Menuju konten utama

Sejarawan: Pilkada DKI Tinggalkan Stigma Kebencian Atas Cina

Asvi memaparkan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sudah terjadi sejak lama, tepatnya pada peralihan kekuasaan tahun 1965, sejak itulah banyak kebijakan pemerintah yang turut mendiskriminasi orang-orang Cina, baik dari ekonomi politik dan budaya.

Sejarawan senior LIPI, Aswi Warman Adam.

tirto.id - Sejawaran LIPI Asvi Warman Adam mengatakan, buntut dari Pilkada DKI Jakarta menimbulkan stigma kebencian terhadap etnis Cina, padahal di awal tahun 2000, sudah ada perbaikan terhadap kebencian itu di Indonesia.

Ia juga memaparkan diskriminasi terhadap Tionghoa sudah terjadi sejak lama, tepatnya pada peralihan kekuasaan tahun 1965, sejak itulah banyak kebijakan pemerintah yang turut mendiskriminasi orang-orang Cina, baik dari ekonomi politik dan budaya.

“Ada yang membatasi mereka bersekolah dan masuk ke pemerintahan,” kata Asvi dalam diskusi peluncuran buku “Tionghoa dalam Keindonesiaan” yang digagas oleh Pusdema di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Jumat (28/4/2017).

Ia juga menceritakan diskriminasi yang dialami penyanyi legendaris, Chrisye yang menutup rapat identitasnya sebagai warga keturunan Tionghoa. Hal itu, kata Asvi, terjadi karena trauma masa lalunya.

Chrisye, kata Asvi, pernah dilempari batu yang disertai dengan teriakan “Cina”. Hal itulah yang membuat Chrisye menjadi trauma dan menutup rapat identitasnya sebagai warga keturunan Tionghoa.

Dalam kasus lain, Asvi juga menceritakan pengalaman seorang dokter bernama Sofian Tan di masa lalu, yang pernah empat kali tidak lulus ujian di satu mata kuliah. Sofian, kata dia, selalu disindir dengan kata “Cina” yang membuatnya tertekan saat mengikuti ujian sehingga tidak fokus mengerjakan soal.

Setelah tahun keempat, lanjut Asvi, Sofian memberanikan diri melaporkan kejadian itu ke Dekan Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara (USU), setelah mendapat penanganan serius barulah Sofian diluluskan.

Asvi mengatakan, melihat pola diskriminasi itulah ia pada akhirnya di tahun 2002 mulai mengusulkan nama John lie - sebagai keturunan Tionghoa - untuk menjadi pahlawan Indonesia. Puncaknya pemerintah mulai memberi gelar pahlawan kepada John Lie pada tahun 2009. Hal itu juga sekaligus membuktikan bahwa ada masyarakat keturunan Tionghoa yang pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan.

Salah satu peserta diskusi, Bruder Valen, juga sempat menceritakan pengalamannya saat menjadi pengajar di dua kota Kalimantan Barat, yakni Pontianak dan Singkawang. Ia mengaku terkejut saat melihat situasi etnis Tionghoa di dua daerah itu.

“Ketika masuk ke Kalimantan, kok ada ya orang Tionghoa yang jual sayur, padahal di NTT tidak ada, mereka [etnis Cina] di toko-toko,” kata Valen.

Sejak saat itu, kata dia, cara pandangnya yang semula melihat orang-orang Cina sebagai kelas menegah ke atas berubah total. “Ternyata ada juga orang Tionghoa yang menengah ke bawah,” kata dia.

Sebagai pengajar, Valen bahkan pernah menceritakan pengalamannya menjemput orang-orang keturunan Tionghoa yang tinggal di desa-desa agar mau bersekolah, karena menurutnya, hanya dengan pendidikanlah mereka bisa keluar dari persoalannya.

Ia pun mengajak anak-anak itu untuk mengikuti berbagai kegiatan positif agar mereka bisa lebih percaya diri. “Saya ajak mereka main basket dan drumband,” tegasnya.

Menanggapi hal itu, Asvi mengatakan bahwa keturunan Cina yang level ekonominya berada di kelas menengah ke bawah tidak hanya terjadi di Kalimantan, tetapi juga terjadi di Tangerang. Mereka, kata dia, disebut dengan “Cina Benteng”.

“Mereka menjadi korban penggurusan bandara pada tahun 1980,” kata Asvi.

Salah satu peserta diskusi lain, Rendra, staf dari penerbitan buku Galang Press, ikut mempertanyakan sikap rezim Orde Baru terhadap warga Tionghoa.

“Di satu sisi rezim Orde Baru melakukan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, sementara di sisi lain mereka menjadikan sebagian elitnya untuk dijadikan tonggak ekonominya,” kata Rendra.

Menjawab pertanyaan itu, Asvi mengatakan di zaman Orde Baru, orang-orang Cina tidak bisa menjadi militer, pegawai negeri sipil (PNS) dan mengenyam pendidikan di sekolah negeri, tetapi para elitnya justru diperas oleh penguasa. “Justru diperas dijadikan ATM oleh penguasa,” kata Asvi.

Dalam kasus lain, Asvi menceritakan satu kasus di Surabaya, dimana orang keturunan Tionghoa menyiksa pembantunya, tetapi dalam pemberitaan media yang justru ditonjolkan adalah warga keturunannya.

Media itu, kata dia, sering membuat framing berita yang memojokkan etnis Tionghoa, alhasil para pengusaha pun memboikot media itu selama dua minggu, sejak saat itu, media itu pun merubah kebijakannya.

Padahal, kata dia, setiap kali ada atlet bulu tangkis keturunan Tionghoa mewakili Indonesia yang berhasil meraih medali emas, mereka tidak pernah disebut keturunan Cina, Tionghoa, tetapi disebut sebagai orang asli Indonesia yang mengharumkan nama bangsa.

“Ketika ada orang Tionghoa yang menjadi pemain bulu tangkis dapat medali emas kita bangga, salah satunya Rudi Hartono,” kata dia.

Sementara itu, Sejarawan sekaligus pengajar di Universitas Sanata Dharma, Baskara T. Wardaya SJ mengatakan bahwa John Lie adalah salah satu dari sekian warga keturunan Tionghoa yang berjasa memperjuangkan kemerdekaan.

Baskara bahkan sempat berseloroh, jika tidak ada Cina, mungkin saja masyarakat saat ini tidak bisa merasakan berbagai jenis kuliner asal Cina. “Mungkin kalau tidak ada Cina, tidak ada bakso, bakpao, bakmi,” kata Baskara disambut gelak tawa peserta.

Baca juga artikel terkait PILGUB DKI JAKARTA 2017 atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto