.

Situasi ini berkawin dengan dorongan orangtua yang ingin anak-anaknya tumbuh sehat dan bergaul luas, juga para praktisi sepakbola yang ingin memadukan antara semangat pembinaan dan memanfaatkan peluang pasar. Dan anak dari perkawinan segitiga ini adalah sekolah sepakbola (SSB)

Dari Sumatera sampai Papua, sekolah sepakbola tersebar dan menjadi titik-titik pembinaan sepakbola Indonesia usia dini. Pengelolanya pun beragam. Pertama, klub-klub amatir yang tergabung dalam persatuan sepakbola sebuah wilayah. Contohnya SSB Saint Prima. Klub ini adalah salah satu dari 36 klub yang berada di bawah Persib Bandung.

Kedua, SSB yang langsung dikelola oleh klub persatuan wilayah, seperti SSB Persigo Gorontalo. Ketiga, SSB yang berdiri sendiri tanpa ada hubungan dengan klub lain, misalnya Jakarta Football Academy. Keempat, SSB mandiri yang didirikan dan dikelola oleh mantan pemain nasional, seperti Akademi Rochi 21 (AR 21) milik Rochi Putiray.

Semangat Pendek dan Cita-Cita yang Kandas

Tingginya minat anak-anak dan remaja Indonesia mengikuti pendidikan di berbagai sekolah sepakbola ternyata tak signifikan dalam menghadirkan generasi muda pemain sepakbola yang mumpuni. Pada perjalanannya, mereka ternyata banyak yang beralih ke bidang lain dan meninggalkan sepakbola.

Jikapun ada yang terus menekuni sepakbola, mereka biasanya patah oleh beratnya persaingan menembus klub-klub profesional atau skuad timnas yang secara keuangan cukup menjanjikan bagi masa depan mereka.

Menurut Rochy Putiray, pemain yang kini mengelola AR 21 di Solo, sebetulnya banyak talenta muda bertebaran di Indonesia. Namun, kompetisi usia muda yang sedikit dan pemandu bakat yang tidak fair, menurut Rochy adalah dua di antara banyak hal lain yang menghambat berkilaunya bakat-bakat muda menjadi pemain sepakbola handal.

Ia bahkan menyebutkan bahwa budaya kolusi dan nepotisme banyak menyingkirkan para pemain muda yang secara kualitas bagus, tapi tak bisa berbuat banyak karena tak punya “orang kuat" dan uang lebih untuk memuluskan kariernya.

“Di Sepakbola sekarang, KKN lebih banyak kok daripada kualitas, jadi mau rekomendasi dari siapa pun, pada saat rekomendasinya enggak pakai duit ya enggak masuk. Kalau orangtuanya punya duit dan mendukung, anaknya aman-aman saja. Tapi kalo orangtuanya enggak punya duit, ya udah berhenti di tengah jalan,” ujarnya kepada Tirto (29/6/2018).

Ia juga menambahkan bahwa di akademi yang dikelolanya, dari sepuluh siswa, yang bertahan di dunia sepakbola hanya lima sampai enam orang. Sisanya lebih memilih bekerja di bidang lain atau fokus ke pendidikan di bangku kuliah.

Pilihan untuk tidak melanjutkan sepakbola, Menurut Rochy, karena anak-anak muda itu melihat sepakbola sebagai bidang yang sulit menjamin masa depannya. Beberapa di antara mereka yang punya kemampuan, tapi dirugikan oleh sistem yang tidak berpihak, akhirnya mereka merasa putus asa sebab berkali-kali gagal menembus level yang lebih tinggi.

“Satu kali, dua kali, tiga kali, [gagal terus] ya sudah mereka putus asa,” imbuhnya.

Ihwal siswa sekolah sepakbola yang tak melanjutkan karier di dunia olahraga tersebut, disampaikan juga oleh Dedi, salah seorang pengurus SSB Saint Prima, Bandung. Menurutnya, dari total 800 siswa per 2018, dari 35 orang di level usia paling atas, yang bertahan di jalur sepakbola hanya satu-dua orang.

“[Yang lanjut jadi pemain sepakbola hanya] nol koma sekian persen, kecil banget. Jadi kita kembali ke Allah saja, kalau sudah rezekinya enggak kemana,” ujarnya.

Sistem klasifikasi usia yang dibuat oleh Saint Prima meliputi yang paling muda kelahiran 2011 (7 tahun) dan yang paling tua kelahiran 2000 (18 tahun) yang dipersiapkan untuk menghadapi musim pertama liga 3 khusus usia 19-21 tahun.

Tantangan terberat bagi Dedi dan koleganya di Saint Prima adalah menghadapi masa transisi dari usia SMP ke usia SMA. Menurutnya, di usia ini biasanya para siswa mulai mencoba hal-hal lain yang menjauhkan mereka dari sepakbola, seperti main band dan ugal-ugalan dengan bergabung dengan geng motor.

“Anak-anak di usia dini itu bagus, [tapi] di usia sekian, anak-anak itu sudah berubah. Ada satu [terpengaruhi] jadi [anggota] geng motor, jadi apa, jadi apa. Misal, dari rumah berangkat, datang ke sini enggak latihan, orangtuanya nyusul ke sini. Ini pengalaman di sini, ya,” katanya.

Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, meski hasilnya belum optimal, Dedi dan kawan-kawannya biasanya melakukan pembicaraan dengan anak-anak didiknya terkait masa depan yang akan mereka tempuh. Para pengurus SSB tersebut biasanya mengarahkan anak-anak yang ingin kuliah, ke jurusan olahraga Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Hal tersebut dilakukan agar anak-anak didiknya tetap bisa berguna di dunia olahraga meski tidak melanjutkan karirnya sebagai pesepakbola.

“Nanti sesudah beres dari UPI dia bisa mengajar apa-apa, kalau dia mau melamar ke kita ya kita rekrut,” ujarnya.

Di Bandung, Saint Prima terkenal sebagai salah satu pemasok pemain Persib senior seperti Ahmad Basith, Agung Mulyadi, Jajang Sukmara, Aang Suparman, Edi Hafidz Murtado, Yandi Sofyan, dan lain-lain.

Berbeda dengan Rochy Putiray yang menyalahkan sistem yang buruk yang tak menunjang masa depan para pemain muda, Dedi dengan logat Sunda yang sangat kental dan bersikap fatalis menyampaikan bahwa proses seleksi para pemain menembus klub profesional, khususnya Persib, berjalan murni alias tidak ada praktik suap untuk memuluskan jalan.

“Murni. Kita kan semuanya ada yang mengatur, kalau Allah telah menakdirkan anak itu harus di profesional, kenapa tidak? Kita udah tidak bisa apa-apa lagi. Itu intinya,” ujar Dedi.

Terkait kompetisi yang menjadi medan laga latihan para pemain muda, ia menerangkan bahwa para siswa Saint Prima bertanding di kompetisi internal Persib yang terdiri dari 36 klub. Di situlah para pemandu bakat baik dari klub Persib maupun PSSI Pengda Jabar hadir untuk memantau pemain-pemain berbakat.

Selain itu, Saint Prima juga hendak mengikuti Piala Suratin berbagai level usia yang mulai musim ini sistemnya terbuka untuk klub-klub yang berada di bawah persatuan sepakbola wilayah. Dan di sesela semua kompetisi tersebut, para pemain muda juga berkesempatan mengikuti turnamen yang kerap digelar oleh banyak SSB lain.

infografik sekolah sepak bola

Blitz Tarigan, salah satu pelatih SSB Villa 2000 yang bermarkas di Tangerang Selatan, Banten menyampaikan hal yang sama, yakni tidak semua siswanya menjadi pemain sepakbola profesional. Tantangannya pun sama seperti yang dialami AR21 dan SSB Saint prima, yaitu menghadapi usia transisi para siswa yang membuat pendirian mereka goyah.

Di usia tersebut, menurut Blitz Tarigan, faktor lingkungan cukup memengaruhi sehingga para pemain mulai tidak disiplin dalam mengikuti jadwal latihan.

Namun, Villa 2000 seperti dituturkan Blitz Tarigan, memberikan wadah yang cukup lapang bagi para pemain mudanya yang kesulitan menembus klub-klub profesional. Mula-mula, anak-anak yang usianya di bawah 15 dipersiapkan untuk mengikuti Piala Suratin level usia tersebut. Selanjutnya dipersiapkan mengikuti Piala Suratin usia 17. Setelah itu, para pemain usia 19-21 bersiap untuk mengikuti Liga 3.

Jika para pemain sudah selesai belajar di Villa 2000 dan berjuang dalam seleksi sejumlah klub profesional dan ternyata mereka belum diterima klub tersebut, para pemain boleh kembali ke Villa 2000 selama mereka menghendaki untuk terus bermain sepakbola.

“Jadi pemain-pemain itu enggak perlu khawatir. Kalau mereka enggak dapat tim profesional, silakan mereka kembali ke Villa 2000. Kita akan bina lagi selagi mereka mau. Itu kalau di Villa 2000. Tapi kalau di SSB lain, saya tidak tahu. Apakah mereka mau seperti kita atau tidak,” ujarnya.

Dari ketiga kisah SSB tersebut, setidaknya menjelaskan bahwa keberadaan ratusan sekolah sepakbola di Indonesia kiranya belum mampu menjaring para pesepakbola muda yang handal secara optimal. Mereka menghadapi permasalahan yang sama: transisi usia dan masa pubertas yang membuat para siswanya beralih ke bidang lain.

Sementara para pemain yang berniat berkarier di sepakbola, kerap menghadapi jalan yang majal, baik persaingan yang sehat maupun sebaliknya, sehingga mereka kesulitan membuka pintu masa depannya.

Minim Kompetisi

Menurut Tommy Apriantono, pengajar ilmu keolahragaan (sports science) di Sekolah Farmasi ITB yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi PSSI Provinsi Jawa Barat, masalah utama dari banyaknya pemain sepakbola muda yang berhenti di tengah jalan adalah kurangnya kompetisi. Ia membandingkan dengan pola pendidikan sepakbola usia dini di Jepang. Di Negeri Matahari Terbit, dari Senin sampai Jumat, anak-anak sekolah sepakbola berlatih dan setiap Sabtu mereka berkompetisi sehingga anak-anak tidak jenuh.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa di sejumlah negara, misalnya Jepang dan Jerman, punya dua kompetisi: musim panas dan musim dingin. Dalam musim kompetisi tersebut, mereka setiap Sabtu bertanding selama tiga bulan. Juaranya akan dikirim ke tingkat nasional.

“Nah, sekarang di kita, misalkan kami di Asprov (Asosiasi Provinsi), mau bikin kompetisi itu butuh biaya, terkendala dana, sehingga anak-anak karena enggak ada kompetisi, akhirnya berhenti di tengah jalan. Kecuali yang orangtuanya cukup gila dengan sepakbola dan punya cita-cita anaknya ingin jadi pemain sepakbola. Dia [orangtua tersebut] sampai sibuk mengantarkan [anaknya] ke sana ke mari untuk ikut kompetisi, pindah-pindah. Dan kebanyakan [kompetisi] itu sifatnya festival, tidak permanen,” ujarnya kepada Tirto (6/7/2018).

Masih soal kompetisi, Tommy juga menyebutkan bahwa di Indonesia masih terjadi tumpang tindih pengelolaan kompetisi untuk usia dini. Antara Menpora dan PSSI masih jalan sendiri-sendiri. Kompetisi yang seharusnya dikelola oleh PSSI sebagai induk organisasi sepakbola tertinggi, dan pemerintah lewat Menpora mestinya mendukung dengan pengadaan dana dan infrastruktur, justru Menpora membuat sendiri kompetisi di luar PSSI.

“Kalau di luar negeri yang namanya Menpora itu bekerja sama dengan PSSI-nya. Japan Football Association (JFA) misalnya. Kompetisi di Jepang yang melaksanakannya ya JFA itu karena dia organisasi sepakbola, pemerintah membantu infrastruktur, membantu biaya, untuk wasit dan lain sebagainya. Di kita kan Menpora enggak mau kehilangan dananya, dikelola sendiri. Kan sekarang bikin kompetisi sendiri,” imbuhnya.

Baca juga artikel terkait PEMAIN SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Olahraga
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani