Menuju konten utama

Museum Kota Bandung: Saksi Bisu Jejak Freemason

Setelah lama menunggu, akhirnya masyarakat bisa berkunjung ke Museum Kota Bandung meski belum sepenuhnya selesai.

 Museum Kota Bandung: Saksi Bisu Jejak Freemason
Pengunjung melihat koleksi yang dipamerkan di Museum Kota Bandung, Bandung, Jawa Barat, Rabu (31/10/2018). Museum itu baru bisa dinikmati sebagian ruangan saja dan ditargetkan mampu sepenuhnya beroperasi pada 2019 sebagai sarana edukasi, informasi, dan wisata mengenai sejarah Kota berjulukan Paris Van Java tersebut. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/foc.

tirto.id - Di Jalan Aceh No. 47-49, Museum Kota Bandung berdiri, keberadaannya diresmikan oleh Walikota Bandung, Oded M. Danial, di pengujung Oktober 2018. Oded menandatangani prasasti sebagai penanda bahwa museum ini sudah bisa dikunjungi oleh masyarakat. Tiga hari setelah itu, digelar festival bertajuk “Panon Hideung Museum Market” dihelat selama dua hari.

Pengunjung tak terlalu banyak saat saya datang di hari pertama festival. Hujan yang mengguyur Bandung sepanjang hari membuat orang-orang malas keluar rumah. Di ruangan utama museum, beberapa bocah menunjukkan kebolehannya bermain pencak silat. Sementara di pelataran, sejumlah jongko menjual dan memamerkan buku-buku dan sejumlah barang antik.

Saya menemui Edo Adityawan, salah seorang kurator museum tersebut. Ia mengatakan, Museum Kota Bandung sejatinya belum selesai, peresmian pada 31 Oktober 2018 hanya penanda bahwa museum itu, dengan koleksinya yang masih terbatas, sudah bisa diakses publik.

Jauh-jauh hari, pendirian Museum Kota Bandung memang telah didengar oleh masyarakat, tapi pelbagai kendala merintanginya sehingga tak kunjung selesai. Menurut Edo, salah satu kendala itu adalah riset untuk menentukan koleksi apa saja yang akan dipamerkan.

“Ya, kan udah beberapa hari tertunda, jadi sekarang dibuka dulu aja buat masyarakat. Memang belum rampung, karena rencananya baru akan Grand Launching nanti pertengahan 2019,” imbuhnya.

Sejarah Kabupaten dan Kota

Museum Kota Bandung terdiri dari dua gedung. Bangunan pertama merupakan bangunan tua bekas sekolah taman kanak-kanak, letaknya berada di pinggir Jalan Aceh. Sementara bangunan satu lagi berada di belakang gedung pertama, usianya masih muda, dibangun saat lokasi museum telah ditentukan.

Masyarakat baru bisa menikmati dua ruangan saja yang berisi pelbagai gambar dan teks. Keduanya berada di bangunan tua. Ruangan pertama berisi gambar Walikota Bandung dari masa ke masa, mulai dari Bertus Coops sampai Oded M. Danial, yang berada di dinding sebelah selatan. Di seberang dinding tersebut terdapat gambar beberapa tokoh yang kehadirannya berkaitan dengan linikala sejarah Bandung seperti Sukarno, Dewi Sartika, Abdul Muis, Bosscha, Daendels, Gatot Mangkupraja, dan lain-lain.

Di sisi sebelah barat terdapat linikala sejarah Bandung mulai tahun 1810 saat ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Dayeuhkolot ke sisi Jalan Raya Pos sampai tahun 1960 saat Kota Bandung menjadi sister city Kota Braunscweigh, Jerman.

Sementara di sisi timur dihiasi gambar masa-masa awal berdirinya Kabupaten Bandung yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram dan peristiwa pemindahan ibukota Kabupaten Bandung yang melibatkan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dan Bupati Wiranatakusumah II.

Di ruangan kedua, semua sisi dipenuhi oleh linimasa yang bertajuk “Bandung Awal Mula”. Lintasan waktunya dimulai dari tahun 1841 ketika Kabupaten Bandung berdiri sampai 1895 saat Gedung Societeit Concordia (Gedung Merdeka sekarang) didirikan.

