tirto.id - Ada persamaan antara Kivlan Zen dengan Edy Rahmayadi. Keduanya terbilang orang Medan yang lahir di Aceh. Selain itu, keduanya pernah kuliah di kampus yang sama sebelum masuk Akabri, Universitas Islam Sumatra Utara. Tentu saja di waktu yang berbeda. Kivlan Zen lebih senior, sementara Edy jauh lebih junior. Kivlan kuliah sekitar 1965 hingga 1968 sementara Edy pada 1980. Di kampus itu pula Edy menemukan jodohnya, Nawal Lubis.
Edy dan Kivlan kemudian berkarier sebagai perwira ABRI. Edy seolah-olah hendak meneruskan jejak Kapten Rachman Ishaq, ayahnya.
Edy pun digembleng sebagai taruna, yang mungkin harus rela dipanggil monyet oleh senior-seniornya. Pantang untuk tersinggung bagi seorang taruna karena menolak panggilan kesayangan dari Gatot Subroto itu. Setelah 3 tahun Edy pun lulus dari Akabri bagian darat.
Kostrad sedari Muda
Edy adalah lulusan Akabri 1985. Tentu saja Edy melebihi ayahnya. Pangkat awalnya saja letnan dua. Jabatan pertama Edy adalah komandan peleton di Kostrad, di Batalion Infanteri 321 (Galuh Taruna) lalu di Batalion Infanteri 323 (Buaya Putih), hingga dirinya meraih pangkat kapten. Ketika berpangkat mayor, Edy kembali ke Sumatra Utara, di Kodam Bukit Barisan. Di Kodam itu, Edy pernah menjadi komandan Batalion Infanteri Lintas Udara 100 (Prajurit Setia).
Dalam sebuah reuni, Edy berpesan pada batalion yang dipimpinnya pada 1998 ini. “Saya bangga kepada seluruh Prajurit Yonif Raider 100/PS dan keluarganya, kalian harus kompak, jaga nama baik satuan dan ingat jangan ada yang melanggar hukum,” tuturnya seperti dikutip situs resmi TNI AD.
Beberapa tahun setelah Edy tak lagi jadi komandannya, batalion ini terlibat bentrok dengan polisi yang menewaskan beberapa orang. Peristiwa ini terkenal dengan nama Insiden Binjai.
Seperti kebanyakan perwira menengah, Edy pernah menjadi perwira di komando teritorial, seperti Komando Distrik Militer (Kodim) atau di Komando Resort Militer (Korem). Dia pernah jadi komandan Kodim di Batam ketika berpangkat letnan kolonel. Ketika berpangkat kolonel, dia pernah menjadi Komandan Resimen Taruna Akademi Militer.
Saat pangkatnya brigadir jenderal, dia menjadi Komandan Korem di Kodam Cendrawasih. Ketika berpangkat mayor jenderal, Edy menjadi Panglima Divisi Infanteri I Kostrad dan kemudian Panglima Kodam Bukit Barisan.
Jabatan tertingginya di militer adalah Panglima Kostrad alias Pangkostrad dengan pangkat letnan jenderal. Dia memangku jabatan itu dari Juli 2015 hingga Januari 2018. Dalam hal ini karier Edy jelas sekali melampaui Kivlan Zen.
Mentok di Militer, Banting Setir ke Sipil
Seseorang yang menjabat Pangkostrad biasanya dianggap cerah kariernya, dan selangkah lagi bisa menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad). Edy barangkali bisa menyusul jejak George Toisutta, mantan Pangkostrad yang kemudian jadi Kasad. Ketika akan pensiun, George pernah ikut mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI. George disebut mendapat dukungan dari Persigo Gorontalo, Persijap Jepara dan Persik Kediri. Ia kemudian gagal.
Dalam masyarakat sipil yang inferior dan “impoten” dalam hal kepemimpinan, orang militer tidak hanya terlihat gagah tapi bisa apa saja. Hingga sosok seperti Edy pun cepat populer. Nyatanya, Edy lebih sukses di luar militer ketimbang George. Jika George gagal, maka Edy lebih sukses di PSSI. Pada November 2016, ketika masih menjabat Pangkostrad, Edy terpilih menjadi Ketua Umum PSSI.
Jabatan Ketua Umum PSSI bisa dirangkap Edy sebagai Pangkostrad. Laki-laki kelahiran Sabang, 10 Maret 1961 ini tampaknya merasa karier militernya mentok, karena itu segera memburu jabatan di dunia sipil.
Ketika Edy jadi Pangkostrad, Kasad dijabat Mulyono, lulusan Akabri 1983. Usia Edy sudah 57 ketika Pilgub Sumatra Utara digelar. Edy memilih maju sebagai calon gubernur pada awal 2018 didampingi Musa Rajekshah, seorang usahawan muda. Partai pengusung mereka adalah Golkar, Gerindra, PAN, dan PKS.
"Dengan bergabungnya Golkar berarti memberikan energi yang lebih. Kita tahu bahwa Golkar 17 kursi. Itu hitung-hitungannya kalau matematik 2,5 juta manusia. Berarti kita sudah (meraih) 50 plus 1. Hitungan matematiknya berarti kita kan sudah menang itu," tutur Edy.
Lawan Edy adalah Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus. Sebelumnya, Djarot baru saja kalah dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Posisi Pangkostrad tentu harus dikorbankannya. Dia tinggalkan jabatan 4 hari setelah tahun baru 2018. Posisi Ketua Umum PSSI tetap dipegangnya. Hasil Pilkada menunjukkan Edy dan pasangannya menang dan Djarot pun kalah untuk kedua kalinya. Edy pun jadi gubernur. Posisi Ketua Umum PSSI tetap ada di tangannya.
Edy banyak dicerca soal posisi Ketua umum PSSI yang tetap dipegangnya sambil jadi gubernur. Orang berpikir mengurus sepakbola Indonesia yang kacau disambi mengurus hajat hidup orang banyak di Sumatra Utara adalah kerja berat. Apalagi di masa kepengurusan Edy, timnas gagal lolos penyisihan grup Piala AFF 2018. Tapi bukan Edy Rahmayadi jika menyerah kepada penyerangnya. Edy tetap ngotot memegang dua jabatan penting itu.
"Wartawan harus baik. Jadi kalau wartawannya baik, timnasnya baik," itu kata-kata Edy (22/11/2018) yang paling diingat publik terkait sepakbola Indonesia.
Edy tampaknya begitu kesal dengan wartawan yang usil bertanya soal sepakbola yang tidak maju-maju, bahkan dianggap tidak sehat.
Terkait soal rangkap jabatan, kepada wartawan yang bertanya, Edy dengan mantap bilang: "Apa urusan Anda menanyakan itu? Bukan hak Anda bertanya kepada saya."
Pada bulan pertama di tahun 2019 ini, Edy mendapat "hidayah". Dalam Kongres tahunan PSSI pada 19 Januari 2019 di Nusa Dua, Bali, Edy menyampaikan sebuah pidato:
“Saya nyatakan hari ini saya mundur dari Ketua. Dengan syarat jangan khianati PSSI ini. Jangan karena satu hal lain terus kita bercokol merusak rumah besar ini. Saya mundur bukan karena saya tidak bertanggung jawab tetapi karena saya bertanggung jawab.”
Bersedia mundur adalah pidato terbaik Edy Rahmayadi sepanjang hidupnya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan