tirto.id - Pagi itu saya berkendara menuju area pusat Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan semburat matahari yang begitu cerah. Tujuan saya adalah salah gereja tua yang penuh sejarah, Gereja Katolik Santo Albertus Agung yang berdiri sejak 59 tahun lalu.
Rumah ibadah ini beralamat di jalan AM Sangaji No. 20 Cokrodiningratan, Kemantren Jetis, Kota Yogyakarta. Nama lokasinya itu membuat gereja yang diresmikan pada November 1965 ini dikenal sebagai Gereja Jetis.
Bangunan gereja tampak berbeda di antara gedung-gedung lain di sekitarnya. Di tengah padatnya bangunan yang menjulang tinggi, bangunan Gereja Jetis tampak jauh lebih rendah. Rindang pepohonan dan semilir angin membuat suasana gereja terasa teduh.
Saat saya hadir berkunjung pada Sabtu (21/12/2024), pihak gereja tampak tengah sibuk. Maklum, hanya tinggal menghitung hari gereja merayakan salah satu momen tahunan yang penting yakni perayaan Natal.
Ketika saya tiba dan mendatangi Sekretariat Gereja, saya diarahkan untuk menemui kelompok paguyuban gereja. Hari itu saya diajak berkeliling, ditemani oleh salah satu jemaat Gereja Jetis, Agus Christianto.
Pria berusia 58 tahun yang lebih akrab disapa Yanto ini membawa saya masuk ke sisi timur gereja, tepatnya di samping altar. Ternyata dia hendak menunjukkan karya dekorasi buatannya dan para jemaat Gereja Jetis.
“Dekorasi kami selalu menggunakan bahan bekas (barkas). Kebetulan saya yang membuat sendiri,” ujar Yanto bangga menunjukkan karyanya.
Dekorasi tersebut memiliki bangunan utama berupa miniatur dua gereja. Yanto menjelaskan bahwa dua bangunan itu merupakan desain baru bakal Gereja Jetis. Suka cita menyambut desain baru itu membuat imam gereja meminta Yanto untuk membuat dekorasi yang menyerupai rupa anyar rumah ibadah ini nantinya.
“Sudah sebulan full kami membuat itu. Namanya dekorasi tidak harus sama, tapi kami berusaha untuk bentuk 80 persen mirip. Biar umat tahu nanti gereja barunya seperti ini. Konsep Natal, kebetulan Romo menghendaki seperti itu,” jelas Yanto.
Yanto juga menceritakan proses peletakan batu pertama sebagai simbol pembangunan Gereja Jetis yang baru telah dilakukan pada 28 November 2024 lalu. Uskup Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko, datang langsung pada momen penting tersebut.
Kembali menyinggung soal ornamen Natal, Yanto menceritakan asal-usul barang bekas yang dijadikan bahan untuk mendekor gereja. Mengusung tema pembangunan, Yanto menggunakan sisa material kayu proyek gereja sebagai bahan utama untuk karyanya.
"Ini pakai serbuk gergaji, sama pakai kardus,” paparnya menunjuk ke arah dekorasi. “Sengaja tidak diwarnai supaya terlihat natural,” imbuh Yanto.
Setelah menunjukkan dekorasi utama berupa miniatur gereja, Yanto membawa saya menuju area lain. Rupanya tak hanya serbuk gergaji dan kardus bekas, botol dan galon plastik bekas turut memeriahkan dekorasi gereja.
Botol dan galon bekas itu dipotong dengan pola beragam, disusun, kemudian diberi warna. Yanto menyulap sampah botol dan galon itu jadi lampion. "Itu bikinnya nggak semua orang bisa. Ini tangan saya sampai kebas," tuturnya sembari menggenggam jari manis sebelah kanan.
Berbagai barang bekas yang digunakan untuk dekorasi ini dikumpulkan dari jemaat. Sebab, gereja dengan 2.783 jemaat ini memiliki bank sampah yang beroperasi dua kali sebulan. "Saya juga buat Sinterklas dari bekas sak semen, rambutnya dari bekas potongan kertas," ujar Yanto bercerita.
Menurut Yanto, keberadaan bank sampah ini sedikit banyak turut berkontribusi kepada pembangunan. “Tiap Sabtu genap, sebulan dua kali selalu ada bank sampah. Di situ kami nanti bisa milah dan ditawarkan ke panitia apa yang dibutuhkan, baru nanti disumbangkan,” sebutnya.
Semangat memberdayakan dan mendaur ulang barang bekas ini bukan hal baru di Gereja Jetis. Rupanya kebiasaan baik itu meneladani apa yang telah dibangun oleh RD Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, imam gereja sekaligus pendiri Gereja Jetis, yang akrab disapa Romo Mangun.
Bendahara Paroki Gereja Jetis FX Sarwono mengungkap bahwa arsitektur Gereja Jetis saat ini pun merupakan karya Romo Mangun. Ciri khas arsitektur karya Romo Mangun adalah bangunan rendah dengan banyak tiang penopang. “Jadi bangunannya kuat,” jelasnya pada kontributor Tirto, Sabtu (21/12/2024).
Keunikan arsitektur Gereja Jetis lainnya adalah pemanfaatan barang bekas. Sentuhan ini terlihat pada bagian penutup atap yang terbuat dari potongan kayu-kayu bekas. Lantai gereja juga menggunakan pecahan keramik. Selain itu, jendela gereja menggunakan potongan-potongan bekas kaca yang justru membuatnya lebih artistik.
“Jadi barang bekas tidak ada yang dibuang. Semua digunakan. Sikap ini masih kami pertahankan sampai sekarang, aksesoris gereja saat Natal juga dibuat dari barang bekas,” ungkapnya.
Sentuhan tangan Romo Mangun juga terdapat pada muka utama gereja. Sebuah relief yang merupakan pencitraan dari kisah dalam Al-Kitab, tentang pohon kehidupan yang awalnya merupakan biji sesawi.
Pola berupa mozaik dari pecahan botol kaca ini akan berkilau bila diterpa sorot senja. Susunannya tampak seolah tumbuh dari tanah dan menjulang sampai ke langit-langit bangunan. Ciri khas ini akan terus dipertahankan dalam desain baru gereja.
“Ini filosofinya, walaupun kecil tapi bisa mengayomi banyak kehidupan. Menggambarkan, kami pun sebagai umat yang kecil juga harus bisa mengayomi semua makhluk,” sebutnya.
Sarwono pun menjelaskan bahwa penamaan gereja diambil dari sosok Monseigneur Albertus Soegijapranata SJ. sebagai ungkapan hormat dan cinta pada pribadi seorang Soegija.
“Beliau itu [Soegija, Red] pahlawan Nasional, maka ada tekad untuk meneladani semangat dan pengabdian beliau kepada bangsa, negara, dan gereja. Jadi nama pelindung yang dipilih untuk paroki Jetis adalah nama baptis Romo Soegija, yakni St. Albertus Agung,” jelasnya.
Ada ikatan penting antara Romo Mangun dan Romo Soegija. Kedua sosok ini penuh tauladan dalam merangkul masyarakat. Keduanya pun tokoh pejuang.
Menurut Sarwono, semangat Romo Mangun sejalan dengan Romo Soegija, yakni sama-sama memperjuangkan pembebasan masyarakat dari penindasan. “Sehingga kami tertuntun untuk terus melakoni kebijakan dari dua sosok itu,” sebutnya.
Pernah bertemu langsung dengan Romo Mangun, Sarwono menceritakan sejumlah inspirasi dan sikap Romo Mangun yang ia jadikan panutan. Membangun gereja merupakan salah satu upaya Romo Mangun untuk mewadahi keimanan warga bantaran Kali Code.
“Dulu kawasan itu [sempat mau digusur], Romo Mangun yang mengubah. Kiprahnya Romo Mangun memang banyak,” ujar Sarwono. Kemampuan Romo Mangun dalam melekatkan diri dengan masyarakat juga dikagumi oleh Sarwono. “Sampai sekarang kami menganut hidup kebersamaan dan peduli pada orang yang membutuhkan,” tuturnya.
Bahkan peringatan Hari Paroki Gereja Jetis yang dilaksanakan tiap November selalu melibatkan warga sekitar gereja. Jadi perayaan bukan hanya disambut suka cita oleh umat Katolik yang beribadah di gereja ini. Tapi juga seluruh masyarakat dari berbagai keyakinan.
“Kami masih menganut itu, dalam Hari Paroki kami kenduri bersama warga sekitar. Mengambil pimpinan doa dari Islam, doa lintas agama,” pungkas Sarwono.
Editor: Rina Nurjanah