tirto.id - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Wiendra Waworuntu mengatakan, kusta bukanlah penyakit keturunan apalagi akibat kutukan. Kusta, katanya, disebabkan oleh mycobacterium leprae.
Sayangnya, kata dia, kusta kadung dianggap penyakit biasa oleh masyarakat karena memang tidak menimbulkan rasa apapun ketika terjangkit.
"Ini [kusta] tidak berasa karena itu banyak masyarakat menganggapnya biasa. Sebenarnya permasalahan kusta itu hanya dia bercak dan tidak berasa, jadi dia anggap biasa, padahal kalau terlambat ditemukan dan aktif bakterinya menjadi sumber penularan," ujarnya melalui pesan singkat, Jumat (8/2/2019).
Ia mengatakan, penularannya bisa melalui pernapasan, udara, dan kontak langsung dengan penderita yang belum diobati dan belum mengkonsumsi obat khusus kusta.
Lebih lanjut, kusta banyak terjadi di negara dengan iklim tropis seperti Indonesia, India dan Brasil.
Menurut Wiendra, di Indonesia sendiri dari data yang dikeluarkan Kemenkes tercatat, 6,07 per 100.000 penduduk mengidap kusta. Total kasus baru sebanyak 15.910.
Secara Nasional, Indonesia sudah mencapai eliminasi kusta pada tahun 2000. Kendati demikian, ujar Wiendra, masih terdapat 10 Provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta. Pada 2017 masih ada 142 kabupaten kota dari 22 provinsi yang ada, belum mencapai eliminasi kusta.
Oleh sebab itu, Wiendra mengimbau agar masyarakat mampu mengenali tanda-tanda kusta dan segera menindaklanjuti kepada yang ahli.
Ia pun menyebutkan tanda-tanda kusta, yakni bentuk kelainan pada tubuh penderita kusta bisa berbeda, pada kulit ditandai dengan bercak putih maupun bercak merah dan mati rasa, terkadang muncul berupa benjolan-benjolan di lengan, wajah, badan, dan telinga.
Selain itu, pada saraf tepi ditandai dengan mati rasa di area telapak tangan atau telapak kaki yang mengalami kerusakan saraf, kelumpuhan di tangan dan kaki, kering, serta tidak berkeringat.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno