tirto.id - Proses masuknya Islam ke Indonesia melewati sejarah panjang. Menurut sejumlah catatan, agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia—atau Nusantara dalam konteks saat itu—pada abad ke-7 atau sekitar tahun 700 Masehi.
Ada banyak teori yang menyebutkan dari mana Islam menyebar dan berkembang di Nusantara berasal. Pertama, yakni Teori Arab. Menurut teori yang didukung J.C. van Leur dan Buya Hamka ini, masuknya Islam ke Nusantara berasal dari tanah Arab, yakni Mekah.
Dasar dari teori tersebut adalah karena Arab merupakan asal dari agama Islam, dan menurut sejumlah catatan naskah Cina, pada tahun 635 Masehi sekelompok Bangsa Arab telah berdagang dan bermukim di pesisir barat Pulau Sumatra.
Kedua, adalah Teori Persia, yang berpendapat bahwa masuknya Islam ke Nusantara dibawa oleh orang-orang Persia atau Iran. Fakta yang menjadi landasan teori ini adalah karena adanya kesamaan antara budaya Islam Nusantara dan Islam Persia, misalnya dalam temuan kaligrafi-kaligrafi di batu nisan dan ritual keagamaan.
Sementara teori yang ketiga adalah Teori Cina. Teori ini menyebutkan bahwa ajaran agama Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Cina. Islam telah berkembang di Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 Masehi).
Relasi antara orang-orang Islam Arab dengan orang-orang di Cina, sebagaimana ditulis Jean A. Berlie dalam Islam in Cina (2004), terjadi pada tahun 713 Masehi. Masuknya Islam ke nusantara pun juga diyakini bersamaan dengan banyaknya migrasi orang-orang Cina muslim ke Asia Tenggara.
Selain tiga teori tersebut, adalah teori lain yang menyebutkan bahwa agama Islam yang pertama kali masuk ke Nusantara berasal dari Tanah India, tepatnya Gujarat. Teori ini disebut sebagai ‘Teori Gujarat’.
Sejarah Teori Gujarat, Bukti, dan Tokoh Pendukungnya
Sesuai namanya, Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 Hijriah, atau abad ke-13 Masehi. Gujarat terletak di India bagian barat dan berdekatan dengan Laut Arab.
Sarjana Belanda J. Pijnapel dari Universitas Leiden adalah orang pertama yang mengemukakan teori ini pada abad ke-19. Menurut Pijnapel, orang-orang Arab bermahzab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriah (abad ke-7 Masehi). Namun, yang menyebarkan Islam ke Indonesia, menurut Pijnapel, bukan orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Nusantara.
Kemudian, dalam perkembangannya, pendapat Pijnapel diamini dan disebarkan oleh orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Dalam pandangannya, yang termuat dalam Revue de l'histoire des religions (1894), Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India.
Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Menurut Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di depan namanya.
Selain Hurgronje, pada tahun 1912, giliran J.P. Moquetta memberikan afirmasi atas Teori Gujarat dengan bukti sebuah batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh.
Menurut Moquetta, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat.
Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafi’i yang dianut oleh masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.
Pendapat Moquetta tersebut mendapat dukungan dari para sarjana lain seperti: Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall. Mereka ini sependapat dengan Moquette, dalam hal Gujarat sebagai tempat datangnya Islam di Nusantara, tentu saja dengan beberapa tambahan.
Kendati demikian, Teori Gujarat tak lepas dari kritik. Argumentasi Moquette, misalnya, ditentang oleh S.Q. Fatimi. Ia berpendapat, mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk yang ada di makam Maulana Malik al-Saleh, dengan Gujarat adalah keliru.
Menurut penelitian Fatimi, yang berjudul Islam Comes to Malaysia (2009), bentuk dan gaya batu nisan Malik la-Saleh berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang ditemukan Nusantara. Fatimi berpendapat bentuk dan gaya batu nisan itu justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Oleh karena itu, Fatimi menyimpulkan, seluruh batu nisan itu hampir bisa dipastikan berasal dari Bengal.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Addi M Idhom