tirto.id - Awalnya, Tollo hanya perampok biasa. Ia lahir di Parapa, distrik Palangga, Kabupaten Gowa. Ayahnya, Kade, adalah petani biasa. Kedua orangtuanya berasal dari Kampung Parigi, dekat Malino. Ia sudah berkawan dengan sesama rampok Rajamang sejak 1905.
Bersama Basareng, yang belakangan satu komplotan dengan Tollo, mereka ikut melawan Belanda sejak 1905. Tollo sendiri dikenal sebagai Tallo daeng Magassing. Namanya sering ditulis Tolok atau Tolo'.
Tollo, seperti ditulis Rosihan Anwar dalam bukunya Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925-1950 (1985), ”merongrong penduduk kampung yang tak bersalah.” Lebih dari seratus perampokan yang telah dia lakukan hingga 1915.
Menurut Rosihan Anwar, Tollo baru menjadi luar biasa setelah dia dan gerombolannya, yang anggotanya berjumlah belasan, menyerang Kantor Kontrolir Belanda di Paleko, dekat Takalar, Sulawesi Selatan.
Dalam bukunya, almarhum Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942 (2004), mencatat betapa pentingnya Tollo bagi para bangsawan Gowa yang dendam kepada Belanda. Pada bulan Mei 1915, sejumlah bangsawan Gowa seperti Karaeng Barombong dan Karaeng Batupute menjumpai Tollo.
Di depan Tollo, bangsawan-bangsawan itu menyinggung kematian Macan Daeng Brani terjangan peluru pemerintah kolonial pada 19 Oktober 1914. Macan Daeng Brani, yang adalah kawan Tollo itu, dituduh hendak memberontak.
Dendam menyatukan mereka. Tollo dijanjikan amunisi oleh bangsawan-bangsawan itu. Harapan bangsawan-bangsawan itu tiada bukan adalah memberontak terhadap Belanda. Tollo sendiri akhirnya jadi makin percaya diri di kawasan yang dulunya Kerajaan Gowa Sultan Hasanuddin itu.
Mengenai hubungan Tollo dengan bangsawan itu, dalam buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan (1985) tertulis, ”sebagai pemuda Tollo terkenal nakal dan pemberani. Rupanya ia telah ikut dalam peperangan melawan Belanda pada tahun 1905.”
”Tollo dan kawan-kawannya menjadi penguasa negeri. Para kepala, para regent tidak kecuali, memberikan penghormatan kepadanya, menghadiahkan kuda dan dengan menyembelih kerbau mengadakan pesta waktu kedatangan Tollo,” kata Gubernur Celebes Coenen, seperti dikutip Rosihan dalam bukunya.
Pengikut Tollo lalu bertambah. Namun, pasukan intinya hanya 40 orang yang dikenal sebagai Pagorra Patampulowa. Gerakan Tollo menimbulkan kekacauan bagi pemerintah kolonial di sekitar Gowa dan Takalar.
Rupanya, kaum bangsawan di sekitar Gowa akhirnya juga berpihak pada Belanda. Pada 15 Juli 1915, Karaeng Mappanyuki, Karaeng Bontonompo, Karaeng Bontolangkasa, Karaeng Lengkese, Karaeng Batupute, dan Karaeng Barombong bertemu Kontrolir Gowa, H. van der Wal. Mereka resah dengan kekacauan di sekitar Gowa, bahkan bersedia membantu pemerintah kolonial. Dukungan bangsawan untuk Tollo pun hilang. Namun, ia tak bisa dihentikan.
Delapan hari kemudian, 23 Juli 1915, sebanyak delapan kompi militer dari Jawa tiba di Makassar.
Pasukan tersebut diperintahkan Gubernur Coenen bergerak ke daerah yang rawan oleh aksi Tollo. Menurut berita Oetoesan Hindia edisi 27 Juli 1915, bersama pejabat sipil lainnya, Coenen pun berangkat ke Sungguminasi, Gowa. Pada 26 Juli 1915 itu, Coenen memimpin pertemuan yang dihadiri para pejabat dan bangsawan Gowa di sana.
Kuatnya militer Belanda di Gowa tak hanya memupuskan dukungan bangsawan untuk Tollo. Dukungan rakyat sipil yang semula mendukung Tollo pun surut. Menurut buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan (1985), yang ditulis Sarita Pawiloy dan kawan-kawan, demi melemahkan dukungan kepada Tollo, disebarkanlah isu bahwa Tollo hanyalah De Schrik, yakni pembunuh dan perampok kejam.
Tujuannya agar tak ada lagi pertolongan dari rakyat sipil kepada Tollo. Bahkan, demi mempermudah menggerakkan pasukan, pemerintah kolonial membangun jaringan rel kereta api dari Makassar ke Takalar yang jauhnya 40 km.
Setelah pengkhianatan pengikutnya yang bernama Camanggo, pada 1917, Tollo bersama pengikutnya Rajamang berhasil ditangkap. Camango menunjukkan posisi Tollo berada, di Kalampak, daerah Polongbangkeng. Tollo ditangkap dalam kondisi terluka karena melakukan perlawanan. Setelah Tollo dan Rajanmang dibunuh di tangsi Belanda di Limbung, mayat-mayatnya dipertontonkan kepada rakyat di daerah itu. Jenazah Tollo lalu dimakamkan di kampungnya.
Setelah kematian Tollo, bangsawan-bangsawan yang terlibat pun belakang dibuang dari Gowa ke Jawa. Mereka adalah Karaeng Barombong, Karaeng Katapang, Karaeng Majalling, Karaeng Manjapai dan Karaeng Batupute.
Perlawanan, juga perampokan, yang dilakukan Tollo sering dipadankan dengan Pitung dari Betawi. Keduanya sama-sama dikenal sebagai perampok, dan berasal dari keluarga petani rakyat jelata. Pitung melawan di jantung pemerintahan kolonial dan tidak punya banyak pengikut.
Elit lokal pribumi pun tak mendukungnya. Pitung berhasil dilumpuhkan pada 1893 oleh polisi pimpinan Scout Hinne. Namun, Tollo lebih punya pengaruh ketimbang Pitung. Itulah yang menyebabkannya bisa berubah dari perampok menjadi pemimpin pemberontak berbahaya. Ia membuat pemerintah kolonial harus datangkan 8 kompi tentara Belanda dari Jawa.
Meski punya citra sebagai perampok kejam yang ditakuti, Tollo dikenang sebagai orang berani dan pahlawan, karena dia melawan Belanda juga. Bahkan tokoh yang membela kebenaran dan keadilan pun lalu disebut sebagai Tolokna.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani