Menuju konten utama
Mozaik

Sejarah Rekrutmen dan Diskriminasi Usia Kerja

Rekrutmen pekerja di era modern sebetulnya lebih terbuka karena dibantu oleh perkembangan teknologi. Namun, diskriminasi usia (ageisme) justru membayangi.

Sejarah Rekrutmen dan Diskriminasi Usia Kerja
Header Mozaik Sejarah Rekrutmen dan Diskriminasi Kerja. tirto.id/Tino

tirto.id - Tepat awal tahun ini, Wira menginjak usia 29 tahun, usia yang seharusnya menjadi gerbang kesuksesan bagi banyak orang. Namun, bagi Wira, angka itu justru menjadi momok yang menakutkan. Ia merasa seperti berlari di tempat, terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Sudah berbulan-bulan Wira mencari pekerjaan, namun selalu menemui jalan buntu.

Wira memiliki keahlian yang mumpuni di bidang pemasaran. Pengalamannya sebagai sales di beberapa perusahaan properti pun tak bisa dibilang sedikit. Ia selalu berhasil melampaui target penjualan, bahkan beberapa kali mendapatkan penghargaan sebagai sales terbaik di kantor terakhirnya di kawasan GDC, Depok.

Sejak menganggur akibat pandemi Covid-19, Wira mulai mempelajari digital marketing secara otodidak. Ia membaca artikel, menonton video tutorial, dan mengikuti forum-forum online. Ia bahkan mengambil beberapa kursus daring untuk memperdalam pengetahuannya.

Kini kesehariannya ialah menawarkan jasa digital marketing secara freelance. Awalnya hanya kepada teman dan kenalannya, namun dari mulut ke mulut, beberapa orang yang menggunakan jasanya.

“Mau freelance atau pegawai tetap, persamaannya selalu ada jenuh, Kang,” ujarnya saat dihubungi via WhatsApp.

Atas restu istrinya, belakangan, ia mencoba kembali melamar pekerjaan sana-sini. Namun, satu hal yang selalu menghalanginya: usia. Hampir semua lowongan pekerjaan yang ia temui mencantumkan syarat usia maksimal, termasuk kantor lamanya. Sebuah batasan yang terasa begitu kejam bagi Wira. Ia merasa seperti didiskriminasi hanya karena usianya yang dianggap terlalu tua.

“Kenapa usia 25 tahun? Apa setelah usia itu orang langsung kehilangan kemampuan dan pengalamannya?” gerutu Wira, sembari mengirim lampiran yang menampilkan puluhan iklan lowongan pekerjaan dengan syarat usia yang sama.

Ia yang dulu penuh semangat dan optimisme, kerap dirundung keraguan. Ia mulai mempertanyakan kemampuannya sendiri. Apakah ia memang tidak cukup baik? Apakah pengalamannya selama ini tidak berarti apa-apa?

Peralihan Menuju Pendekatan yang Lebih Terbuka

“Sejarah dari apa yang sekarang kita anggap sebagai rekrutmen [modern] baru berusia sekitar 40 tahun,” ujar Sara L. Rynes dkk dalam The Oxford Handbook of Recruitment(2014:335).

Jika kita menengok ke masa lampau, rekrutmen dulunya merupakan proses yang sangat terstruktur dan sering kali dikontrol oleh otoritas tertentu, seperti negara atau kerajaan.

Rekrutmen merujuk pada proses menemukan dan merekrut kandidat yang sesuai untuk lowongan pekerjaan. Istilah ini berasal dari kata kerja Latin “recruere”, yang berarti memperbarui atau memperkuat.

Di zaman kuno antara 3000 SM hingga 500 SM, proses rekrutmen berdasarkan garapan proyek dan rekomendasi dari orang-orang terdekat. Beberapa yang paling menonjol di era ini ialah dari Mesir, Lembah Indus, Mesopotamia, dan Cina Kuno.

