tirto.id - Penikmat musik dan layar kaca awal 1990-an akrab dengan Novia Sanganingrum Saptarea Kolopaking yang muncul dalam sinetron Siti Nurbaya dan beberapa video musik. Namun, Novia bukan satu-satunya orang Indonesia dengan nama belakang Kolopaking.
Di masa yang lebih lampau ada Soemitro dan Soenario. Keduanya anak Raden Mas Jayamisena alias Raden Tumenggung Jayanegara II, bupati Banjarnegara dari 1896 hingga 1927. Keluarga Kolopaking masih punya hubungan dengan Amangkurat I Raja Mataram Islam. “Kiai Bagus Kertawangsa menjadi cikal-bakal keluarga besar Kolopaking,” tulis Sugeng Priyadi dalam Banyumas, antara Jawa dan Sunda (2002, hlm. 207).
Kertawangsa memberikan kelapa aking (kelapa kering) kepada Amangkurat I yang sedang sakit. Setelah sembuh, Amangkurat I memberi Kertawangsa gelar Tumenggung Kelapa Aking. Lama kelamaan, Kelapa Aking terucap jadi Kolopaking.
Bupati dan Tokoh Intel
Kapal kelas empat dengan tiket seharga 15 gulden mengantar Soemitro ke Belanda pada 1907. Saat itu, ia masih berusia 19 tahun dan baru lulus dari HBS KW III. Seperti ditulis Harry Poeze dalam Di Negeri Penjajah (2007, hlm. 75), Soemitro tinggal di Leiden dan bekerja sebagai perawat domba dengan upah 1,5 gulden perhari.
Kadang Soemitro pergi ke Jerman dan bekerja di pertambangan dengan nama samaran WA Snell. Dia sempat belajar pertanian di Hiide Maatschappij dan sebuah sekolah pertamanan. Di Leiden, ia belajar Indologi, ilmu yang sangat berguna baginya jika bekerja di jawatan pemerintahan Hindia Belanda.
Soemitro adalah salah seorang pendiri Perhimpunan Indonesia. Ia pulang setelah tujuh tahun belajar di Belanda. Di Hindia Belanda, Soemitro sempat jadi pegawai di Pegadaian dan Pabrik teh, sebelum jadi perwira Polisi di Bandung.
Pada awal abad ke-20, menurut Soemitro dalam Tjoret-tjoretan Pengalaman Sepandjang Masa (1969, hlm. 29), posisi paling tinggi orang Indonesia di kepolisian adalah Inspektur Kepala. Tidak bisa lebih dari itu. “Jadi Komisaris Polisi tidak mungkin,” aku Soemitro.
Namun ada kebijakan baru yang berlaku sejak 1917. “Saya diminta jadi proefkonijn (kelinci percobaan pertama) (sebagai) seorang aspirant (calon) komisaris polisi, belajar dua tahun di Sekolah Polisi di Jakarta," tulis Soemitro. Ia lulus pada 1919 dan ditempatkan di kota Bandung sebagai Komisaris Polisi Kelas II.
Semasa jadi polisi, Soemitro sukses membongkar kasus menghebohkan seorang Robin Hood lokal bernama Parta Kutang. Pangkatnya di kepolisian Bandung lumayan tinggi, yakni Komisaris. Pada 1922, ia diangkat menjadi komandan Veldpolitie (Polisi Lapangan) untuk daerah Pariangan Lama yang meliputi: Bandung, Cianjur, Sukabumi, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.
Namun, Soemitro harus berhenti jadi perwira polisi di Bandung. “Soemitro diangkat menjadi Wedana Sumpiuh atas permintaan keluarganya di Banyumas,” tulis Sugeng Priyadi (2002, hlm. 223).
Setelah mendapat jabatan setara kepala distrik atau camat itu, ia jadi bupati pada 1927, menggantikan ayahnya. Rekor jabatan sang ayah sebagai bupati selama 29 tahun rupanya tak bisa dipecahkan Soemitro. 'Cuma' dua dekade ia duduk di kursi ayahnya. Revolusi mengubah semuanya.
Seperti adiknya, Sunario, Soemitro juga dipercaya Hatta. Setelah tidak ada lagi Badan Intelijen sebesar BRANI atau Bagian V, Hatta mempercayakan Soemitro untuk memegang Biro Keamanan, sebuah badan intel kecil yang kurang populer di bawah Kementerian Pertahanan: Biro Keamanan.
