tirto.id - Narasi tentang pencuri budiman punya tempat tersendiri dalam sejarah. Kisah Robin Hood, misalnya, terus-menerus didaur ulang sepanjang zaman. Pencuri dari Inggris ini muncul dalam pelbagai kanal budaya, salah satunya lewat film. Bulan ini, film terbaru tentang Robin Hood yang didistribusikan Lionsgate Films dirilis di Amerika Serikat.
Di Indonesia, tokoh yang paling sering dilekatkan dengan sosok Robin Hood adalah Pitung. Jago silat dari Betawi yang amat sohor ini juga pernah muncul dalam beberapa produksi film di tanah air.
Tak hanya Pitung di Betawi, sejumlah daerah lain pun mempunyai legenda maling wiguna atau pencuri baik hati yang membela masyarakat. Bagus Kendo dari Bagelen, Purworejo dan Tollo yang dikenal masyarakat Takalar dan Jeneponto, Sulawesi Selatan adalah beberapa di antaranya.
Di wilayah Priangan lain lagi. Meski kurang populer atau bahkan sangat jarang didengar orang, sosok seperti Robin Hood pernah hadir dalam sepenggal sejarah Bandung.
Alkisah, di Cicalengka ada seorang petani yang hidupnya berkecukupan. Namun, karena ia mewarisi ilmu maling secara turun-temuran dari moyangnya, ia kerap menjadi maling.
“Yang namanya ilmu maling warisan leluhur, paling tidak setahun sekali menuntut dipraktekkan agar tidak hilang kesaktiannya,” tulis Haryoto Kunto dalam Seabad Grand Hotel Preanger: 1897-1997 (2000) menjelaskan alasan kenapa petani itu mencuri.
Petani itu bernama Parta. Orang-orang menjulukinya Parta Kutang karena ia selalu memakai singlet saat menjalankan aksinya. Rumahnya berjarak kira-kira 20 kilometer dari pusat kota Bandung.
Aksi pertama Parta Kutang yang dicatat Haryoto Kunto adalah di daerah Kapiten Hill atau Oranje Plein yang sepi, yang sekarang menjadi kawasan Jalan Riau atau Jalan R.E. Martadinata. Ia membobol rumah seorang juragan perkebunan yang tengah kosong ditinggal pemiliknya bekerja.
Saat sang pemilik rumah pulang, ia kaget mendapati jendela dan pintu rumahnya telah terbuka. Ketika memeriksa rumahnya, ia tak mendapati sebuah pun barangnya yang hilang. Meski demikian, ia tetap melapor kepada aparat kepolisian.
Lalu seorang Inspektur Polisi Belanda beserta reserse pribumi memeriksa rumah juragan perkebunan itu. Sesuai laporan si pemilik rumah, meski mereka memeriksanya secara teliti, juragan perkebunan itu mengaku tidak kehilangan harta benda apa pun. Mereka malah menemukan sebuah pahat yang tergeletak di meja tulis si pemilik.
“Sialan, iseng amat maling ini, sempat-sempatnya dia bercanda meninggalkan pahat segala,” komentar si inspekstur polisi seperti dikutip Haryoto Kunto dalam bukunya yang lain, Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986).
Pencurian itu adalah “pemanasan” Parta Kutang sebelum beraksi di tempat lain yang lebih ramai dan menantang. Ia mengincar beberapa bank di sekitar alun-alun Bandung dan Hotel Preanger.
Aksi pertama Parta Kutang menjebol bank berselang seminggu setelah kejadian di rumah juragan kebun. Pagi-pagi, saat para karyawan bank tiba di tempat kerjanya, mereka kaget karena pintu, jendela, dan brankas tempat menyimpan uang telah terbuka lebar. Namun, lagi-lagi Parta Kutang tak mengambil sepeser pun uang yang berada dalam brankas tersebut. Ia malah meninggalkan sebuah pahat di dalam lemari besi itu.
Polisi yang memeriksa tempat kejadian mengenali pahat itu, sehingga Parta Kutang yang masih misterius dijuluki “De Beilaar” atau “si Pahat”.
Saat beraksi di Hotel Preanger, kelakukan Parta Kutang bertambah. Selain meninggalkan pahat, ia juga sempat mencicipi beberapa minuman keras seperti sopi, brendi, dan wiski, yang ia tenggak langsung dari botolnya. Selain itu, ia juga menyempatkan diri tidur di kamar yang tarifnya paling tinggi.
Soemitro Kolopaking dan Parta yang Édan Éling
Misteri maling konyol yang seolah-olah hanya main-main ini membuat jengkel Komandan Polisi Lapangan di Karesidenan Priangan yang saat itu dijabat Soemitro Kolopaking. Di kemudian hari, Soemitro dikukuhkan sebagai Suhu Agung pertama Loge Agung Indonesia oleh orang-orang Freemason.
Saat memeriksa pahat-pahat yang ditinggalkan Parta Kutang, ia mengetahui bahwa si Pahat menggunakan ilmu gaib saat melancarkan aksinya. Maka ia pun menggunakan ilmu gaib untuk menangkap buruannya.
Menurut Haryoto Kunto dalam Semerbak Bunga di Bandung Raya, Soemitro Kolopaking mencocokkan hari, pasaran, dan saat terjadinya kejahatan. Lalu lewat buku “Primbon Maling” dengan mudah polisi dapat mengetahui arah kedatangan Parta Kutang.
Sementara dalam autobiografi Soemitro Kolopaking yang berjudul Tjoret-tjoretan Pengalaman Sepandjang Masa (1969) dan dalam Banyumas, antara Jawa dan Sunda (2002) karangan Sugeng Priyadi, proses penangkapan Parta Kutang dibantu juga oleh jejak kakinya saat beraksi. Jejak itu kemudian difoto dan dicetak sehingga memudahkan polisi saat memeriksanya.
Saat diinterogasi polisi, ternyata Parta Kutang yang sebetulnya hidup berkecukupan itu memiliki gangguan jiwa yang menyebabkan ia menjadi maling kambuhan. Haryoto Kunto menyebutnya dengan istilah “édan dan éling”.
Saat “édan”, dia akan pergi ke kota dan mencuri uang orang-orang kaya, termasuk aksi gilanya saat membobol rumah juragan kebun, bank di sekitar Alun-alun Bandung, dan Hotel Preanger.
Kepada polisi, Parta Kutang mengaku uang hasil curian yang ia ambil dari rumah orang-orang kaya tak pernah dipergunakannya. Ia membagikan hasil curian kepada warga desa yang miskin dan serba kekurangan.
Parta Kutang pun diseret ke meja hijau. Persidangannya yang dilakukan di Landraad Bandung (kini Gedung Indonesia Menggugat) yang beralamat di Jalan Gereja (kini Jalan Perintis Kemerdekaan) dipenuhi masyarakat yang penasaran ingin melihat pencuri aneh tersebut. Hakim menvonisnya bersalah dan ia dihukum kurungan selama dua tahun.
Anak “Robin Hood” Disekolahkan
Meski Parta Kutang diketahui mengidap penyakit “édan dan éling”, Komisaris Polisi Soemitro Kolopaking terkesan dengan sikapnya yang berbaik hati yang memberikan uang hasil curiannya kepada kaum duafa.
Setelah masa hukuman selesai, Parta Kutang menyerahkan anaknya kepada Soemitro Kolopaking agar dididik menjadi orang baik. Anak itu disekolahkan di Sekolah Pelayaran di Makassar.
“[Anak Parta Kutang] kemudian menjadi mualim pada kapal jenis Torpedo-Joger milik Belanda. Putra Parta Kutang pada saat Perang Dunia II tewas dalam pertempuran melawan Jepang di perairan Laut Banda,” tulis Haryoto Kunto dalam Seabad Grand Hotel Preanger: 1897-1997.
Beberapa waktu kemudian Parta Kutang dan istrinya menemui ajal dengan cara yang tragis. Keduanya tewas tertimpa pohon saat puting beliung menyerang desa mereka. Sejak itu, berakhir pula kisah si Robin Hood dari Priangan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan