tirto.id - Seorang gadis hendak membeli soto. Ketika si gadis makin dekat, si pemuda pedagang soto malah memilih kabur. Si pedagang soto hafal dengan wajah si gadis. Mereka berdua saling kenal sejak masa lalu. Jika sampai mereka bertatap muka, si pedagang merasa bisa tamat hidupnya. Dia pun akhirnya memilih kabur saja.
Pemuda pedagang soto itu adalah Sukarni dan gadis yang hendak mencicipi sotonya itu adalah kawan sekolahnya di Jakarta. Begitulah kisah Sukarni di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, seperti tercatat dalam Sukarni Dalam Kenangan Teman-Temannya (1986: 103).
Bisa jadi Sukarni malu karena bertahan hidup di Banjarmasin dengan menjadi pedagang soto. Maklum, Sukarni tergolong pemuda yang pernah makan bangku sekolah menengah. Alasan terpenting kenapa dia harus lari tak lain karena waktu itu Sukarni sedang jadi buronan dari polisi rahasia kolonial.
Sukarni berhasil mencapai Banjarmasin berkat bantuan seorang juragan perahu Bugis, sehingga dia tak perlu bayar untuk naik kapal mencapai Pulau Kalimantan. Sejak lama Sukarni muda menjadi musuh pemerintah kolonial. Koran Pandji Poestaka(28/4/1936) menyebut pada 22 April 1936, ketika menjadi Ketua Indonesia Moeda, dia diperiksa polisi Betawi karena tidak melaporkan kegiatan mengajarnya di sekolah Boedi Arti, Tanjung Priok, kepada pihak berwenang.
Di mana-mana pemerintah selalu punya aparat yang tangguh. Termasuk Hindia Belanda dalam urusan memburu buronan. Polisi rahasia Hindia Belanda, yang dikenal sebagai PID, pada 1940 berhasil mengendus keberadaan Sukarni di Balikpapan, Kalimantan Timur, sebuah kota perminyakan yang penduduknya tidak sebanyak Betawi.
Dari Betawi, seorang mantri PID pun didatangkan ke Balikpapan. Tak lain untuk menangkap Sukarni. Setelah ditangkap di Balikpapan, dia dibawa ke Samarinda, kota lain di Kalimantan Timur. Di situ dia dihadapkan pada Residen Kalimantan bagian Timur. Setelah itu sebuah kapal membawanya ke Surabaya dan akhirnya ke Jakarta.
Penculik Sukarno-Hatta
Seperti banyak musuh pemerintah kolonial, seperti Wikana atau Adam Malik, Sukarni akhirnya dibebaskan juga ketika balatentara Jepang menduduki Jawa. Di zaman Jepang Sukarni sempat bekerja di kantor berita Antara—yang diakuisisi pemerintah Jepang dan dinamakan Domei—di Jakarta. Meski dibebaskan militer Jepang, Sukarni dan kawan-kawan yang senasib dengannya tak serta-merta percaya kepada Jepang. Bagi orang-orang macam Sukarni, kaum fasis tak layak untuk dipercaya.
Kepada siapapun, terutama yang baru dikenalnya, Sukarni tidak mau percaya begitu saja. Orang pergerakan selalu punya lawan. Di luar maupun di dalam selimut. Itulah kenapa dia harus selalu berhati-hati. Sukarni akhirnya ditemui Tan Malaka—dalam kondisi menyamar—yang sudah lama menghilang. Tan Malaka yang sedang menyamar jadi pegawai pernah bertandang diam-diam ke rumah Sukarni di Jakarta.
Sukarni adalah orang penting dalam kelompok pemuda zaman Jepang. Bersama Chaerul Saleh, yang seumuran dengannya, dia memimpin Asrama Menteng 31 di Jakarta. “Sukarni pertama-tama tampak bangga melihat pistol yang dipakainya dan setumpuk uang kertas, yang harus digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan perjuangan,” tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946 (2008: 14).