Sebelum munculnya Badan Koordinasi Intelejen (BKI), laki-laki yang juga dikenal sebagai Poerbonegero Soemitro Kolopakung ini adalah penasehat Kepolisian Indonesia yang sehari-hari bekerja membantu staf Biro Keamanan.
Kolopaking-Kolopaking Lain
Ada tiga Sunario yang terkait dalam sejarah Republik Indonesia. Ketiganya ahli hukum didikan Leiden.
Yang pertama adalah Menteri Keuangan Sunario Kolopaking. Kedua, Mr. R. Sunarjo yang sempat jadi Menteri Dalam Negeri (1956-1957) dan kadang dijuluki Sunarjo Kalamenjing untuk membedakan dengan Sunario. Sunario ketiga adalah Menteri Luar Negeri Mr. Sunario Sastrowardoyo, kakek dari aktris Dian Sastro. Di antara ketiganya, hanya Sunario Kolopaking yang masih anggota keluarga Soemitro.
Sunario Kolopaking, seperti dicatat Ben Anderson dalam Revolusi Pemoeda (1989, hlm. 487), adalah buah perkawinan Djajanegara II dan putri seorang patih dari Mangkunegaran Solo. Setelah sekolah di HIS, MULO, dan AMS, Sunario belajar di Sekolah Tinggi Hukum Jakarta dan lanjut ke Universitas Leiden.
Dia kembali ke Indonesia pada 1933, setelah menggondol gelar Meester in Rechten pada 1931. Antara 1933 dan 1940, dia bekerja di Algemene Volkscreadietbank Jakarta. Dia tidak aktif berpolitik hingga 1945. Awal masa pendudukan Jepang, dia nyaris bekerja sebagai asisten Mohammad Hatta.
“Ia senang sekali apabila dapat bekerja sebagai pembantuku. Tetapi dalam keadaannya, katanya, sekarang sangat sementara, sebab ia sudah diterima oleh Perusahaan Gula Mangkunegaran,” aku Hatta dalam Mohammad Hatta: Memoir (1979, hlm. 405).
Seperti dicatat Ben, Soenario bekerja sebagai manajer perusahaan-perusahaan Mangkunegara sejak 1942 sampai 1945. Dia baru pindah ke Jakarta pada 1945, sebagai Kepala Jawatan Ekonomi Rakyat.
Selain pernah menjabat menteri keuangan, Sunario Kolopaking juga guru besar. Ia tercatat sebagai orang pertama yang memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia pada 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada). Selain itu, ia juga berafiliasi dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia.
Menurut Yunus Yahya dalam Peranakan Idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (2002, hlm. 88), seorang anak Soemitro belakangan bekerja sebagai intel. Namanya Poerboyo.
Ketika Biro Keamanan masih ada dan dipegang Soemitro, Wakil Presiden Hatta dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono menyusun daftar pemuda yang bakal diurus Soemitro. Semula ada 50 nama dalam daftar tersebut. Tapi pada November 1952, hanya 17 yang lolos seleksi.
“Menjelang akhir tahun, tujuh belas orang yang terpilih (termasuk di antaranya anak Soemitro) mendapat perintah menuju suatu pantai di timur kota Semarang,” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007, hlm. 10-11).
Ketujuhbelas pemuda ini dikirim ke Pangkalan Udara Clark, Filipina, lalu ke Saipan (Kepualauan Mariana, Pasifik).
Di sana, Poerboyo mendapat nama Amerika: Bob. Kawan-kawannya pun diberi nama ala Barat. Kartono Kadri—yang posturnya pendek—dipanggil Shortly, seorang mahasiswa kedokteran dari Yogyakarta juga dipanggil Doc. Mereka fokus mendapat latihan dari CIA, terutama dalam hal paramiliter dan komunikasi morse. Mereka kembali ke Indonesia pada Februari, begitu latihan sudah selesai. Mereka mendarat di selatan Bali, lalu melapor ke Soemitro di Jakarta. Setelahnya, mereka disebar ke beberapa daerah.
Kiprah Soemitro dan Bob Poerboyo dalam dunia intelijen, bahkan soal Biro Keamanan sendiri, masih belum banyak ditulis. Kisah keterkaitan keluarga Kolopaking dengan raja-raja feodal lawas rupanya masih lebih disukai orang.
Editor: Windu Jusuf