Sejarah Kabupaten dan Kota Bandung memang tak bisa dipisahkan. Pasca Dipati Ukur yang memberontak terhadap Mataram ditangkap, Sultan Agung mengangkat tiga orang bupati di daerah Priangan, salah satunya Ki Astamanggala yang diangkat menjadi bupati Kabupaten Bandung pertama dengan gelar Tumenggung Wira Angun-angun.

Warsa 1810, setelah Daendels menyelesaikan Jalan Raya Pos yang memanjang dari Anyer sampai Panarukan, ibukota Kabupaten Bandung yang semula di Krapyak (Dayeuhkolot sekarang) dipindahkan ke sisi jalan tersebut. Dan pada 1906, ibukota baru itu menjadi kotapraja atau gemeente, artinya terpisah dari Kabupaten Bandung.

Infografik museum kota bandung

St. Jan dan Perkumpulan Freemasonry

Bangunan tua Museum Kota Bandung adalah bekas Frobelschool (taman kanak-kanak) yang didirikan oleh perkumpulan Freemasonry Bandung. Loji atau tempat pertemuan mereka bernama Loji Sint Jan yang terletak di Jalan Wastukancana, tak jauh dari lokasi Museum Kota Bandung sekarang, dan telah berubah menjadi Masjid Al-Ukhuwwah.

Menurut M. Ryzki Wiryawan dalam Okultisme di Bandoeng Doeloe (2014) Loji Sint Jan merupakan Loji Freemasonry ke-13 yang didirikan di Hindia Belanda pada 1896. Dulu, jalan di depan loji ini dulu bernama Logeweg.

Selain mendirikan Frobelschool, perkumpulan Freemasonry Bandung juga mengadakan program beasiswa untuk siswa sekolah umum. Pada 1917, atas usul seorang anggota Freemansonry terkenal, L.F. van Gendt, mereka mendirikan asrama untuk siswa-siswa sekolah yatim piatu. Pada 1927 program ini turut dibiayai oleh Yayasan Jan Pieterszoon Coen.

Lebih lanjut M. Ryzki Wiryawan menerangkan, sebelum Jepang masuk ke Indonesia, perkumpulan Freemasonry Bandung telah mengingatkan anggotanya untuk bersiap menghadapi ancaman perang dan menyediakan gedung loji untuk dijadikan markas Palang Merah. Namun saat Jepang datang, Belanda dapat mudah dikalahkan dan orang-orang Freemasonry diburu sehingga seluruh anggotanya ditangkap dan ditahan di pelbagai kamp internir dan gedung-gedung loji dijarah.

Sebagian anggota Freemasonry ditahan dalam kamp khusus untuk tahanan kelas 1, sebagian lagi dibunuh. Salah satu kamp internir untuk anggota Freemasonry berlokasi di Baros, Cimahi. Kamp ini diperuntukkan bagi tawanan “super jahat”. Setidaknya ada 300 orang anggota Freemasonry dari 21 loji di Hindia Belanda ditawan di sana.

Dikutip dari Gedenkboek Vrijmetselarij Ned. Oost Indie (1917), Ryzki menerangkan bahwa tentara Jepang sebetulnya tidak tahu apa-apa tentang Freemansoty atau Tarekat Mason Bebas dan mereka tak terlalu peduli, tapi mereka bertindak atas dasar instruksi Jerman.

Dalam kondisi darurat, orang-orang Freemasonry yang ditahan di kamp internir kerap memperingati Sint Jan secara sembunyi-sembunyi sebelum akhirnya dihentikan atas permintaan sebagian anggotanya yang menganggap kegiatan itu terlalu berbahaya bagi keselamatan mereka.

“Di Baros, kami memperingati St. Jan dalam lingkungan kecil orang-orang kumuh di bawah sinar bulan purnama di suatu ladang ubi di antara barak-barak,” tulis salah seorang anggota Freemasonry seperti dikutip Ryzki.

Baca juga artikel terkait MUSEUM atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Suhendra