tirto.id - Islam masuk ke Indonesia diyakini melalui perantaraan para pedagang muslim yang pelayarannya melintasi berbagai pulau di Nusantara. Mereka berasal dari berbagai wilayah, tak hanya Arab.
Pada abad 5 masehi, perdagangan dan pelayaran antarbenua sudah ramai. Para pedagang muslim yang singgah di Indonesia tidak hanya berdagang semata, tetapi juga turut mendakwahkan ajaran Islam.
Meski begitu, sejarah awal masuknya Islam ke nusantara begitu kompleks sehingga memunculkan banyak teori. Sejumlah teori itu memuat penjelasan dari mana Islam masuk ke Indonesia.
Setidaknya ada 6 teori yang muncul. Keenamnya masing-masing mengidentifikasi asal pendakwah yang merintis penyebaran Islam ke Indonesia.
Siapa saja tokoh yang mencetuskan 6 teori tersebut? Berikut ini penjelasan mengenai 6 teori itu dan tokoh-tokoh ahli pendukungnya.
1. Teori Persia
Salah satu teori menyebutkan bahwa Islam masuk Indonesia dibawa oleh orang-orang dari Persia, termasuk pengikut Syiah, pada awalnya. Teori ini dinamakan Teori Persia.
Mengutip Modul Sejarah Indonesia Kelas X terbitan dari Kemdikbud, pencetus dan pendukung Teori Persia adalah Umar Amir Husen dan Hoesein Djajadiningrat.
Keduanya meyakini orang-orang Persia sudah masuk Indonesia di abad 7 masehi. Bukti pendukung sebagai penguat teori ini adalah:
- Adanya tradisi peringatan 10 Muharam atau Hari Asyura di sejumlah daerah. Di Sumatera Barat peringatan ini dinamakan Tabuik (Tabut)m dan di Jawa ada pembuatan bubur Syuro.
- Memiliki kesamaan ajaran sufi
- Pemakaian istilah persia dalam mengeja huruf arab
- Adanya kesamaan pada seni kaligrafi di beberapa batu nisan
- Islam aliran Syiah khas Iran marak di awal masuknya Islam di Indonesia
- Terdapat perkampungan Leren (Leran) di Giri, daerah Gresik, Jawa Timur.
Pada mulanya, Teori Persia diterima sebagian ahli sejarah. Namun, teori ini mempunyai kelemahan yaitu di abad 7 masehi, kekuasaan Islam di Timur Tengah masih dipegang Dinasti Umayyah yang menguasai Damaskus, Baghdad, dan Jazirah Arab.
Fakta tersebut menyanggah bahwa tidak mungkin pemuka Persia bisa menyokong dakwah Islam ke Nusantara secara besar-besaran.
2. Teori Gujarat
Teori Gujarat menyatakan masuknya Islam ke nusantara berasal dari kedatangan kaum saudagar dari Gujarat (India) lewat Selat Malaka.
Mereka melakukan kontak dengan masyarakat lokal di bagian barat Nusantara yang kemudian memunculkan Kesultanan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Bukti yang ditemukan salah satunya makam Malik As-Saleh (marah Situ) dengan angka 1297. Dia adalah pendiri Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Ada kemiripan antara nisan makam itu dengan corak batu nisan di Gujarat.
Bukti lain dengan alasan serupa yaitu ditemukan pada nisan milik pendakwah Walisongo, Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), dan nisan di pesisir utara Sumatera bertulis 17 Dzulhijjah 831 H atau 27 September 1428.
Para tokoh pendukung teori Gujarat adalah G.W.J Drewes yang dikembangkan Snouck Hurgronje, J. Pijnapel, W.F. Stutterheim, J.P. Moquette, dan Sucipto Wirjosuparto.
3. Teori Cina
Menurut Teori Cina, Islam masuk nusantara bersamaan dengan migrasi orang-orang Cina menuju Asia Tenggara pada abad 9 masehi. Mereka banyak yang masuk ke wilayah Sumatera, terutama bagian selatan Palembang, di tahun 879.
Sementara itu, Islam di Cina sudah berkembang sejak masa Dinasti Tang (618-905 masehi) yang dirintis oleh Saad bin Abi Waqqash pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan. Karena itu, ketika terjadi migrasi penduduk dari Cina ke Asia Tenggara pada Abad 9, banyak muslim dari daratan itu turut bermukim di nusantara dan menyebarkan agama Islam.
Bukti pendukungnya antara lain banyak orang Islam keturunan Cina yang memiliki pengaruh besar di Kesultanan Demak.
Bukti lainnya, Raden Patah, pendiri kesultanan tersebut, merupakan putra dari seorang muslimah asli Cina. Raden Patah memiliki nama Cina, Jin Bun. Selain itu, ada masjid tua beraksitektur China di Jawa.
Teori China ini didukung oleh sejumlah ahli, di antaranya Slamet Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby.
4. Teori Arab
Pendukung Teori Arab adalah J.C. van Leur, Anthony H. Johns, T.W. Arnold, hingga Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka. Dalam teori ini dikemukakan bahwa Islam masuk Nusantara dibawa orang-orang Timur Tengah. Penyebarannya sudah terjadi sejak abad 7 Masehi.
Bukti pendukung teori Arab yang dijelaskan Buya Hamka dalam buku Sejarah Umat Islam (1997) yaitu, ditemukannya naskah kuno yang menyebut bang Arab telah bermukim di sekitar Pantai Barat Sumatera pada tahun 625 M. Selain itu, ditemukan pula nisan kuno bertuliskan Syekh Rukunuddin di tempat itu bertahun 672 M.
Sementara itu, T.W. Arnold memberi dukungan atas bukti dari Buya Hamka. Arnold mengatakan jika kaum saudagar Arab cukup dominan untuk melakukan perdagangan di Nusantara.
5. Teori India
Teori ini dikemukakan oleh Thomas W. Arnold dan Marrison yang menemukan bukti bahwa Islam pertama kali masuk Indonesia melalui Coromandel dan Malabar (India).
Teori ini muncul untuk membantah anggapan bahwa Gujarat menjadi sumber penyebaran Islam ke nusantara. Alasannya, Gujarat belum menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan wilayah Timur Tengah dengan kepulauan Nusantara.
Marrison berpendapat bahwa meskipun batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi berasal dari Gujarat atau Bengal, itu tidak lantas berarti Islam juga datang berasal dari tempat batu nisan itu diproduksi.
Dia mencatat, saat sultan pertama Samudera Pasai wafat tahun 1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setahun kemudian (699/1298) Cambay, Gujarat dikuasai penguasa muslim.
Maka, dia mendukung teori bahwa Islam di Nusantara tidak dari Gujarat, melainkan dibawa oleh pendakwah Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.
6. Teori Bangladesh
Dikenal pula dengan teori Benggali, teori Bangladesh dikemukakan oleh S. Q. Fatimi. Teori tersebut menunjukkan sejumlah bukti bahwa Islam masuk ke Nusantara dari Benggali.
Alasannya, banyak tokoh terkemuka di Samudera Pasai adalah orang-orang keturunan Benggali. Di teori ini, Islam diyakini mulau berkembang di Nusantara sejak abad ke-11 M.
Fatimi menilai anggapat yang mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk makam Maulana Malik al-Saleh, dengan Gujarat adalah keliru. Penelitiannya menyimpulkan bahwa bentuk dan gaya batu nisan Malik al-Saleh berbeda sepenuhnya dengan batu nisan di Gujarat maupun daerah lain di Indonesia. Batu-batu nisan itu justru lebih mirip dengan batu nisan di kawasan Benggali.
Namun, teori ini mengabaikan fakta bahwa ada perbedaan mazhab fikih yang dianut kaum muslim
Nusantara (Syafi’i) dan umat Islam di Bengal (Hanafi).
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Addi M Idhom