Para pemuda yang satu kubu dengan Sukarni akhirnya mendengar kabar kekalahan Jepang pada 14 Agustus 1945. Tak tunggu lama, mereka jadi pemuda-pemuda yang menjengkelkan bagi orang-orang tua kepercayaan Jepang dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pemuda-pemuda ini, yang belakangan dianggap beraliran kiri, lewat Wikana dan kawan-kawan yang datang ke rumah Sukarno, kemudian mendesak “golongan tua” itu untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Golongan tua lebih memilih banyak berpikir daripada menyambar kesempatan mulia itu. Golongan tua tak mau bikin militer Jepang mengamuk. Belum lagi jika Sekutu, yang merupakan musuh militer Jepang, datang ke Indonesia. Pastinya golongan tua ini bukan tipe orang yang suka dipaksa. Pendesakan para pemuda itu buntu. Para pemuda pun jengkel.
“Saking jengkelnya, para pemuda yang terdiri atas Sukarni dan kawan-kawan, termasuk Subadio lalu menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok, dengan maksud memaksa mereka melakukan proklamasi,” catat Sastra dalam Mengenang Sjahrir (2013: 115). Setelah penculikan itu, Sukarno dan Hatta pun memberanikan diri untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Peran Sukarni sebagai pemimpin pemuda yang menculik Sukarno-Hatta agar tidak terpengaruh militer Jepang di Jakarta hingga mereka mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 itulah yang membuatnya digelari Pahlawan Nasional. Dia diangkat dengan SK Presiden No. 111/TK/2014 tanggal 6 November 2014. Memang butuh nyali besar untuk berani berbeda dengan militer Jepang yang sudah kalah tapi masih berkuasa.
Konco Tan Malaka
Setelah proklamasi kemerdekaan berlalu, Sukarni menjadi pimpinan Comite van Actie dalam penyebaran berita proklamasi. Sukarni pernah duduk sebagai anggota Badan pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Ketika Tan Malaka bukan lagi buronan, Sukarni adalah orang yang dekat dengan Tan Malaka. Kala muncul Persatuan Perjuangan (PP), di mana Tan Malaka jadi pimpinannya, Sukarni adalah sekretaris jenderalnya. Sukarni termasuk kawan Tan Malaka yang dijebloskan ke penjara pada 1946.
Sukarni ikut mendirikan partai bersama Tan Malaka, yakni Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Partai ini dideklarasikan pada 7 November 1948, tanggal yang bertepatan dengan hari Revolusi Rusia pada 1917. Sukarni lama menjadi Ketua Partai Murba. Partai ini sejatinya berhaluan komunis, tapi komunis yang tidak membebek pada Uni Soviet.
Surat kabar Het Dagblad, seperti dicatat Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia jilid 4 (2013: 113), menyebut Partai Murba sebagai "kolam penampungan organisasi-organisasi paling kiri."
Partai Murba termasuk seteru Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada zaman Sukarno berkuasa Murba pernah dibekukan dan sempat hidup lagi setelah Sukarno tumbang. Partai ini akhirnya dipaksa berfusi oleh pemerintah Orba dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Karena perolehan suara Partai Murba dalam Pemilu 1955, Sukarni akhirnya menjadi anggota Dewan Konstituante. Setelah Konstituante bubar, sejak 1961 Sukarni ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok.
Sepulangnya ke Indonesia, Sukarni beserta pemimpin Murba lainnya dipenjara. Dia dibebaskan setelah Sukarno makin lemah kekuasaannya. Di awal-awal Orde Baru, sebagai tokoh tua, Sukarni ditunjuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA)—yang kerap dipelesetkan menjadi Dewan Pensiunan Agung.
Penerima Bintang Mahaputra ini tutup usia pada 7 Mei 1971, tepat hari ini 48 tahun lalu. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Meski Sukarni dihormati, Orde Baru tak menonjolkan perannya sebagai penggerak proklamasi.
Editor: Ivan Aulia Ahsan