tirto.id - Tunjangan Hari Raya atau THR merupakan tunjangan khusus yang diberikan pemberi kerja kepada pekerja jelang hari raya keagamaan. Konsep pemberian THR nyatanya sudah dikenal di Indonesia sejak lama.
Sejarah mencatat bahwa istilah THR sudah dikenal di Indonesia selama lebih dari 70 tahun. Tentu ada makna penting di balik pemberian THR kepada pekerja sehingga tradisi pemberian THR bisa bertahan lama hingga saat ini.
THR adalah salah satu hak pekerja berupa upah tambahan yang diberikan jelang hari raya keagamaan. THR diberikan kepada karyawan sebagai bentuk penghargaan atas kinerja mereka selama setahun.
Pemberian THR bertujuan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi karyawan jelang hari raya. THR juga dikenal sebagai gaji ke-13.
Saat ini pemberian THR diatur oleh Pemerintah dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2024.
Sejarah THR di Indonesia
Menurut Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) istilah THR sudah ada sejak tahun 1950-an. Istilah ini diperkenalkan di era kepemimpinan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo.
Sukiman menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia pada 27 April 1951 sampai 3 April 1952. Kala itu, Indonesia baru terlibat perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) menjadi sebuah negara serikat atau Republik Indonesia Serikat (RIS).
Salah satu program kerja Kabinet Sukiman adalah meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri. Program ini direalisasikan dengan pemberian tunjangan khusus bagi para aparatur negara jelang hari raya.
Mengutip RRI, hingga tahun 1994, tunjangan tersebut dikenal sebagai "Hadiah Lebaran." Tunjangan inilah yang kemudian dikenal sebagai THR di kemudian hari.
Besaran THR pertama untuk pegawai negeri dari pemerintah adalah sekitar Rp200 atau 17,5 dolar AS. Jika dikonversikan ke nilai rupiah saat ini, besaran THR pertama itu sekitar Rp1,1 juta sampai Rp1,75 juta.
Saat itu kondisi perekonomian negara cukup stabil sehingga bisa memberikan THR ke seluruh pegawai negeri. Sayangnya, terjadi kesenjangan sosial akibat pemberian THR tersebut.
Pasalnya, para pekerja swasta yang ikut serta dalam membangkitkan perekonomian nasional tidak memperoleh tunjangan yang sama. Hal ini memicu protes dari serikat buruh untuk memperoleh hak yang sama seperti pegawai negeri.
Hal ini menyebabkan peristiwa mogok kerja oleh para buruh pada 13 Februari 1952. Para buruh menuntut agar pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengatur pemberian THR tak hanya kepada pegawai negeri, tetapi juga swasta.
Beruntung gelombang protes tersebut bisa diredam dan Pemerintah Indonesia saat itu meminta perusahaan untuk memberikan THR. Sayangnya, penetapan peraturan resmi terkait THR baru bisa berlangsung beberapa tahun setelahnya, bahkan setelah kabinet berganti.
Peraturan mengenai THR akhirnya muncul setelah Orde Baru. Hal ini menyusul ditetapkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja. Berkat peraturan ini THR secara resmi menjadi hak bagi seluruh buruh di perusahaan.
Selanjutnya, aturan mengenai THR disempurnakan seiring dengan terbitnya Undang-undang (UU) Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan UU ini, para pegawai yang sudah bekerja lebih dari 3 bulan wajib mendapatkan tunjangan.
Pada 2016, pemerintah menerbitkan Permenaker Nomor 16 Tahun 2016. Berdasarkan Permenaker itu, pemerintah menetapkan bahwa THR wajib diberikan selambat-lambatnya 7 hari sebelum hari raya keagamaan.
Makna Tunjangan Hari Raya (THR)
Jafar Suryomenggolo dalam Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015) menyebut bahwa THR awalnya merupakan upaya pemerintah untuk meredam militansi gerakan buruh. Upaya ini dilakukan dengan mengakui THR sebagai hak ekonomi buruh.
Kendati demikian, makna THR tidak hanya sebatas hak atau gaji ke-13 untuk pegawai. Seiring berjalannya waktu banyak pihak yang memahami bahwa THR adalah bentuk apresiasi dari pemberi kerja kepada buruh atas kontribusinya.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, memeberi atau mengirim THR sekaligus menjadi bentuk hadiah yang dapat memotivasi pekerja agar bekerja lebih baik dari sebelumnya. Pemberian THR juga memberi kesempatan bagi para pegawai kemampuan untuk mempersiapkan diri merayakan hari raya.
Berkat THR, daya beli pegawai meningkat sehingga bisa merayakan hari raya keagamaan dengan layak bersama keluarga.
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Yulaika Ramadhani