tirto.id - Sebelum era antibiotik dan vaksin, dunia medis berada di titik abu-abu. Para dokter berusaha menyembuhkan wabah meski hanya punya sedikit informasi tentang penyakit atau tindakan medis yang mereka berikan. Begitulah keadaan di seluruh dunia pada abad ke-18.
Saat itu sebuah penyakit menyebar cepat tak mengenal kasta. Orang yang tertular memiliki gejala luka di bagian genital, mengeluarkan nanah, dan sakit saat buang air atau penetrasi. Tak ada yang tahu pasti dari mana penyakit itu berasal. Tapi banyak dari mereka meyakini penyebarannya dibawa orang-orang Perancis.
Seorang dokter bedah bernama William Bromfeild kemudian menginisiasi rumah sakit khusus untuk menangani penyakit tersebut. Maka didirikanlah London Lock Hospital pada 31 Januari 1747, tepat hari ini 273 tahun lalu, dan langsung merawat 300 pasien dengan penyakit sifilis dan gonore.
Sejarah rumah sakit ini berawal dari penurunan jumlah penderita kusta mulai abad ke-15. Mulanya penyakit ini menjadi epidemi di Inggris, sehingga banyak rumah sakit dibangun khusus untuk kusta dan diberi nama “Lock”. Kata tersebut diambil dari bahasa Perancis, La Loque, yang merujuk kepada kain atau potongan linen untuk membebat bagian tubuh yang terkena kusta.
Pada abad ke-17 kusta tuntas ditangani. Tapi nama “Lock” tetap dipakai di beberapa rumah sakit, seperti London Lock Hospital. Usai menghadapi kusta, Inggris harus menerima wabah lain yang tak kalah menghebohkan dalam wujud penyakit kelamin. Melihat prevalensinya kian mengkhawatirkan, Bromfeild kemudian membentuk komite penanganan penyakit tersebut.
Mereka membeli sebuah rumah yang berdekatan dengan salah satu taman terbesar di London, Hyde Park Corner. Hunian itu kemudian diubah menjadi rumah sakit yang dilengkapi dengan 30 buah ranjang, dokter, perawat, apoteker, seorang pendeta, dan Bromfeild sebagai staf ahli bedah.
Penyakit Bawaan Musuh
Sejak awal kemunculannya sifilis dan gonore dianggap sebagai penyakit yang hina dan menjelma jadi stigma. Kedua penyakit ini termasuk jenis IMS yang disebabkan oleh bakteri dan ditularkan secara seksual atau melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi.
Tak ada negara yang mau mengakui dan berbesar hati menerima kemunculan penyakit ini di wilayahnya. M. Tampa dan kawan-kawan dalam makalah bertajuk "Brief History of Syphilis" yang dimuat dalam Journal of Medicine and Life (2014) menyatakan setiap negara yang terjangkit sifilis akan mencari kambing hitam. Biasanya mereka menyalahkan negara tetangga atau musuh sebagai penyebab wabah tersebut.
“Italia menuding Jerman, dan Inggris menyebut sifilis sebagai ‘penyakit Perancis’,” catat M. Tampa dan kawan-kawan.
Perang seratus tahun antara Inggris dengan Perancis mungkin menjadi pemicu tudingan ini. Sementara itu penduduk Perancis menggunakan istilah “Neapolitan disease” (penyakit Napoli) untuk menuding Italia. Kemudian Rusia menyalahkan Polandia dan Polandia menuding Jerman sebagai agen pembawa bakteri.
Denmark, Portugal, dan penduduk Afrika utara memberi sebutan “penyakit Spanyol/Castile”. Orang Turki menciptakan istilah “penyakit Kristen”. Selain itu, di India utara, masyarakat muslim menyalahkan pemeluk kepercayaan Hindu dan begitu juga sebaliknya.
Tapi ada dua hipotesis paling kuat dan dipercaya menjadi asal muasal sifilis. Pertama, akibat perubahan iklim maka bakteri bermutasi dan beradaptasi sesuai kondisi iklim serta geografi. Kedua, hipotesis paling populer yang menuding Christopher Columbus dan tim penjelajahnya membawa penyakit tersebut setelah menjelajah “Dunia Baru” pada 1493.
Tak Ada Antibiotik, Merkuri pun Jadi
Di London Lock Hospital, Bromfeild menjual harapan bagi ratusan pasien IMS untuk sembuh. Namun kala itu ilmu pengobatan masih sangat terbatas. Bahkan Bromfeild pun tak tahu secara pasti apa tindakan medis yang harus ia lakukan terhadap pasien-pasiennya.
Bakteri penyebab sifilis dan gonore merupakan peniru ulung. Infeksi bakteri ini menimbulkan gejala yang mirip dengan penyakit lain sehingga sering kali salah didiagnosis. Gejala umum IMS termasuk keputihan, keputihan pada uretra, atau rasa terbakar pada pria, bisul kelamin, dan sakit perut. Penyakit asli IMS kerap bersembunyi di balik gejala-gejala penyakit semu tersebut.
Satu-satunya diagnosis akurat hanya bisa dilakukan dengan tes darah. Sementara obat penawarnya cuma antibiotik. Tapi antibiotik baru ditemukan Alexander Fleming pada 1928 dan dipasarkan terbatas sekitar 1940-an. Maka pengobatan IMS kala itu bisa dibilang coba-coba belaka.
“Perawatan paling umum adalah memberikan merkuri untuk pasien, padahal zat itu beracun,” tulis R. R. Willcox dalam makalah di British Medical Journal (1967, PDF).
Pasien di London Lock Hospital menenggak merkuri sebagai obat cair secara oral. Kadang juga digosokkan ke kulit atau area yang memiliki luka akibat sifilis dan gonore atau dihirup. Mereka diminta berbaring di sebuah kotak tertutup, kemudian gas merkuri disemprotkan ke dalam kotak.
Setelahnya pasien akan mengalami demam tinggi. Reaksi tersebut membuat gejala IMS menghilang sementara. Ringkasnya, pasien dibikin seperti terjangkit malaria lalu justru dirawat dengan kina. Pengobatan ini jelas tak berhasil. Alih-alih sembuh, mereka justru memperoleh kerusakan neurologis, peningkatan keringat dan air liur, gigi tanggal, lunglai, serta luka di gusi.
Merkuri memang lebih mungkin membunuh ketimbang menyembuhkan penyakit.
Akhir Sejarah London Lock Hospital
William Bromfeild merupakan ahli bedah sekaligus pengajar di bidang anatomi dan pembedahan. Bromfeild punya relasi kuat dengan banyak pejabat kala itu, termasuk dengan kerajaan Inggris. Menurut rangkaian cerita Clifford Nauton Morgan (1967, PDF), berkat pengaruh Prince of Wales, Bromfeild diangkat menjadi ahli bedah di Rumah Sakit St. George pada 1742.
Entah karena kepekaan sosial yang tinggi atau memang London Lock Hospital diperuntukkan sekaligus sebagai “kurungan”, maka Bromfeild menerima pasien dari kelompok miskin. Selama satu tahun beroperasi (1747-1748) sekitar 100 pasien perempuan dari kelompok tersebut diobati secara cuma-cuma.
Dana operasional rumah sakit dikumpulkan sang ahli bedah dari acara amal. Ia meminta sponsor, memasang iklan di surat kabar harian London Evening Post dan Daily Advertiser untuk menarik donor, dan membuat pertunjukan teatrikal.
“Kegiatan amal untuk London Lock Hospital menarik banyak donor dalam waktu enam bulan karena menjual misi moralitas,” ungkap María Isabel Romero Ruiz dalam buku bertajuk The London Lock Hospital in the Nineteenth Century: Gender, Sexuality and Social Reform (2014).
Rumah sakit ini sempat juga mengembangkan layanan perawatan kehamilan dan ginekologi. Namun pada 1948 National Health Service mengambil alih London Lock Hospital dan menutupnya pada 1952. Bangunan sisa London Lock Hospital sempat dijadikan tempat menyimpan arsip hingga 1968.
Kini perumahan modern berdiri megah di atas situs tersebut. Tapi sisa-sisa sejarah London Lock Hospital masih dikenang lewat penghargaan tahunan “The London Lock Hospital Memorial Prize in Sexually Transmitted Diseases” untuk mahasiswa kedokteran. Kusala tersebut diberikan oleh Royal Free Hospital School of Medicine sejak 1965.
Editor: Ivan Aulia Ahsan