Mengingat bahwa masyarakat di masa itu masih sangat bergantung pada hubungan antar individu, status sosial, dan bahkan keturunan, rekrutmen lebih banyak terjadi dari mulut ke mulut. Jadi, bisa dibilang proses ini sangat terkendali--terkendali oleh kekuatan-kekuatan dan struktur-struktur sosial yang ada pada saat itu.

Dalam masyarakat agraris Mesopotomia, tenaga kerja dianggap sebagai upaya kolektif, bukan sebagai barang yang bisa diperjualbelikan. Mereka berasal dari desa setempat untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, khususnya membangun sistem irigasi.

“Rawa mundur dari Mesopotamia Bawah, meninggalkan permukiman sekarang dikelilingi oleh tanah yang perlu diirigasi, membutuhkan pekerjaan tambahan, dan mungkin koordinasi yang lebih besar,” ujar Hervé Reculeau, profesor Asyriologi di Universitas Chicago seperti dilansir history.com.

Pihak kuil kemudian merekrut tenaga kerja luar ketika ada proyek besar seperti pembangunan monumen, kuil, maupun patung. Penyaringan sesuai keahlian mulai diperkenalkan di masa ini, termasuk pencatatan jam kerja, upah, dan hak-hak pekerja.

Dokumen serupa juga ditemukan di era Mesir Kuno saat pembangunan piramida yang tercatat dalam papirus.

Proses rekrutmen yang terkontrol ini juga umum muncul di lingkungan kerajaan. Para raja dan bangsawan akan mempekerjakan orang-orang berdasarkan kesetiaan dan hubungan pribadi, bukan berdasarkan keterampilan atau keahlian.

Ilustrasi Rekrutmen

Ilustrasi Rekrutmen. foto/istockphoto

Misalnya, rakyat biasanya diwajibkan untuk mengikuti seleksi tertentu untuk menjadi bagian dari pasukan militer atau tenaga kerja kerajaan. Proses ini umumnya bersifat formal dan sangat terpusat. Pilihan kandidat sering kali didasarkan pada kebutuhan spesifik, seperti kekuatan fisik untuk militer atau keterampilan tertentu untuk pekerjaan di istana.

Selain itu, sistem hierarki sosial juga memengaruhi proses rekrutmen di masa itu. Orang-orang dari kelas sosial tertentu sering kali memiliki akses lebih besar terhadap peluang kerja dibandingkan mereka yang berada di lapisan masyarakat bawah.

Hanya segelintir orang yang dianggap layak untuk mengisi posisi-posisi strategis, dan sering kali mengabaikan potensi orang lain.

Seiring waktu, terutama ketika memasuki abad pertengahan dan menuju era industri, proses rekrutmen mulai mengalami perubahan, di mana sebagian individu ataupun instansi sering kali mempekerjakan para budak. Majikan dan budak memiliki hubungan timbal balik sehingga memengaruhi proses rekrutmen saat itu.

Masa ini, proses rekrutmen dipengaruhi oleh sistem feodal, terutama dalam bidang kerajinan. Para pengrajin berkembang melalui beberapa tahapan sesuai keahlian, dan pasar tenaga kerja berkembang karena urbanisasi di periode-periode selanjutnya.

Memasuki revolusi industri, banyak perusahaan, terutama di sektor industri, mulai menerapkan teknik-teknik yang lebih struktur. Produksi berpindah ke pabrik, menciptakan kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah besar.

Misalnya, pengumuman lowongan kerja melalui pengumuman publik, surat kabar, atau papan pengumuman menjadi hal biasa. Di sinilah prosesnya mulai lebih terbuka, meskipun tidak sepenuhnya dapat diakses semua orang.

Banyak pabrik melakukan pemeriksaan fisik untuk memastikan bahwa pekerja mampu melakukan pekerjaan yang diperlukan. Ada juga sistem perekrutan yang berasal dari mulut ke mulut ataupun hubungan keluarga dan teman untuk pekerjaan manual seperti pembantu keluarga atau menjaga toko kelontong.

Setelah revolusi industri, perusahaan-perusahaan swasta mulai memainkan peran besar dalam proses rekrutmen, menggantikan dominasi pemerintah atau otoritas kerajaan. Pada masa ini, rekrutmen mulai melibatkan proses yang lebih sistematis seperti wawancara dan pengujian keterampilan.

Namun, tantangan lain muncul dalam bentuk diskriminasi yang mengakar. Kita tahu bahwa banyak faktor yang menjadi penghalang—seperti gender, ras, dan kelas sosial. Ketika memasuki era revolusi industri, banyak pekerja, terutama perempuan dan kelompok minoritas, masih terpinggirkan dalam proses ini.

Inklusi dan Teknologi

Memasuki abad ke-20 dan 21, proses rekrutmen mulai bergeser secara dramatis, berkat kemajuan teknologi. Tahun 1980-an dan 1990-an kita menyaksikan digitalisasi yang memperlancar proses perekrutan melalui komputer dan internet.

Internet, antara lain, telah merevolusi cara kita berinteraksi dan berkomunikasi. Lewat Netscape Navigator, browser populer pada saat itu, iklan lowongan kerja yang dulunya hanya disebarluaskan melalui surat kabar dan pamflet, kini dapat diakses secara online oleh jutaan orang di seluruh dunia.

Kita sekarang memiliki platform seperti LinkedIn, JobStreet, dan berbagai aplikasi pencari kerja lainnya, yang membuat proses ini jauh lebih mudah dan cepat. Proses rekrutmen pun nyaris sama di berbagai belahan dunia: pencari kerja mengirim lamaran, diwawancara, tes keterampilan, dan diberitahu diterima atau tidak.

Selain itu, inklusi mulai menjadi salah satu pilar utama dalam proses rekrutmen saat ini. Banyak organisasi menyadari pentingnya memiliki tim yang beragam, yang mencakup latar belakang berbeda, mulai pendidikan, pengalaman, dan karakter individu.

Keterlibatan individu dari berbagai ras, gender, usia, dan latar belakang pendidikan bukan lagi sekadar tren, tetapi menjadi kebutuhan strategis bagi perusahaan. Ini juga membantu menciptakan budaya kerja yang lebih baik, inovatif, dan produktif.

Para pengusaha juga membentuk departemen sumber daya manusia untuk mengelola proses rekrutmen secara lebih terencana. Dengan begitu banyaknya pelamar yang menggunakan platform digital, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan menjadi semakin ketat.

Kembali ke teknologi, banyak perusahaan kini menggunakan alat berbasis AI (Artificial Intelligence) dan machine learning untuk meningkatkan efisiensi proses rekrutmen. Dari analisis resume otomatis hingga chatbot yang membantu menjawab pertanyaan kandidat, inovasi ini tidak hanya mempercepat proses, tetapi juga meningkatkan akurasi dalam memilih kandidat yang tepat.

Namun, di tengah semua kemajuan ini, ada yang harus tetap diwaspadai. Terdapat risiko bahwa pengunaan teknologi dapat menciptakan bias baru atau mengabaikan elemen manusia yang penting dalam rekrutmen. Misalnya, algoritma yang digunakan dalam pemilihan dapat tidak sengaja mengesampingkan kandidat-kandidat yang berpotensi hanya karena mereka tidak memenuhi kriteria tertentu.

Sebaliknya, di balik tantangan tersebut terdapat peluang besar. Perusahaan kini memiliki akses ke basis data kandidat yang jauh lebih luas daripada sebelumnya. Di sisi lain, pencari kerja juga memiliki lebih banyak pilihan untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahlian mereka.

Ilustrasi Rekrutmen

Ilustrasi Rekrutmen. foto/istockphoto

Diskriminasi Usia

Diskriminasi usia atau ageisme memengaruhi orang-orang dari segala usia dan dapat menyebabkan pengucilan, komentar negatif, hilangnya kesempatan, dan diskriminasi di tempat kerja.

Istilah tersebut pertama kali digunakan Robert N. Butler, seorang gerontologis dari Colombia University dalam publikasinya berjudul Why Survive? Being Old In America (1975). Buku tersebut mendapatkan penghargaan Pulitzer Prize for General Nonfiction.

Ageisme memiliki implikasi pada ekonomi dan kesehatan yang menyebabkan kesenjangan gaji, kematian dini, masalah kesehatan mental, dan berkurangnya akses ke pendidikan dan kesempatan kerja.

Pekerja senior sering dianggap sulit beradaptasi dengan teknologi, sementara pekerja muda dihadapi dengan stereotipe malas dan kurang sopan. Perbedaan aturan dan diskriminasi ini terjadi akibat perbedaan demografi dan jumlah penduduk.

Di negara maju, pekerjaan domestik sulit diisi oleh penduduk asli yang berpendidikan tinggi, sehingga imigran dari segala usia dengan mudah menempati posisi tersebut.

Seturut Samantha Szczur dan Alyssa Obradovich dalam Communication and Organizational Changemaking for Diversity, Equity, and Inclusion (2024), Amerika Serikat sedang mengalami pergeseran demografi yang serius.

Keduanya menambahkan bahwa pada tahun 2017, Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan jumlah dan persentase pekerja yang lebih tua telah meningkat secara bertahap selama dua dekade terakhir. Misalnya, pada tahun 2017, 32 persen dari mereka yang berusia 65-69 tahun bekerja dan 19 persen dari mereka yang berusia 70-74 tahun juga bekerja.

Padahal Undang-Undang di berbagai negara, termasuk Indonesia, melarang diskriminasi dalam pekerjaan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan asal usul keturunan.

Di AS, meski memiliki Undang-Undang Diskriminasi Usia dalam Ketenagakerjaan (ADEA) dan Undang-Undang Hak Sipil 1964—direvisi tahun 1972--untuk melindungi pekerja berusia 40 tahun ke atas, banyak kasus diskriminasi masih terjadi.

Sementara di Australia, karyawan yang lebih tua sering dianggap kurang mampu beradaptasi dengan teknologi baru. Sehingga mereka terpinggirkan dalam promosi atau pelatihan.

Ageisme juga masih ditemukan di Jepang dan Korea, banyak pekerja lansia di Jepang terpaksa menerima pekerjaan sementara dengan gaji rendah. Sedangkan di Korea Selatan, pekerja yang lebih tua sering kali didorong untuk pensiun lebih awal, meskipun mereka masih memiliki kemampuan dan keinginan untuk bekerja.

Dalam sebuah laporan terbaru, MyPerfectResume melakukan survei kepada seribu pekerja yang berusia di atas 40 tahun tentang pengalaman bias mereka di tempat kerja. Hasilnya 99 persen merasa ada diskriminasi usia di tempat kerja dan merasa tertekan untuk menyembunyikan umur mereka.

Survei juga menemukan 86 persen responden percaya bahwa pekerja yang lebih tua menjadi target perundungan di tempat kerja. Stereotipe generasi juga memengaruhi pekerja muda, dengan 80 persen pekerja Gen Z mengatakan stereotipe negatif telah berdampak pada karier mereka, termasuk mendapatkan kenaikan gaji dan promosi. Stereotipe seperti “kemalasan” dan “kurangnya etika kerja” anak muda kerap menciptakan ketegangan antara generasi, mengganggu komunikasi di tempat kerja.

Di Indonesia, bukan hanya pencari kerja yang didiskriminasi usia maksimal, para pensiunan pun dibatasi untuk berkarya, hanya sampai usia 59 tahun.

Baca juga artikel terkait REKRUTMEN atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi