tirto.id - Setelah reformasi berjalan selama 20 tahun usai tumbangnya pemerintahan Orde Baru, dunia intelektual akademisi kampus Indonesia masih saja berada dalam tekanan politik dan pemodal dalam membuat kebijakan dan perumusan masalah
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman usai acara diskusi bertajuk “Dua Dekade Pasca Soeharto: Penak Jamane Sopo?” di Gedung A Fakultas Hukum Ruang 303, Universitas Airlangga Surabaya, Jumat (4/5/2018) siang.
“Situasi legitimasi di dalam proses pembaruan hukum dilakukan oleh akademisi tanpa memperhitungkan secara kuat serta memahami bahwa ada tekanan politik," ujar Herlambang.
Ia mencontohkan, ketika masa awal transisi Orde Baru ke reformasi, kebijakan perburuhan diwarnai dengan meliberalisasi relasi ketenagakerjaan melalui sistem outsourcing yang merupakan pesanan.
Herlambang menilai, pola-pola tersebut yang masih mempengaruhi desain tata negara di Indonesia yang hari ini bercorak neoliberal.
“Akumulasi modal juga terjadi di daerah. Lalu mereka menundukkan atau membeli akademisi untuk merawat kepentingan oligariki di tingkat daerah. Itu yang terjadi sekarang dan jumlahnya banyak karena terjadi di berbagai daerah. Menarik kita lihat bahwa peran akademisi takluk di hadapan korporasi.” ujar Herlambang.
Menurut dia, kalangan akademisi yang memanfaatkan situasi seperti ini dengan mengabdikan diri sebagai intelektual broker. Dalam catatan Herlambang, intelektual broker sudah tidak lagi menggunakan nalar secara baik sebagai akademisi, tetapi membiarkan ilmunya diperkosa untuk kepentingan penguasa maupun untuk menindas.“Tren semakin menguat ketika intelektual broker ini sekarang melekat ke polarisasi politik yang sedang terjadi sekarang. Tren semakin mengeras di tahun-tahun pemilu baik di daerah maupun pusat. Setelah itu biasanya ada dua pola lanjutan, terjerat korupsi dan terlibat eksploitasi sumber daya alam seperti UGM yang didemo warga Kendeng itu salah satunya.” papar Herlambang.
Di sisi lain, para akademisi yang kritis dan peduli terhadap ekologi dan hak-hak masyarakat justru mendapat serangan dari kelompok penguasa atau oligarki. Fenomena seperti ini semakin kuat terjadi yang menurut Herlambang karena faktor relasi modal kuasa dan politik.
Meski begitu, Herlambang melihat kondisi kampus dan akademisi di era reformasi masih lebih baik dibanding era Presiden Soeharto. Pasalnya, menurut dia, era Orde Baru tidak memberikan kebebasan akademis, birokrasi kampus yang tunduk di hadapan negara, mengontrol ideologi para akademisi, dan lainnya.
Diskusi bertajuk "Dua Dekade Pasca Soeharto: Penak Jamane Sopo?" diselenggarakan atas kerjasama Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum (HRLS) Universitas Airlangga dan Universitas Leiden Kantor Perwakilan Indonesia.
Selain Herlambang, hadir pula pembicara lain seperti Yanwar Pribadi, pengajar dan peneliti dari IAIN Sultan Hasanudin Banten, Abdul Wahid sejarawan UGM, dan Myrna A. Safitri dari Badan Restorasi Gambut, Pendiri Epistema Jakarta.
Penulis: Tony Firman
Editor: Alexander Haryanto